Debar
di Bilik Suara
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
TEMPO.CO,
05 April 2014
Apakah rakyat masih memiliki debar perasaan menjelang pencoblosan?
Atau, dalam pemilu ini, segalanya tinggal soal teknis, tak ada persoalan
psikologis? Jadi, cukup bles, dan semuanya beres?
Dulu,
ketika politik masih mengandung kegentingan, debar perasaan masih
menggetarkan hati siapa pun yang memiliki hak pilih. Kegentingan itu bisa
kita baca sebagai pertarungan ideologis yang seru antarparpol, yang diikuti
para pendukungnya. Misalnya pada Pemilu 1955 yang masih kental dengan
ideologi atau politik aliran. Persaingan dan pertarungan politik saat itu
sangat keras, bahkan bisa menimbulkan gesekan horizontal.
Lihatlah
gesekan yang terjadi antarpendukung PNI, Masyumi, NU, dan PKI-empatpartai
besar saat itu. Namun, seperti dikatakan Goenawan Mohamad, persaingan yang
terjadi tidak semata-mata karena perebutan kekuasaan, melainkan yang utama
untuk menciptakan Indonesia lebih baik (bermartabat). Politikus idealis zaman
itu tidak mencari kamukten (kejayaan
material dan non-material) seperti saat ini.
Pemilu
1971 pada era Orde Baru pun menyimpan kegentingan. Ada sepuluh parpol yang
bertarung dan bersaing, di antaranya Parmusi, NU, PNI, Murba, Golongan Karya,
Partai Katolik, Pakindo, Perti, IPKI, dan PSII. Di sini, nuansa ideologis
masih kental. Persaingan politik masih terasa.
Pemilu
selanjutnya, ketika jumlah parpol peserta pemilu disederhanakan dari sepuluh
menjadi tiga-PPP, Golkar, dan PDI-unsur ideologi tak lagi dominan karena
Soeharto mewajibkan semua parpol berasaskan Pancasila. Namun pendukung setiap
parpol toh tetap menggunakanmind-setideologis dalam memilih parpol. Tak ayal,
sisa-sisa kegentingan tetap terasa. Gesekan horizontal antarpendukung parpol
pun masih ada. Orang-orang juga masih punya debar dalam dada menjelang
pencoblosan.
Pemilu
pada era demokrasi liberal tak lagi menimbulkan suasana kental ideologis,
meski setiap parpol peserta pemilu berhak mengusung ideologi masing-masing.
Di sini, ideologi-Islam, nasionalisme sekuler, dan nasionalisme
religius-cenderung hadir sebagai cap atau penanda (merek), tapi tak
merepresentasikan perjuangan ideologis parpol secara otentik dan total. Kinerja
mereka dalam praksis kekuasaan cenderung sama. Sama-sama oportunis dan doyan
duit. Yang beraliran agama ataupun yang beraliran nasionalisme sama-sama
gemar nyolong duit negara. Mereka tidak memperjuangkan konstituennya menuju
sejahtera karena yang disejahterakan hanyalah elite parpol.
Tak ada lagi debar di dada dalam pemilu saat ini, ketika orang berada
di bilik pencoblosan. Publik pemilih justru dibuat bingung karena harus
memilih caleg yang tidak sepenuhnya dikenal, kecuali melalui iklan politik atau
media sosialisasi. Selain itu, dalam benak para pemilih ada
ketidakyakinan atau ketidakpercayaan pada caleg-caleg itu terkait dengan
perjuangan aspirasi rakyat. "Akhirnya, mereka toh hanya berjuang untuk kamukten-nya sendiri," ujar
rakyat.
Tak ada
ideologi yang menjadikan idealisme meranggas dan mati. Parpol tak lebih dari
mesin politik yang berwujud lembaga bersimbol dan dioperasikan para zombie
haus darah. Tak ada pula konstituen politik. Yang ada kumpulan orang yang
bingung, cemas, dan rapuh. Mereka menjadi "makanan" para zombie
politik: diisap suaranya, setelah itu
ditinggalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar