Kamis, 27 Maret 2014

Asap di Riau, Uang di Monas


Asap di Riau, Uang di Monas

Hadi S Alikodra  ;   Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
KORAN SINDO,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Riau ibarat tanah hikayat. Sastra dan bahasa Indonesia jika ditelusuri berasal dari Riau. Naskah-naskah kuno yang menjadi cikal bakal bahasa dan sastra Indonesia pun kebanyakan berasal dari Riau. Riau tak hanya tanah hikayat, tapi juga tanah adat. Tanah adat yang kaya sastra, harta, dan …maaf.. .derita.

Yang terakhir inilah yang kini sedang menimpa warga Riau akibat asap yang tersebar dari kebakaran hutan. Ekonom Faisal Basri pernah menggambarkan bahwa Riau secara logika seharusnya lebih kaya dari Brunei Darussalam. Ini karena minyak yang dihasilkan dari Riau lebih banyak dari Brunei. Di samping itu, Riau punya kebun sawit dan karet yang luas, hutan yang kaya plasma nutfah, dan letaknya strategis—dekat dengan Singapura, salah satu pusat perdagangan terbesar di Asia.

Dengan melihat Riau seperti itu, kemiskinan mestinya tidak menerpa provinsi ini. Tapi, apa kenyataannya? Riau Pos melaporkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan yang tercatat pada September 2013 naik 41,22 ribu jiwa. Kenaikannya 8,05% jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang berjumlah 481,31 ribu jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin di Riau pada September 2013 mencapai 522,53 ribu atau 8,42% dari jumlah penduduk Riau saat ini. Kenaikan jumlah penduduk miskin itu terbesar di daerah perdesaan.

Apa artinya? Asap dari hutan-hutan di Riau akan terus menyebar. Ini terjadi karena kenaikan kemiskinan berkorelasi linier dengan kerusakan lingkungan, termasuk di dalamnya pembakaran hutan yang menyebarkan asap tadi. Dari latar belakang inilah, kita bisa meneropong penyebab tragedi asap di Riau yang menimbulkan kerugian triliunan rupiah itu. Tentu saja, penyebabnya bukan semata orang miskin merusak hutan, melainkan orang kaya (baca: pengusaha atau korporasi) yang memanfaatkan orang miskin untuk merusak hutan. Orang miskin secara sosiologis memang mudah dimanfaatkan orang kaya karena keterdesakan ekonomi.

Selama ini, bila ada pertanyaan kenapa dari tahun ke tahun hutan di Riau terbakar (sehingga menyebarkan asap yang mengganggu kehidupan masyarakat), jawabannya melingkar-lingkar. Salah pemegang HPH, salah masyarakat pedalaman yang punya budaya ladang berpindah, salah pemerintah yang tak punya koordinasi untuk mengatasi kebakaran hutan, salah pejalan yang seenaknya membuang puntung rokok ke hutan, salah alam yang menyimpan hot spot (batu bara dalam tanah kawasan hutan yang mudah terbakar).

Atau bisa juga menyalahkan petugas jagawana yang tak segera melaporkan ada kebakaran hutan, salah pemda setempat yang tak punya instrumen pemadam kebakaran yang memadai, salah menteri kehutanan yang tak punya kepedulian terhadap kebakaran hutan, dan lain-lain. Tak jelas siapa yang salah. Yang jelas “salah” adalah kebakaran hutan di Riau berlangsung dari tahun ke tahun dan nyaris tak bisa diatasi. Meminjam istilah Faisal Basri, negara tidak hadir di Riau. Padahal “kekayaan” Riau untuk Jakarta amat besar. Ibarat pepatah, asap di Riau, uang di Monas. Monas adalah simbol “Jakarta” yang menjadi tempat “parkirnya” uang kekayaan Riau.

Bila saat ini Presiden SBY langsung memimpin pemadaman kebakaran hutan di Riau dan mencari biang keroknya, akankah tahun mendatang kebakaran hutan di Riau akan berhenti?

Pada era booming sawit, perambahan hutan kini makin merajalela. Perambahan hutan plus pencurian kayu itu kini sudah mengancam hutan konservasi dan hutan lindung. Di Sumatera misalnya kondisi Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Tesso Nilo kini amat buruk.

Perambahan hutan, pencurian kayu, serta perluasan kebun sawit misalnya telah menjadikan gajah kehilangan jalur-jalur mekanis perjalanan migrasinya di hutan sehingga mereka banyak yang tersesat ke kampung dan kemudian dibunuh manusia. Keberadaan gajah liar merupakan indikator penting untuk mengetahui sejauh mana kritisnya kondisi hutan. Jika banyak gajah yang keluar dari hutan dan tersesat masuk ke kampung manusia, itu menandakan kondisi hutan rusak berat sehingga gajah tidak bisa survive di dalam hutan. Para perusak hutan kini sudah berubah menjadi mafia.

Mereka merupakan jaringan yang canggih karena “bisa jadi” melibatkan oknum pemda, militer, polisi, pengusaha, dan lain-lain. Mekanisme kerja mereka pun sangat sistematis dan kadang sulit terendus. Bagaimana besarnya pencurian kayu dan pembabatan hutan itu baru terkuak setelah timbul banjir bandang, longsor, dan lain-lain. Jika tiap tahun intensitas banjir bandang dan longsor makin besar, itu berarti kerusakan hutan makin besar pula. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) misalnya mencatat pada Era Reformasi ini kerusakan hutan mencapai 2,5 juta hektare per tahun—jauh lebih tinggi dibanding era Orde Baru yang mencapai 1 juta hektare per tahun.

Rezim SBY selama 10 tahun nyaris tak bisa menghentikan kerusakan hutan yang masif itu. Padahal, ajakan pemerintah untuk melakukan reboisasi hutan terus dikuman-dangkan. Kenapa demikian? Karena berbarengan dengan ajakan reboisasi, izin-izin pembukaan kebun sawit terus berlanjut. Jadinya, antara reboisasi dan deforestasi tidak seimbang. Deforestasinya jauh lebih besar! Kasus asap Riau menjadi salah satu bukti betapa dahsyatnya perambahan dan perusakan hutan tersebut.

Indonesia kini berani membusungkan dada sebagai negeri penghasil minyak sawit terbesar di dunia, jauh meninggalkan Malaysia. Tapi, beranikah membusungkan dada sebagai negeri yang paling banyak diterjang banjir bandang dan longsor? Di sisi lain, pantaskah di Riau yang kaya itu kemiskinan terus bertambah? Jika kemudian asap kebakaran hutan Riau mampu “menghentikan” hampir semua aktivitas pemerintahan, bila kita bijak dan merenung— Itukah tanda-tanda alam yang mengingatkan kita agar menyelamatkan hutan dari terjangan booming sawit? Ingat, perluasan kebun sawit di berbagai daerah terindikasi korupsi. Celakanya, korupsi tersebut sulit dibongkar karena terselubung peraturan daerah.

Saat ini, menjelang pemilu dan pilpres, bisa diduga “perizinan” pembukaan sawit makin marak. Permainan oknum pemda dan DPRD yang butuh uang untuk kampanye (pemilu, pilpres, dan pilkada) misalnya menjadikan hutan sebagai sasaran “pemerasan”. Hasilnya, itu tadi, asap hutan yang menyebar dan menyengsarakan orang. Jika tidak ada solusi efektif dan terintegrasi yang melibatkan semua stakeholder kehutanan, jangan diharap kerusakan hutan akan berhenti dan asap akan menghilang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar