Awas
Kampanye Dana Bansos
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 01 April 2014
Tajuk
harian Sinar Harapan, Senin (24/3), menyajikan data Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) mengenai alokasi bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2014 yang naik dari Rp 55,9 triliun pada tahun
sebelumnya, menjadi Rp 73,2 triliun.
Kabarnya,
kenaikan sekitar Rp 20 triliun itu untuk mendukung program jaminan kesehatan
masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), yang
ternyata juga di berbagai daerah menimbulkan persoalan. Pelayanan BPJS jauh
lebih jelek dibandingkan saat ditangani Asuransi Kesehatan (Askes).
Penggunaan
dana bansos sudah lama menjadi sorotan publik. Itu lantaran pengelolaannya
tidak transparan. Malah berkembang cerita, korupsi dana bansos sudah
dicita-citakan. Indikasinya bisa dilacak dari maraknya politik transaksional,
yang bukan hanya karena motivasi uang, melainkan juga telah menggerogoti
demokrasi elektoral.
Bukan
hanya itu, pembenaran bisa dilihat dari fakta yang terungkap dalam sidang
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), bahwa kepala daerah yang menjadi
terdakwa korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu untuk
menebus biaya politik saat pencalonan dan kampanye.
Untuk
2013, Indonesia Corruption Watch
(ICW) mencatat 35 kepala daerah, didominasi bupati/wali kota, yang dipenjara
karena terlibat menyelewengkan dana APBD. Itu termasuk menyelewengkan dana
bansos.
Ada
kesan, frasa “sosial” dalam pemberian dana bansos beralih fungsi dengan
memasukkan kepentingan kepala daerah yang menjual kata “sosial” menjadi
“rakyat”. Itu dengan menepikan idealisme dan tujuan pengadaan dana bansos
dalam APBN dan APBD.
Dugaan
kuat seperti itu sudah dimulai saat penganggaran dana bansos di legislatif.
Bahkan sudah ada niat negatif untuk penggunaan dana itu secara tidak benar dari
sana. Inilah yang boleh disebut sebagai langkah reaktif dari tebersitnya
cita-cita menyalahgunakan dana tersebut.
Fakta
yang terungkap di pengadilan tipikor tentulah tidak boleh dibiarkan
berkembang, apalagi kalau sudah dicita-citakan. Sekitar Rp 31.66 triliun dana
bansos yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu yang
bermasalah diduga diselewengkan.
Pesta Kampanye
Sebelum
memasuki kampanye pemilihan umum (pemilu) pada 16 Maret, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pernah memperingatkan kementerian negara dan kepala daerah agar
tidak memanipulasi dana bansos untuk kepentingan politik.
Tentu
kita tidak ingin ada yang berpesta politik dengan menggunakan dana bansos
atau menjual rakyat melalui penyaluran dana bansos tetapi dipakai kader
partai politik tertentu atau tim suksesnya.
Malah
KPK yang didukung berbagai pihak mengusulkan, pencairan dana bansos dalam
APBN 2014 ditangguhkan. Dana bansos barulah digulirkan kepada warga yang
betul-betul membutuhkan setelah pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan
presiden (pilpres) berakhir. Usulan ini layak diapresiasi.
Ini
untuk mencegah sedini mungkin penyelewengan dana bansos bagi kepentingan
pihak tertentu dengan dijadikan sebagai jualan kampanye.
Tetapi,
pemerintah tetap bergeming dan dana bansos tetap disalurkan dengan alasan
membayar penerima bantaun iuran bagi masyarakat peserta jaminan kesehatan.
Peringatan
KPK seharusnya diikuti sebagai upaya pencegahan. Jangan sampai penyaluran
dana diintervensi calon anggota legislatif (caleg) tertentu untuk kepentingan
individu. Itu misalnya, menyampaikan kepada masyarakat yang memperoleh dana
bansos bahwa pencairan itu atas perjuangannya.
Mengacu
hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia
(Media Indonesia, 20/3/2014),
seorang caleg DPR rata-rata mengeluarkan dana Rp1,18 miliar selama kampanye.
Itu belum termasuk pengeluaran partai politik. Begitu pula caleg provinsi dan
kabupaten/kota, dana yang digelontorkan tidak jauh berbeda. Malah ada yang
lebih besar untuk kepentingan menyogok pemilih.
Sekiranya,
sumber dana itu memang murni dana pribadi atau sumbangan yang dilegalkan
undang-undang, tentu sah-sah saja. Itu karena memang ia yang membiayai
kampanyenya. Namun, yang menjadi persoalan jika yang dipakai itu uang negara
yang berbalut bantuan dana bansos, hibah, bahkan dengan membobol ABPD melalui
berbagai cara.
Pengawasan Ketat
Mengacu
banyaknya fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan mengenai
penyelewenngan dana bansos, perlu pengawasan ketat. Itu agar tidak menjadi
preseden setiap mendekati pemilu.
Hal
tersebut karena dana bansos ditujukan untuk rakyat, yang secara sosial
membutuhkan. Ini memang mudah dijadikan sasaran empuk untuk membiayai
kampanye partai politik. Indikasinya dapat dilihat dari setiap mendekati
pileg, bahkan pemilihan kepala daerah (pilkada), dana bansos dalam APBN dan
APBD selalu ditingkatkan.
Dari
sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin
menteri dari kader partai politik. Lima kementerian ternyata menterinya
terdaftar sebagai caleg. Mereka adalah Menteri Koperasi dan UKM Sjarif Hasan,
Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan Menteri Problem Daerah
Tertinggal Helmy Faishal (Sinar
Harapan,16/11/2013).
Rakyat
menyambut baik peningkatan dana bansos karena memang begitu banyak rakyat di
negeri ini yang sangat membutuhkannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS),
pada 2013, penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah
garis kemiskinan lebih dari 28,07 juta orang.
Mereka
inilah yang layak mendapat dana bansos. Bukannya dana itu malah dijadikan
bancakan untuk kepentingan pesta demokrasi. Kalau ada kepala daerah, caleg,
dan partai poliitik yang memanipulasi dana bansos untuk kampanye pemilu,
berarti korupsi dana bansos itu sudah dicita-citakan secara sistematis.
Memanipulasi
dana bansos, meskipun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor
32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman
Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang
penyelewengan, tetap saja bisa dibobol.
Pengelolaan
dana di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang memegang partai
politik ikut bermain.
Padahal,
dana bansos adalah pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada
individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Itu
diperoleh dari pajak dan hasil bumi. Tentu saja dana ini tidak boleh
dimanipulasi, seolah-olah diberikan karena jasa kepala daerah. Bansos harus
diberikan secara selektif. Ini untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan
risiko sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar