LCGC
dan Subsidi BBM
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI, Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 22 April 2014
SEBAGIAN
kita mungkin tersenyum melihat repotnya pejabat yang menjungkirbalikkan
logika soal LCGC. Itu singkatan dari low
cost green car, mobil murah ramah lingkungan. Pemerintah ingin menjadikan
LCGC sebagai instrumen untuk menekan subsidi BBM.
Di
banyak negara maju, kita pasti sulit menemukan mobil murah yang sekaligus
ramah lingkungan. Mobil murah jelas ada. Mobil ramah lingkungan juga ada
Tapi,
mobil murah sekaligus ramah lingkungan? Kita tahu, kebanyakan mobil ramah
lingkungan, entah yang berbahan bakar listrik, tenaga surya, atau hybrid,
harganya masih mahal.
Maka,
menggabungkan konsep low cost dengan
green car ibarat kawin paksa: Akan
banyak masalah. Contohnya, betapa repot para pejabat kita itu dalam mencari
pembenaran untuk LCGC.
Mobil
itu dijual dengan harga murah -meski sejatinya harga Rp 125 juta tak
murah-murah amat bagi sebagian masyarakat kita. Sebagian pembelinya mungkin
mereka yang karena kesejahteraannya membaik beralih dari sepeda motor ke
mobil. Jadi, bukan kelompok masyarakat yang sangat kaya. Kelompok pembeli itu
tentu ingin mobil dengan biaya operasional yang murah.
Namun,
karena mobil LCGC diembel-embeli kata green
car, mereka diimbau memakai bahan bakar pertamax. Mana mempan! Sebab, apa
gunanya mereka membeli mobil murah kalau biaya operasionalnya ternyata lebih
mahal. Jelas mereka akan memilih premium.
Alhasil,
upaya mengutak-atik supaya LCGC menjadi klop itulah yang membuat kita
tersenyum maklum. Misalnya, Pertamina diminta mengubah diameter nozzle BBM
pertamax dengan ukuran yang lebih kecil. Agar pas dengan lubang tangki BBM
mobil LCGC -yang katanya diameternya dibuat lebih kecil, padahal kenyataannya
tidak.
Saya
ragu apakah Pertamina mau melakukannya. Kita tentu masih ingat ketika tahun
lalu pemerintah merencanakan mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya,
setiap mobil dipasangi alat pengendali BBM bersubsidi. Biaya pemasangan alat
itu tidak murah dan menjadi tanggungan Pertamina. Tapi, entah mengapa sampai
kini kita tak pernah tahu bagaimana nasib kebijakan tersebut.
Jadi,
kalau nasib kebijakan yang semula "kelihatan serius" saja kini
tidak jelas, apalagi LCGC. Menurut saya, mengaitkan mobil LCGC dengan penghematan
subsidi BBM malah akan membuat pemerintah kehilangan fokus. Yang sudah kusut
menjadi semakin ruwet.
Untuk
mengurainya, sebaiknya pemerintah berfokus pada dua hal. Pertama, kurangi
subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Kedua, kembangkan transportasi publik
yang aman dan nyaman dengan kereta sebagai backbone-nya. Problem utama penghapusan subsidi BBM sebetulnya
sosialisasi. Rakyat tahu subsidi BBM tidak tepat sasaran. Penikmat subsidi
justru orang-orang mampu.
Kurangi
subsidi BBM, bisa dilakukan secara gradual, maka banyak masalah
terselesaikan. Maka, soal LCGC langsung beres. Inisiatif mengembangkan bahan
bakar alternatif akan bermunculan, gerakan penghematan energi bakal marak,
dan seterusnya.
Lalu,
dana penghapusan subsidi BBM bisa dialokasikan untuk subsidi pendidikan dan
kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan transportasi publik.
Kita tahu, di negara-negara maju orang yang mampu pun lebih suka naik kereta
ketimbang mobil pribadi. Michael Bloomberg, mantan wali kota New York,
misalnya, selalu berangkat dan pulang kantor dengan kereta. Jadi, negara bisa
kita sebut sejahtera ketika orang-orang kayanya mau memakai transportasi
publik, bukan malah orang yang dulu miskin menjadi mampu membeli mobil.
Kita
berterima kasih karena pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah mewariskan
jaminan kesehatan sosial nasional (JKSN) dan pesawat kepresidenan. Kita
tunggu satu lagi warisan yang sangat penting: mengurangi subsidi BBM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar