Infrastruktur
Tertatih Menyongsong MEA 2015
Faisal Basri ;
Ekonom
|
KOMPAS,
03 Maret 2014
PERANAN
sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto terus menurun, dari titik
tertinggi 29 persen tahun 2001 menjadi hanya 23,7 persen pada 2013. Transaksi
perdagangan produk manufaktur sudah mengalami defisit sejak 2008 dan terus
memburuk dengan cepat hingga 2014.
Hanya
dalam waktu empat tahun, defisit perdagangan manufaktur naik lebih dari dua
kali lipat, dari 24,4 miliar dollar AS tahun 2008 jadi 51,4 miliar dollar AS
pada 2012.
Dibandingkan
dengan sektor penghasil barang lainnya, industri manufaktur paling sensitif
terhadap ketersediaan berbagai jenis infrastruktur fisik, terutama listrik,
jalan, dan pelabuhan.
Negara-negara
yang industrinya lebih maju dibandingkan Indonesia pada umumnya ditopang
ketersediaan listrik yang jauh lebih baik.
Pada
2011, konsumsi listrik per kapita di Malaysia dan Thailand masing-masing
4.246 kWh dan 2.316 kWh, sedangkan Indonesia hanya 680 kWh. Indonesia juga
jauh tertinggal dibandingkan dengan China (3.298 kWh), bahkan dengan Vietnam
sekalipun (1.073 kWh). Dengan India juga kalah (684 kWh). Di ASEAN, Indonesia
hanya unggul dari Laos, Myanmar, Kamboja, dan Filipina.
Pemadaman bergilir
Belakangan
ini penyakit pemadaman listrik bergilir kembali kambuh. Di beberapa provinsi
bahkan sudah bertahun-tahun, sudah sangat akut. Padahal, Indonesia dikaruniai
sumber energi primer yang cukup melimpah, beragam, dan relatif murah, seperti
batubara, gas alam, dan panas bumi.
Ratusan
gunung berapi di Indonesia cuma diratapi sebagai sumber bencana, gagal
dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga panas bumi. Padahal, sekitar
40 persen cadangan panas bumi dunia berada di Indonesia.
Namun,
dari potensi sekitar 28.000 megawatt itu, yang termanfaatkan baru sekitar 4
persen. Belum lagi potensi listrik tenaga air dan mikrohidro yang bertaburan
tak terkelola sehingga justru semakin banyak menimbulkan bencana banjir.
Lebih
ironis lagi, kebanyakan daerah yang minim pasokan listrik dan kerap mengalami
pemadaman adalah daerah pemasok energi primer. Daerah itu terus memasok
energi primer dan bahan baku bagi industri dan rakyat di Jawa. Industri tak
kunjung berkembang di lumbung energi.
Industri
yang sudah ada pun bertumbangan, seperti industri sarung tangan di Sumatera
Utara. Rencana pembangunan kawasan industri di luar Jawa tersendat-sendat.
Selain keterbatasan pasokan listrik, pelabuhan juga tidak memadai. Pengusaha
harus membangun pembangkit listrik, jalan, dan pelabuhan sendiri.
Akibatnya,
pengusaha menanggung beban ongkos tetap (fixed cost) yang tinggi dibandingkan
dengan negara-negara tetangga yang pemerintahnya menyediakan infrastruktur
dasar ini.
Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) seharusnya
memberikan solusi. Sangat disayangkan, justru sebaliknya, MP3EI berjalan
sendiri. Yang dikedepankan justru proyek jembatan Selat Sunda dan jalan tol
lintas Sumatera.
Tidak
juga mengantisipasi penerapan Undang-Undang Minerba yang mengamanatkan
peningkatan nilai tambah hasil tambang dan mineral (bukan larangan ekspor
sebagaimana diinterpretasikan oleh berbagai peraturan pelaksanaannya).
Jika
infrastruktur tersedia, pengusaha tak perlu dipaksa untuk membangun
pengolahan tambang dan mineral. Akan tetapi, kalau semua infrastruktur dasar
harus dibangun sendiri tanpa kompensasi berupa insentif, jangan berharap
pengusaha terdorong membangun fasilitas pengolahan.
Jika
listrik cukup dan ongkos angkutan laut murah karena pelabuhan dan jaringan
jalan memadai, industri tidak akan semakin berjejalan di Jawa, khususnya
Jabodetabek. Ditambah lagi dengan tekanan upah yang semakin tinggi di Jawa,
niscaya industri akan lebih tersebar ke luar Jawa.
Bagaimana
hendak memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 jika infrastruktur
berantakan. Bagaimana mungkin bakal dapat maslahat maksimum dari
pengintegrasian pasar ASEAN kalau pasar domestik kita tidak terintegrasi.
Bagaimana bisa melakukan penetrasi ke pasar ASEAN kalau ongkos angkutan untuk
ekspor per kontainer Indonesia termahal ketiga dari delapan negara ASEAN.
Sebaliknya,
ongkos mendatangkan barang (impor) ke Indonesia justru di urutan ketiga
termurah (data dari ASEAN Secretariat, ASEAN Community Progress Monitoring
System, Full Report 2012). Tak pelak lagi, barang-barang impor bakal lebih
deras masuk ke Indonesia. Barang impor akan langsung masuk ke sejumlah
daerah, tak perlu lagi dipasok dari Jawa seperti kebanyakan selama ini.
Pemerintah
nyata-nyata gagal mengemban tugasnya sebagai penyedia infrastruktur dasar.
Bagaimana mungkin perekonomian bisa berfungsi optimal jika investasi publik
hanya sekitar 3 persen dari produk domestik bruto, sementara negara-negara
tetangga kebanyakan di atas 5 persen. Vitamin yang masuk ke dalam tubuh
perekonomian (infrastruktur) jauh lebih kecil dari racun (subsidi energi)
yang diciptakan perekonomian.
Bukannya menyelesaikan akar masalah, pemerintah justru menambah masalah
baru dengan lebih banyak mengalihkan tanggung jawab pembangunan infrastruktur
dasar kepada pihak swasta ala MP3EI. Sungguh merupakan wujud dari sesat
pikir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar