Rembuk
Rakyat
Rhenald Kasali ;
Guru
Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 02 Februari 2014
KETIKA
berkunjung ke Kalimantan Timur (Kaltim) akhir Februari lalu, kenangan saya
seakan kembali ke masa silam. Bukan karena pembangunan yang tertinggal,
melainkan karena saya diundang sahabat saya, Gubernur Kaltim Awang Faroek,
untuk ikut dalam rembuk rakyat
Seperti
Anda, saya pun sudah lama tidak mendengar kata rembuk rakyat. Juga rembuk
desa, yang di masa lalu diselenggarakan untuk membahas berbagai permasalahan,
termasuk rencana-rencana masa depan. Padahal, di luar negeri tradisi seperti
itu masih dipelihara. Mereka menyebutnya town
hall meeting yang dipimpin wali kota (major) atau pejabat tinggi lain.
Selain urusan masa depan, topiknya bisa peremajaan kota tua, pemindahan
lokasi permukiman, sampai pendidikan anak-anak.
Rembuk
rakyat perwujudan demokrasi. Namun sejak waktu orang kota semakin terbatas,
demokrasi ngobrol-ngobrol itu kini diganti dengan demokrasi perwakilan. Wakil
kita di DPRD atau DPR-lah yang menjalankan peran ngobrol-ngobrol itu. Cuma,
ketika uang bicara, segala macam orang yang ngobrolnya ngalor-ngidul pun bisa
merusak impian dan harapan kita.
Hasilnya?
Kita semua sama-sama kecewa karena para wakil rakyat tersebut ternyata tidak
mewakili kepentingan kita, melainkan kepentingannya sendiri. Horizon
berpikirnya hanya untuk satu-dua tahun di muka.
Maka,
ketika menerima undangan dari Gubernur Awang Faroek untuk ikut rembuk rakyat,
saya menyambutnya dengan antusias. Maklum, gubernur baru terpilih untuk
periode kedua dan masih banyak impian yang belum tercapai. Padahal, alamnya
kaya dan luasnya satu setengah kali Pulau Jawa. Prestasi pembangunannya mulai
banyak, tapi apa iya kita ingin hidup seperti ini terus?
Bergantung pada SDA
Dari
atas pesawat Susi Air berpenumpang sepuluh orang, saya menengok ke bawah,
menyusuri pintu tol jalan Balikpapan-Samarinda yang sudah lama saya tunggu
peresmiannya. Lalu, seorang pengusaha senior membisiki saya, "Di Kaltim
ini kita hanya mimpi. Lihat saja, jalan tol tak berujung dan belum
beraspal."
Kita
tahu, di masa lalu masyarakat Kaltim hidup dari "main kayu".
Maksudnya, andalan ekonomi daerah itu di masa lalu adalah menebang hutan dan
menjual kayunya dalam bentuk gelondongan (log). Lalu, musibah terjadi ketika
ekspor kayu gelondongan dilarang. Bisnis sawmill gulung tikar, lantas muncul
perusahaan-perusahaan kayu lapis (plywood).
Sayang, kebijakan itu tidak konsisten. Pemerintah kembali membuka keran
ekspor log. Lemahnya pengawasan membuat penyelundupan kayu terjadi di
mana-mana. Pabrik-pabrik sawmill dan plywood pun kekurangan bahan baku, lalu
gulung tikar. Ekonomi mundur lagi dan penganggur pun marak.
Lepas
dari kayu, Kaltim bergantung pada batu bara. Anda yang pernah terbang di atas
udara Kaltim akan dengan mudah menyaksikan lubang-lubang tambang yang
menganga di sana-sini. Tapi, bencana datang lagi saat dunia dilanda krisis,
harga batu bara di pasar dunia melorot.
Kondisi
itulah yang kini harus dihadapi Gubernur Awang Faroek. Lalu, apa yang harus
dilakukan, baik dalam waktu dekat maupun jauh ke depan? Itulah materi yang
dibahas dalam rembuk rakyat di Kaltim.
Jangka Pendek v Jangka Panjang
Rembuk
rakyat di Kaltim itu dihadiri oleh hampir semua stakeholder. Mulai kalangan pendidikan, kesehatan, politik, dunia
usaha, sampai tokoh adat, penegak hukum, dan militer.
Saya
juga senang karena Awang Faroek memimpin langsung rembuk rakyat tersebut.
Sebagai pemimpin, sahabat saya itu rupanya tahu benar kapan dirinya harus
berada di depan, di tengah, dan kapan harus menempatkan diri di belakang.
Itulah prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara.
Yang
juga menarik perhatian saya, Awang Faroek adalah gubernur yang mempunyai ciri
khas: Dia membangun untuk jauh ke depan. Maka, tak heran bila sebagian
kalangan menganggapnya masih sebatas mimpi. Dia membangun pelabuhan besar,
kawasan industri strategis, cluster industri olahan, dan infrastruktur.
Di
tengah-tengah dialog juga hadir sahabat lama saya, Sabri Ramdhani, direktur
perusda MBS yang ditugaskan gubernur untuk menjalankan peran strategis dalam
gelombang panjang transformasi ekonomi ini. Sabri, tokoh Dewan Mahasiswa UI
tahun 1980-an, hari-hari ini tengah menjadi berita di Kaltim karena peluru
yang ditembakkan para anggota legislatif yang gerah membaca sepak terjangnya
mengonversi lahan-lahan menganggur menjadi kegiatan ekonomi produktif skala
besar.
Saya
paham, semua orang ingin melihat hasil instan. Masalahnya, untuk memutar
ulang perekonomian daerah itu, tak semua usaha bisa cepat menghasilkan.
Tetapi, Sabri bukanlah manajer ecek-ecek. Dia profesional yang bisa jadi
andalan karena kewirausahaannya sangat kental. Network-nya pun tak banyak
dimiliki orang lain.
Saat
diminta memimpin perusda itu, misalnya, sumber keuangan perusahaan hanya uang
jual beli tiket dan tempat parkir, yang -maaf- nilainya tak seberapa. Dan
tentu saja ada empat pesawat yang tak bisa dikomersialkan karena jenisnya
kurang pas untuk angkutan penumpang. Di bawah gubernur yang visioner, dia pun
mengubah arah perusahaan dan menjalin kerja sama dengan pihak swasta.
Aset-aset pemda yang menganggur dia jadikan penyertaan modal baru pemerintah,
yang dengan kemampuan jejaringnya dia datangkan mitra-mitra baru. Kelak semua
itu akan menjadi mesin penggerak baru bagi perekonomian masyarakat.
Tetapi,
sekali lagi, siapa yang bisa memaklumi bahwa di negeri ini banyak benang kusut
serta siapa yang bisa melihat bahwa bermain jangka panjang butuh napas dan
stamina yang tinggi?
Ada satu
hal yang menjadi kepedulian saya pada rembuk rakyat tersebut. Jika
memperhatikan paparan Awang Faroek, tampak jelas bahwa strategi pembangunan
Kaltim sangat berorientasi pada jangka menengah dan panjang. Strategi
mengembangkan industri pengolahan, misalnya, hasilnya tentu baru akan
terlihat pada empat sampai lima tahun ke depan. Sementara untuk pembangunan
infrastruktur, malah baru terasa dampaknya dalam jangka panjang.
Di sisi
lain, saya lihat ada stakeholder yang berorientasi jangka pendek. Itu tampak
dalam pembahasan tentang perusda tersebut. Mungkin untuk menjembatani hal
itu, kita perlu sedikit bersabar. Proses transformasi di perusahaan daerah membutuhkan
waktu. Apalagi kalau di dalamnya ada masalah permodalan, perizinan yang
berbelit-belit, tarik-menarik kepentingan politis dan bisnis, ditambah dengan
rendahnya kualitas SDM perusahaan. Hasilnya pasti tak akan bisa terlihat
dalam jangka pendek. Politisi juga harus mulai belajar membedakan antara aset
dan cash flow, antara business profit dan keekonomian
daerah, antara pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, juga tentu saja
antara tangible dan intangible asset.
Saya berharap seluruh stakeholder
rembuk rakyat di Kaltim bisa menyamakan visi dengan visi pimpinannya yang
membangun Kaltim dengan orientasi jauh ke depan. Dengan penuh kesabaran dan
kesadaran bahwa pembangunan itu tidak hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri, tetapi juga kepentingan generasi mendatang. Kalau semua kompak,
Kaltim bisa jadi contoh penerapan daya saing di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar