Karisma
Ketokohan Politik Kita
Ahmad Imam Mawardi ;
Kontributor Inilah.Com
|
INILAH.COM,
24 Maret 2014
MENELUSURI jalan-jalan di
setiap daerah di Indonesia menjelang Pemilu 9 April 2014 ini kita akan
disambut senyuman foto para calon legislatif dan calon presiden yang akan
memperebutkan kuota jabatan yang sangat terbatas. Foto-foto itu didesain
sebagus dan semenarik mungkin.
Dari sisi fotografi, gambar
foto seringkali “lebih bagus” ketimbang aslinya. Dari sisi estetis,
tampilannya ramah dan bijak, dikuatkan pula dengan kata-kata dan janji manis
yang diusungnya sebagai jargon yang akan diperjuangkannya andai terpilih
nanti.
Jangan lupa untuk lebih teliti
bahwa gambar foto mereka banyak juga yang disandingkan dengan tokoh-tokoh
lama, baik yang sudah meninggal dunia ataupun masih hidup; untuk tidak
menyebut semua, ada lima tokoh yang fotonya paling banyak dipajang
bergandengan dengan foto sang calon, yaitu Bapak Proklamator RI, Bung Karno,
Ibu Megawati Soekarno Putri, KH Abdurrahman Wahid, Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono dan Bapak Soeharto.
Para sosiolog akan membaca
pemajangan foto-foto para tokoh ini sebagai upaya merekatkan diri (personal
attachment) dengan pemilik otoritas karismatik (charismatic authority) yang sudah
terbangun dalam kehidupan masyarakat luas.
Dalam percaturan politik,
perekatan diri semacam ini menjadi penting karena, sebagaimana kata Weber
dalam buku Max Weber on Charisma and Institutional Building, kekuatan-kekuatan perubahan dan pembaharuan dalam sejarah
sangat ditentukan dua faktor: charisma (karisma) dan rational
action (perilaku rasional).
Dalam banyak teori sosial,
karisma diposisikan sebagai oposisi dari perilaku yang rasional. Secara
ontologis charisma memang berasal dari kata Yunani, kharites, yang bermakna
pemberian Tuhan, yang biasanya bersifat spiritual. Unsur “Tuhan” inilah yang
menyebabkan kuatnya mistifikasi yang luar biasa ketika para awam membaca dan
menafsirkan karisma tokoh yang dikaguminya.
Namun, dalam banyak peristiwa
sejarah, karisma sangat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa nyata yang
bersifat epifanik (appropriating the event) yang berkaitan dengan kreatifitas dan kepemimpinan yang
sesunggunya sangat bisa dibaca secara rasional.
Karisma yang dimiliki Bung
Karno adalah berkat keberaniannya tampil sebagai tokoh muda revolusioner di
tengah seramnya politik penjajahan, karisma Pak Harto adalah ketika tercatat
dalam buku sejarah sebagai pahlawan G 30 S PKI yang kemudian fokus
kepemimpinannya pada pembangunan di berbagai bidang, karisma Gus Dur (KH
Abdurrahman Wahid) adalah kesungguhannya menanamkan nilai-nilai humanisme dan
egalitarianisme yang mencerahkan makna cinta dan kasih saying.
Karisma Ibu Megawati adalah
ketangguhannya untuk tetap survive meneriakkan pesan-pesan Bung Karno di
tengah gempuran massif terhadap partainya. Sementara karisma Pak SBY adalah
kesantunan serta kehati-hatiannya dalam berbahasa, berikut pula perjalanan
karirnya yang cemerlang sampai sukses terpilih dua kali sebagai presiden
dalam pemilihan langsung.
Tidak bisa dipungkiri bahwa
mereka adalah tokoh-tokoh karismatik, minimum pada kelompoknya masing-masing.
Dari peristiwa-peristiwa itu terbentuklah citra (image) Bung Karno sebagai
Bapak Proklamasi, Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan, Gus Dur sebagai Guru
Bangsa dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tesebut adalah karisma asli (pure charisma) yang citra
dan ajarannya menjadi pegangan utama para pengikutnya dalam sebuah pola
hubungan yang dinamis.
Kekuatan karisma dalam gerakan
politik sangat besar di wilayah pinggiran/pedesaan yang pola pikir dan
kehidupannya sangat bersifat tradisionalis. Pada masyarakat kota/urban yang
lebih terdidik dan dinamis, pertimbangan-pertimbangan rasional (rational action) sebagaimana
disebut di atas adalah yang lebih dominan pengaruhnya.
Melihat semakin baik
berkembangnya pendidikan dan semakin luas akses masyarakat akan arus
informasi yang sudah menyentuh secara merata berbagai lapisan kota dan desa,
bukanlah tidak mungkin bahwa pikiran dan aksi rasional akan menggeser
dominasi karisma tradisional dalam konteks pilihan politik masyarakat.
Lebih jauh lagi, “pergeseran”
dari tradisional ke modern ini sangat membuka peluang munculnya tokoh-tokoh
karismatik baru yang lahir bari “rahim” profesionalitas sebagai penyeimbang
positif untuk Indonesia yang masa depannya secara rasional memasuki kompetisi
global yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan solidaritas dan kebersamaan
tanpa adanya kualitas profesionalisme yang memadai.
Munculnya tokoh-tokoh baru seperti
Jokowi, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Dahlan Iskan dan beberapa lainnya yang
sesungguhnya tidak memiliki “ikatan sejarah” langsung dengan tokoh politik
karismatik masa lalu bisa dibaca dalam perspektif ini, in the
name of professionalism.
Kalau saja karisma yang lahir
dari profesionalisme diri ini dikawinkan dengan pure
charisma masa lalu dengan cara routinizing the event (menjaga kelestarian sejarah karisma masa lalu dengan mengenang
dan mengingatnya) dan theorizing the event (menteorikan kembali peristiwa karismatik masa lalu dengan cara
mengangkat esensi semangat mereka dalam konteks kekinian), maka tokoh yang
mampu melakukannya akan menjadi magnet raksasa yang menarik semua unsur
politik.
Banyak calon presiden yang
sudah mempersiapkan dirinya untuk pilpres tahun ini melalui partainya
masing-masing. Yang sudah gencar iklannya di masyarakat adalah Jokowi (PDIP),
Hatta Rajasa (PAN), Aburizal Bakri (Golkar), Wiranto (Hanura), dan Prabowo
(Gerindra), Suryadharma Ali (PPP), dan Mahfud MD/Jusuf Kalla/Rhoma Irama
(PKB). Nanti akan ada lagi dari partai Demokrat yang masih harus menunggu
hasil konvensi.
Capres yang hanya mengandalkan
karisma masa lalu sangat berat untuk mendapatkan simpati dari pemilih
rasional, kelompok kelas menengah (middle
class), terutama yang ada di pekotaan.
Sebaliknya, capres yang hanya pengandalkan profesionalitas tanpa ada ikatan
tradisional dengan pemilih akan kesulitan untuk mendapatkan suara kalangan
bawah (grass root) yang
jumlahnya justru masih dominan sebagai voters.
Sejalan dengan alur pikir di
atas, marilah kita baca Joko Widodo (Jokowi) yang sudah resmi menjadi calon
presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai contoh analisa.
Secara jelas, Jokowi memenuhi
beberapa kriteria perkawinan dua kekuatan ini, walaupun yang paling kuat
adalah pada sisi kesantunan, keluguan, dan kesungguhannya bekerja untuk dan
bersama-sama rakyat yang merupakan ciri-ciri karisma tradisional. Sangat
ideal, andaikata Jokowi nantinya ditakdirkan menjadi presiden, wakil
presidennya adalah pribadi yang teruji profesionalitasnya di berbagai bidang
kerja kepemerintahan.
Pertemuan dua kekuatan ini,
karisma dan aksi rasional, sangat bisa diharapkan mampu mengantarkan
Indonesia mewujudkan impian bersama yang selalu digaungkan Bung Karno di
awal-awal kemerdekaan RI, yaitu Indonesia yang adil, makmur dan bahagia dalam
makna yang sesungguhnya.
Indonesia akan menjadi
mercusuar dunia melalui tangan-tangan pemimpin yang santun, sehati dengan
rakyat, bersama dengan rakyat dan bekerja secara tertata dan profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar