Layanan
Pemerintah ala Bank
Adel Wahidi ; Asisten Ombudsman Sumatera Barat
|
HALUAN,
25 April 2014
Suatu kali dalam pertemuan koordinasi dengan pimpinan SKPD Pemprov
Sumatera Barat terkait hasil penelitian Ombudsman tentang Kepatuhan Pemda
terhadap UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, salah satu pimpinan
SKPD bertanya sembari mengkritik, apakah kami SKPD ini mau di perlakukan
seperti layanan bank? Harus punya antrean, costumer
service, layanan pengaduan, ada AC/pendingin,
kursi tamu dan lain-lain.
Saya pun menjawab, kalau
menyimak beberapa peraturan dan perundang-undangan yang lahir, setidaknya
sejak UU No 25 tahun 2009 itu, diikuti lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No
96 tahun 2012 tentang Pelayanan Publik dan terakhir PP No 76 tahun 2013
tentang Pengaduan Pelayanan Publik, maka jawaban pertanyaan pimpinan
SKPD itu bisa iya.
Sebagai sebuah usaha
pembanding, tampaknya layanan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
rada-rada mirip akan di buat seperti layanan perbankan. Coba lihat layanan ala bank akan ditemukan komponen
standar/sarana prasarana pelayanan yang lebih dari cukup. Di dunia perbankan,
akan mudah ditemukan komponen standar layanan seperti persyaratan
layanan, prosedur, informasi biaya dan tarif, waktu penyelesaian, saranan
prasarana, jaminan kenyamanan dan keamanan pengguna layanan baik barang
maupun jiwa. Sarana komplain pun terbuka baik melalui layanan costumer
service atau melalui call centre yang terbuka 24 jam.
Pertama kali ke bank setidaknya
akan di temukan pria berbadan tegap dan rapi dengan memasang wajah ramah akan
membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Selanjutnya di bagian depan front
office layanan sudah terlihat dengan jelas informasi tentang kita mau
berurusan apa dan dengan siapa?Costomer
service atau bagian teller akan menyambut
nasabah dengan berdiri senyum, menyusun kedua jari tangan di dada sambil mengucapkan
salam dan menyebutkan nama, ucapan yang acap kali terdengar adalah “Silakan
Bapak, apa yang bisa kami bantu?” Memanjakan bukan? Bayangkan jika masyarakat
datang ke sebuah kantor pemerintah lalu di sambut dengan cara demikian. Luar
biasa !
Di dunia birokrasi pemerintahan,
spirit layanan paripurna ini
sebetulnya sudah termaktub dalam UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Pasal 15 dan Bab V UU tersebut mengatur sedemikian rupa pemenuhan
hak-hak masyarakat untuk memperoleh kejelasan pelayanan, kepastian waktu
dan biaya pelayanan, akurasi pelayanan, keamanan pelayanan, pertanggungjawaban
pelayanan, kemudahan akses layanan, profesionalitas dan kenyamanan
pelayanan.
Selanjutnya yang terbaru, PP
No. 76 tahun 2013 mencoba mengejawantahkan konsep The New
Public Service (NPS) yang dikembangkan
oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt tahun 2003. Paradigma
terbaru layanan pemerintah ini menempatkan warga sebagai citizens yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang
berkualitas dari negara (birokrasi).
Dalam paradigma ini warga
negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya, di dengar
suaranya, sekaligus dihargai nilai dan preferensinya. Warga negara memiliki
hak untuk menilai, menolak dan menuntut secara moril dan materil melalui
sidang ganti rugi ajudikasi bagi siapapun yang secara
politis bertanggungjawab atas penyediaan pelayanan publik.
PP No. 76 tahun 2013 tentang
Pengaduan Pelayanan Publik mewajibkan penyelenggaraan pelayanan publik
untuk terbuka, menyediakan diri untuk senantiasa di komplain. Sarana
layanan komplain ini bahkan harus di kelola setingkat unit atau pejabat
pengelola pengaduan di SKPD masing-masing. Jadi bisa di katakan dalam
era paradigma layananan publik terbaru tidak zamannya lagi jika ada
Pemerintah Daerah yang menutup diri dan tidak mau dikomplain layanannya.
Keadaan ini tentu akan
meningkatkan kesetaraan posisi tawar antara masyarakat sebagai konsumen
layanan publik dihadapkan dengan Pemerintah Daerah sebagai produsen pelayanan
publik. Secara teoritis, kesetaraan posisi tawar ini akan dapat dicapai
dengan cara meningkatkan posisi tawar konsumen dengan mengontrol kewenangan/kekuasaan
lembaga penyelenggara pelayanan publik melalui sarana aduan yang bersifat
internal tersebut.
Pengaduan Internal Pemda
Mengejutkan memang hasil
penelitian Ombudsman tentang Kepatuhan Pemda terhadap UU No. 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik di Kota Padang. Di Kota Padang di temukan hanya 2
dari 14 SKPD yang teliti yang memiliki Unit Khusus Pengaduan, 12 SKPD tidak
mempunyai Pejabat Khusus Pengelola Pengaduan dan tidak menyediakan Loket
Khusus Pengaduan. Dengan kata lain, dari 14 SKPD hanya 2 SKPD saja yang membuka
diri untuk di komplain pelayanannya oleh masyarakat.
Yang lebih mengejutkan adalah
layananan Pemerintah Provinsi Sumbar. 15 SKPD binaan Irwan Prayitno
itu yang di teliti Ombudsman Sumbar sama sekali tidak satupun
memiliki Unit Khusus Pengaduan. Semua SKPD yang dijadikan sampel tidak mempunyai
Pejabat Khusus Pengelola Pengaduan dan tidak menyediakan Loket Khusus Pengaduan.
Gubernur Sumbah sudah mencoba
merespon. Dalam rapat koordinasi dengan Ombudsman, Gubernur Irwan Prayitno
sudah menyatakan komitmennya untuk berbenah, memenuhi standar pelayanan
publik dalam rentang satu bulan ke depan, Dalam satu minggu terakhir,
gubernur sedang sibuk inspeksi mendadak pemenuhan komponen standar layanan
publik oleh SKPD binaannya itu. Semoga
dan kita tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar