Malin
Goenawan Mohamad ;
Sastrawan, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
06 April 2014
Masa lalu tak pernah berdiri
sendiri. Andai ia berdiri sendiri, ia tak akan pernah ada. Kita mengingat,
dan itu sebenarnya kita mengaitkan apa yang kita ingat-sesuatu yang muncul
kembali dalam kepala kita-dengan isi kepala kita yang ada di tubuh kita hari ini.
Sebab itulah orang tak akan
mengingat semua hal secara komplet. Masa lampau hadir kembali dalam bentuk
yang telah diraut masa kini. Mengingat sebenarnya berjalan di sebuah jalur
yang terputus.
Barangkali itulah yang terjadi
dengan Si Malin Kundang. Dalam legenda yang terkenal ini, pada suatu hari ada
seorang anak muda yang mendaratkan perahu besarnya di sebuah dusun pantai.
Ketika ia melangkah ke darat dan berjalan beberapa belas meter memasuki dusun
itu, seorang perempuan tua mendekatinya. Ia memanggil orang muda yang tampak
gagah dan sukses itu sebagai "anakku, Malin".
Syahdan, laki-laki itu menolak.
Ia tak mau mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Perempuan tua itu pun
sakit hati. Ia mengutuk. Kata sahibulhikayat, tak lama kemudian, badai pun
datang, dan orang muda itu, yang sudah kembali ke perahunya, tenggelam. Ia
dan kapalnya berubah jadi batu di tepi laut dari mana ia datang.
Tapi benarkah ia harus dikutuk?
Benarkah ia telah menampik ibu yang membesarkannya? Bukan mustahil ia
seseorang yang lupa sama sekali dan tak mengenali lagi pantainya yang dulu.
Jangan-jangan perempuan tua itu yang salah ingat dan salah sangka.
Tanpa banyak pertanyaan, orang
pun menyampaikan sebuah petuah melalui legenda Si Malin Kundang: lupa adalah
sebuah kesalahan. Sebaliknya, mengingat dianggap jalan yang bersih dan sebab
itu tepat arah yang sepatutnya.
Saya tak percaya bahwa pernah
ada jalan yang bersih itu. Di dunia kesadaran, tak ada jalan yang tepat arah.
Mengingat adalah menafsirkan masa lalu, tapi sudah tentu kita tak akan bisa
pergi untuk mencocokkan tafsir kita dengan masa lalu itu sendiri. Kita tak
akan pernah bisa melangkah, biarpun sejenak, keluar dari waktu. Waktu bukan
kereta api yang bisa sesekali berhenti dan masinisnya turun untuk menengok
apa yang terjadi di gerbong belakang.
Di lain pihak, mengingat juga
berarti membaca masa lalu dengan kecenderungan menatap ke masa depan. Mereka
yang memandang masa silam dengan nostalgia, seperti sebagian orang yang kini
menyambut kenangan tentang zaman Soeharto-dan memasang gambar senyum lebar
presiden yang pada 1998 turun takhta itu-sebenarnya sedang menemukan alasan
baru buat menyatakan kritik kepada masa sekarang. Dalam kritik itu tersirat
hasrat untuk sesuatu di masa yang akan datang.
Sebab itu, nostalgia bukanlah kerinduan
akan masa lalu. Nostalgia justru menginginkan sebuah masa depan. Kita tengok
lagi dongeng Si Malin Kundang: bukan mustahil perempuan tua di dusun pantai
itu ingin merangkul anak muda yang datang itu dengan harapan hidupnya akan
jadi lebih bahagia-dan ia keliru.
Kita hidup dengan apa yang oleh
Walter Benjamin disebut "kipas ingatan". Siapa saja yang mulai
membuka lipatan "kipas ingatan" itu selalu menemukan hal-hal baru,
bagian baru, bacaan baru. Tapi bila yang "lama" (yang diingat-ingat)
akhirnya sama dengan yang "baru" (yang saat itu ditemukan), yang
terjadi sebenarnya semacam paralelisme antara ingatan dan lupa.
Apalagi lupa bisa punya peran
yang diinginkan. Seperti nostalgia, lupa juga bisa merupakan protes terhadap
hari ini yang tak menyenangkan.
Mari
menari!
Mari
beria!
Mari
berlupa!
Ajakan itu menyeru dalam sajak
Chairil Anwar, "Cerita buat Dien Tamaela". Tampak antara
"tari", "ria", dan "lupa" ada benang merah yang
mempertalikannya: gerak, dinamisme, mobilitas. Kata-kata kunci zaman modern.
Semangat yang menampik kemandekan yang represif.
Tapi paradoks sajak Chairil
Anwar ini adalah bahwa seruan itu diperdengarkannya dari sebuah suasana purba
ketika dunia masih penuh dengan sihir. Suasana itu dihidupkan Chairil dengan
citra-citra primitif: hidup yang dimulai dengan "dayung dan sampan"
sejak seseorang lahir, lingkungan yang "dijaga datu-datu" di siang
dan di malam.
Paradoks cerita ini adalah bahwa
kehendak "berlupa" akhirnya sama dengan kehendak kembali ke masa
silam.
Kita menemukan motif yang
sedikit berbeda dalam cerita Si Malin Kundang: masa lalu yang hendak
dihidupkan kembali ("anakku, Malin") kemudian hendak dihapus.
Bersama itu, masa depan mau ditiadakan. Si Malin dikutuk jadi batu: ia
dibenamkan dalam kebekuan, seakan-akan batu yang mandek dan bisu itu hendak
dijadikan imun dari sentuhan waktu.
Tapi jika demikian yang
dikehendaki sang perempuan tua-atau dikehendaki sang empunya cerita-di sini
kita temukan sebuah waham, setidaknya dugaan yang keliru. Batu di pantai itu
jauh dari kekal. Ia juga berproses: akan datang lumut ke punggungnya, akan
melekat siput-siput laut ke sisinya, dan akan terkikis ia oleh ombak.
Sementara itu, orang akan datang dan pergi, memandangnya dengan cara yang
terus berubah. Ada suatu masa ketika orang melihatnya sebagai peninggalan
yang penuh dongeng, ada lagi masa lain ketika orang menatapnya sebagai
perintang.
Bahkan batu tak pernah mandek
dan berdiri sendiri.
Sebagaimana
masa lalu yang murni tak pernah ada, begitu juga masa kini dan masa depan.
Manusia tak bisa lupa sama sekali, manusia tak bisa ingat secara lengkap,
juga manusia tak bisa tanpa diam-diam berharap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar