Kompetisi
Piano, “Quo Vadis”?
Ananda Sukarlan ;
Musisi
|
KOMPAS,
02 Februari 2014
Mulai
banyak kompetisi piano diadakan di Tanah Air, menyusul iklim musik sastra
yang sangat hangat dan aktif saat ini. Tak dapat dihindari pergerakannya ke
arah positif dan negatif.
Pendidikan
musik pada umumnya dimulai pada usia yang sangat muda (di bawah 10 tahun)
dalam artian membaca not balok dan memainkan instrumen (bukan hanya piano).
Pendidikan musik memang bukan bertujuan utama membuat anak-anak menjadi
musikus di kemudian hari, melainkan lebih ke pengaktifan otak yang lebih
intuitif dan kreatif sehingga mereka akan berkembang sebagai individu yang
lebih peka, bukan hanya empatis, melainkan juga dalam melaksanakan kualitas
pekerjaan mereka yang sering tak berhubungan sama sekali dengan seni.
Dari
pendidikan tersebut, sering secara tidak sengaja ditemukan bakat-bakat musik
yang terkadang luar biasa, yang diharapkan dapat menjadi musikus andal di
kemudian hari, di mana modal bakat saja tentu tidak cukup untuk itu.
Menantang diri sendiri
Kompetisi
piano adalah salah satu wadah bagi anak-anak untuk menantang kualitas diri
sendiri. Dua kata terakhir itu yang perlu diingat: diri sendiri. Pada dasarnya
kompetisi seni apa pun tidak dapat disamakan dengan kompetisi olahraga, di
mana sang kompetitor memiliki ”lawan” atau ”rival”, karena bagaimanapun
subyektivitas para juri ikut memegang peran. Yang bermain musik Tschaikovsky
dengan tempo lebih cepat belum tentu menang, tidak seperti di kolam renang.
Mereka
yang penekanan tuts pianonya paling kuat juga belum tentu menang karena ini
bukan olahraga gulat. Bahkan, yang meleset memencet tuts piano pun belum
tentu terkurangi nilainya. Di olahraga panahan, jika anak panah tidak tepat
sasaran, nilainya akan berkurang. Oleh karena itu, di ajang seperti ini,
peserta diharapkan berkompetisi dengan kualitasnya sendiri, dengan perbedaan
antara apa yang diharapkannya sebelum naik panggung dan kenyataan yang terjadi
di panggung, seberapa besar aspirasi artistiknya bisa direalisasikan di depan
penonton dan juri.
Jadi,
apakah tidak ada standar atau kriteria dalam penilaian juri? Tentu saja ada,
hanya saja semua kriteria tersebut berhenti pada tahap teknik permainan serta
pengetahuan akademik. Dan, kriteria-kriteria tersebut sudah 70-80 persen
terpenuhi oleh teknik permainan yang makin membaik oleh para pianis muda
Indonesia saat ini. Setelah semua kriteria ini terpenuhi, saatnya ”selera”
memegang peranan.
Masalahnya
mulai timbul jika kompetisi dijadikan ajang ”rebutan murid” oleh para guru
musik yang notabene menjadi juri di kompetisi tersebut. Dan, ”selera” ini
bisa saja diinterpretasi dengan subyektivitas yang memang tidak bisa
dihindari, bukan hanya dari kualitas permainan, melainkan menjalar jadinya ke
”yang ini murid saya, jadi harus saya kasih nilai lebih tinggi daripada yang
lain”. Bagaimanapun, nama guru akan terangkat jika muridnya memenangi
kompetisi, apalagi yang bergengsi.
Masalah
lain, mungkin yang paling penting, tetapi sering dilupakan, adalah jika juri
adalah seorang pendidik, tetapi tidak merangkap seorang performer (dalam
artian sebenarnya, bukan hanya bermain di depan murid-muridnya atau
lingkungan sekolahnya). Ia akan melupakan satu hal yang sederhana, tetapi
penting: penonton datang ke konser untuk ”disentuh hatinya”, bukan untuk
mengontrol dengan stopwatch
seberapa cepat sang pianis memainkan Chopin
Etude serta menghitung jumlah tuts piano yang salah pencet. Kecepatan
tempo dan tingkat akurasi permainan yang tinggi tidak menjamin tingginya
nilai artistik sebuah permainan piano, seperti yang saya selalu tekankan: music serves to express, not to impress.
Indonesia
sebagai salah satu pengguna terbesar media sosial di dunia, musik sastranya
juga terwakili dengan begitu banyak pengikut Facebook dan Twitter. Banyak
sumber informasi yang di tulis para amatir dan beberapa dari mereka
memberikan informasi (bukan hanya opini) yang kurang tepat. Dalam kasus ini,
hanya waktulah yang dapat menyaring kualitas yang baik dari forum dan media
tersebut, yang saat ini tumbuh lebih dalam kuantitas daripada kualitas.
Gagal bukan kiamat
Saya
akui, kompetisi bukanlah cara terbaik untuk membangun atmosfer kesenian.
Namun, sampai sekarang, inilah satu-satunya cara bagi seorang musikus muda
memulai karier di musik sastra, di mana kompetisi/audisi yang disaksikan
publik umum menjadi sebuah platform bagi penemuan dan pengakuan bakat
seseorang. Jika ada metode yang lebih baik daripada audisi/kompetisi yang
fair, metode itu harus bisa menjawab dua pertanyaan ini:
1.
Bagaimana seorang produser/penyelenggara acara/komponis mendapatkan dan
menemukan musikus yang berkualitas dan sebaliknya;
2.
Bagaimana musikus yang berkualitas, tetapi tidak memiliki koneksi, uang yang
cukup, dan fasilitas lain mendapatkan kesempatan atau exposure untuk
menunjukkan karyanya?
Asumsi
bahwa kompetisi/audisi itu seperti lagu ABBA ”The winner takes it all, the
loser has to fall”, itu sama sekali tidak benar. Justru berdasarkan
pengalaman saya mengadakan kompetisi piano internasional Ananda Sukarlan
Award sejak 2008, terdapat fakta yang malah menguntungkan yang ”kalah”.
1. Tahun
2008, Inge Buniardi memenangkan juara I dan Edith Widayani pemenang II. Edisi
berikutnya (2010), Edith Widayani menjadi pemenang pertama. Kini keduanya
melanjutkan kuliah, Inge di University of Kansas dalam program S-3 dan Edith
di Eastman School of Music dalam program S-2, dua perguruan tinggi yang ”top”
di AS. Mereka juga telah memulai karier sebagai pianis ke mancanegara.
2. Tahun
2008, Randy Ryan memenangi juara III dalam usia 15 tahun. Ia ikut kompetisi
lagi tahun 2012 dan memenangi juara I. Kini, ia kuliah S-1 di Juilliard School of Music, New York.
Dua fakta ini tidak ”disengaja” terjadi karena dewan juri setiap edisi berbeda.
Dengan demikian, mereka tidak mengenal siapa yang telah berpartisipasi di
edisi sebelumnya.
Ketiga
pianis yang saya sebut ini kini mendapatkan beasiswa dari universitas untuk
kuliahnya. Kesimpulan yang dapat diambil, sukses sering tak tercapai langsung
dalam satu kompetisi, ”kegagalan” bukan berarti kiamatnya dunia, melainkan
memperkaya pengalaman. Itu pun saya alami di masa-masa muda saya.
Nepotisme dan persahabatan
Dunia
seni yang sangat menjunjung tinggi kualitas produknya tidak dapat lagi berkembang
melalui nepotisme atau persahabatan semata. Betapapun cintanya Anda terhadap
istri atau anak Anda, belum tentu ia dapat menjamin kualitas pertunjukan yang
prima, betapapun besarnya usaha dan niat baiknya selain untuk memberikan yang
terbaik, juga untuk membahagiakan Anda.
Mengambil
bagian dalam kompetisi dan bagaimana mempersiapkan diri untuk itu sekarang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan musik. Manfaatnya
sekarang bahkan lebih bermakna, mengingat ada begitu banyak bisnis sekolah
musik yang menawarkan pendidikan ”instan”, memenuhi banyak harapan orangtua
kepada anak-anak mereka untuk menjadi ”genius” bermain piano dalam waktu
beberapa bulan.
Kualitas seorang musisi hanya dapat dibuktikan dengan konser live atau
rekamannya. Ekspresi yang ingin disampaikannya harus cukup dalam sehingga
tidak dapat disampaikan dengan kata-kata, ucapan atau tulisan. Hanya melalui
kompetisi atau audisilah seseorang dapat menyajikan kualitasnya, baik kepada
masyarakat luas ataupun kepada para ahli yang bertindak sebagai juri. Hanya
melalui kualitas tinggi para musisilah musik sastra kita akan tumbuh dan
berkembang serta dalam jangka panjang itu membuat musik sastra diterima,
”dipahami”, dan akhirnya dicintai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar