“Bulan
Madu” Politik
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu
Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 05 April 2014
Beberapa
tahun lalu, putusnya jembatan di salah satu daerah di Banten yang menyebabkan
anak-anak yang ingin bersekolah harus bergelantungan di jembatan tali yang
sangat berbahaya, menjadi pemberitaan hangat di media massa nasional. Bahkan,
foto tentang berita tersebut akhirnya menjadi berita di sejumlah media massa internasional.
Di salah
satu film dokumenter peserta Eagle
Awards tahun lalu yang berjudul Jembatan
Harapan, juga menceritakan warga di sebuah daerah di Banten selama
berpuluh tahun hidup dengan kondisi jalan tanah yang licin dan mengharapkan
datangnya bantuan untuk membangun jalan sekaligus jembatan. Namun yang
tragis, ternyata bantuan datang justru dari orang Malaysia dan Singapura yang
peduli terhadap kondisi masyarakat di dekat Taman Nasional Ujung Kulon itu.
Sungguh
ironis memang. Pertanyaan mendasarnya, di mana pemerintah dan wakil rakyat
baik lokal maupun nasional untuk daerah tersebut? Apakah tidak ada? Tentu
saja secara de facto ada. Namun
berkaca dari dua kasus di atas, dapat dikatakan kontribusi mereka untuk
masyarakat di dua wilayah itu yang tidak ada.
Dalam
studi ilmu politik, perihal di atas dapat dilihat dari kacamata hubungan
antara wakil dan konstituennya. Bertautan dengan hal tersebut, saat ini
sampai 5 April 2014 adalah masa kampanye pengerahan massa dan rapat umum
untuk pemilihan legislatif (pileg).
Riuh
rendah antusiasme peserta kampanye dan partai politik (parpol) terlihat di
mana-mana. Sebelumnya, spanduk, baliho, serta stiker besar menghiasi tidak
hanya jalanan, tetapi juga kendaraan umum, seperti angkutan kota dan bus.
Apa
tujuan dari caleg dan parpol melakukan kampanye? Pertama, hal itu karena
mereka menjalankan fungsi sosialisasi politik. Sosialisasi politik yang ideal
adalah tak hanya sosialisasi figur, tetapi juga program kerja yang akan
dilaksanakan setelah mereka memperoleh kursi di parlemen. Kedua, mereka juga
berharap untuk dipilih oleh pemilih saat 9 April 2014.
Dalam
kaitannya dengan hal itu, Ching-Hsing Wang (2013) dalam makalahnya “Why do people vote? Rationality or emotion”
menyebutkan, setidaknya ada dua faktor yang mendorong seseorang hadir ke TPS
dan menggunakan hak pilihnya, yaitu emosi atau rasionalitas.
Faktor
emosi bertalian dengan pengalaman masa lalu dan mekanisme evaluatif karena
emosi memudahkan gejala sekarang dievaluasi dengan cepat. Sementara itu,
faktor rasionalitas berurusan dengan keuntungan menggunakan hak pilih
disebabkan partisipasi politik mendukung terbentuknya pemerintahan
demokratis. Namun yang paling baik dari keduanya adalah faktor rasional.
Faktor rasional menjembatani tiga hal, yakni pemilih, caleg, dan kebijakan.
Menurut
Anthony Downs (1957) dalam tulisannya An
Economic Theory of Democracy, pemilih rasional membuat keputusan akan
pilihan dalam pemilu didasarkan statement
dalam kampanye dari parpol yang berkompetisi dan kemudian memilih parpol yang
statement-nya paling dekat dengan
pilihan kebijakan para pemilih tersebut. Selain itu, pemilih rasional harus
membuat prediksi perilaku dari parpol.
Masih
menurut Downs, sebuah parpol yang statement kebijakannya pada awal pemilu
baik, masuk akal, serta dapat diejawantahkan selama masa periode mereka
memegang jabatan di sebuah lembaga politik, dapat disebut partai itu memiliki
integritas. Integritas berharga untuk parpol.
Itu
karena dapat meningkatkan kemungkinan pemilih bisa membuat prediksi, yang
reliable akan perilaku partai didasarkan statement saat kampanye dan juga
menyediakan insentif yang kuat untuk me-maintain konsistensi dari waktu ke
waktu, terutama jika parpol-parpol itu berharap akan sukses.
Dalam
relasi wakil dan konstituen yang paling ideal, seorang wakil yang baik tak
hanya mendatangi konstituennya saat kampanye berlangsung, tetapi juga setelah
terpilih. Mereka akan mempertahankan hubungan yang baik dengan konstituennya
agar terpilih lagi. Dihubungkan dengan voting,
ada konsep yang dikenal dengan nama retrospective
voting (Fiorina, 1976).
Artinya,
pemilih akan memilih atas dasar penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan
calon anggota legislatif (caleg) dan parpol. Apabila caleg dan parpol dinilai
berhasil, akan “dihadiahi” dengan
dipilih kembali dalam pemilu berikutnya. Sebaliknya, apabila dinilai gagal,
mereka akan “dihukum” dengan tidak dipilih lagi dalam pemilu selanjutnya.
Oleh
karena itu, menjadi pemilih yang rasional adalah pilihan yang paling
menguntungkan untuk pemilih. Hal ini karena akan mendorong parpol dan caleg
untuk tidak asal-asalan.
Di saat
yang bersamaan, mereka bersungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan konstituennya. Apalagi kalau rasionalitas itu mengesampingkan
faktor-faktor yang tidak mendidik, seperti politik uang. Hal itu dapat makin
mendorong caleg guna berusaha semaksimal mungkin aspiratif untuk terwakilnya
dan juga “memaksa” parpol untuk
menjadi institusi yang modern.
Sebagai penutup, jangan sampai kampanye pileg saat ini hanya bermakna “bulan madu” politik antara rakyat,
caleg, dan parpol. Lebih dari itu, kampanye harus menjadi salah satu medium
untuk calon pemilih menentukan siapa caleg dan parpol yang akan memimpin
mereka lima tahun ke depan dan janji program apa yang ditagih pemilih
pascapara caleg itu duduk di Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar