Tugas
Sejarah Presiden Baru
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
03 Februari 2014
DALAM kemiskinan rasa hayat
sejarah dan peradaban, kita menjumpai missing link, keterlepasan hubungan
dengan masa silam gilang-gemilang. Akibatnya, kita tertatih-tatih menetapkan
”titik berangkat” dan merenda masa depan bersama.
Kita menerima dengan takzim
disebut bangsa muda, hanya karena ketika Inggris bikin maklumat Magna Charta
(1215) yang membatasi monarki, sementara Kerajaan Singasari baru hendak
berdiri. Saat Eropa dilanda renaisans, kita masih mendekap mistis dan
takhayul.
Rendah diri ini menyesatkan. Kita
punya Borobudur dan banyak prasasti adiluhung hasil olah rasa-karsa-karya
leluhur. Juga Sriwijaya dan Majapahit, bukti ekstensi daulat maritim
Nusantara jauh sebelum Britania Raya menguasai dunia. Kita kedodoran
meneruskan peran pemersatu negara-negara bekas jajahan melanjutkan
kiprah Bung Karno memimpin Konferensi Asia-Afrika 1955 dan menawarkan
Pancasila di Majelis Umum PBB (To Build
the World a New, New York, 1960). Semua kejayaan itu seolah
onggokan artefak, beku di lorong gelap sejarah.
Singkatnya, kita terjebak
kebodohan kolektif yang bermula dari kemiskinan karakter, sengkarut
bernegara, akhirnya kesulitan melakukan transformasi paradigmatik dan aksi.
Kita enggan menangkap ”api” kedaulatan dan sukarela masuk pusaran
globalisasi. Padahal, kemajuan selalu berpangkal kemandirian sebagaimana
Jerman, AS, Inggris, Jepang, China, dan Korsel tak pernah berkompromi dalam
meneguhkan kepentingan nasionalnya.
Tugas sejarah
Energi dan kesempatan banyak
terbuang pasca-Reformasi 1998. Presiden baru punya kesempatan
menunaikan tugas sejarah membangun ”titik berangkat” bersama agar tak
kembali terperangkap involusi, berkubang pada kesalahan yang sama. Setidaknya
ada 10 agenda besar untuk dikerjakan sebagai pijakan kokoh ke depan agar
bangsa maju dan terus bertumbuh.
Pertama, pendidikan yang
mencerdaskan, mandiri, dan bermartabat. Pendidikan dasar harus didesain ulang
untuk membudidayakan esensi kawasan kognitif-psikomotorik-afektif sebagai
basis pembentukan pola pikir anak-anak bangsa. Menyemai hasrat meluap
untuk mengeksplorasi talenta, menyuburkan kebajikan insani, dan membentuk
karakter kuat terlalu mahal ditukar dengan aneka silabus hampa nilai.
Kedua, pencegahan korupsi sebagai
gerakan tak henti-hentinya. Korupsi merajalela akibat mewabahnya watak
munafik dan menyelinap sejak perencanaan. Terbukti lembaga pengawasan melekat
(inspektorat dan sejenisnya) dan sanksi hukum tidak efektif karena rentang
kendali sangat elastis, memberi keleluasaan bagi praktik kejahatan
kemanusiaan itu. Bahkan, lembaga procurement, yang
dibentuk 2007 untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang
dan jasa proyek pemerintah, belum berdaya guna mencegah korupsi.
Kita berkaca dari beban bunga
obligasi rekap BLBI dalam APBN yang mencapai Rp 70 triliun-Rp 80
triliun per tahun sampai 2033. Fakta ini tak sekadar mengingkari asas
deliberasi publik, sekaligus menunjukkan mandulnya moral
eksekutif-legislatif, yang mengubah piutang negara kepada sejumlah pengusaha
dan perbankan menjadi beban utang rakyat.
Ketiga, revitalisasi program
Keluarga Berencana (KB). Struktur demografi ke depan dibayang-bayangi ledakan
jumlah penduduk usia produktif berkualitas rendah akibat minimnya asupan gizi
dan pendidikan bermutu. Dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi, rata-rata
1,5 persen per tahun (di beberapa daerah miskin malah 2 persen), program KB
merupakan pangkalan utama dan pertama untuk merekayasa generasi unggul masa
depan dengan campur tangan penuh negara.
Keempat, fokus pada paradigma
pembangunan maritim. Masa depan Indonesia adalah eksplorasi, eksploitasi,
konservasi keanekaragaman hayati beserta seluruh potensi lautnya. Sejak lama
negara menyia-nyiakan anugerah dan peluang besar ini, sebaliknya condong pada
strategi land-base development
yang melahirkan aneka konflik ”lapar lahan” luar biasa.
Kelima, menata bangun ekonomi yang
lebih memenuhi rasa keadilan. Patronase politik-ekonomi yang tetap kuat terus
mereproduksi jenis korporasi lisensi dan konsesi di sektor-sektor strategis.
Jumlah wira usahawan mandiri hanya 1,25 persen dari total penduduk.
Jauh dari mencukupi syarat untuk meraih mimpi ”Indonesia Incorporated”.
Menurut Kepala Lembaga Demografi
UI Sonny HB Harmadi, hasil sensus 1928 (era kolonial) dan 2010 memperlihatkan
fenomena ajek, ditandai sebaran penduduk dan kontribusi ekonomi per wilayah
terhadap pendapatan nasional tidak berubah signifikan. Konsentrasi kegiatan
ekonomi tetap bertumpu di Jawa dan sebagian Sumatera.
Transformasi ekonomi tersendat, tidak efisien, dan lamban membangun basis
produksi bagi pertumbuhan dan pemerataan berkelanjutan.
Liberalisasi industri keuangan
selain rawan juga diperburuk operasi para pelaku rente, seperti merebaknya
pegadaian swasta dan bank-bank berkedok koperasi yang meruyak ke seluruh
daerah. Harga dana tetap mahal dan sukar diakses kelompok usaha
kecil-menengah meskipun mereka terbukti selalu tampil sebagai bantal
pengaman saat krisis. Joseph E Stiglitz (1999) mengkritik: ”Another metaphor has become fashionable
for small, less developed countries embarking on financial and capital market
liberalization. It is likened to a small boat setting sail on a wild and
rough ocean—even if well steered and solidly constructed, it is vulnerable to
being hit broadside by a wave and capsizing.”
Keenam, reforma agraria dengan
determinasi tinggi. Mustahil berharap triple-track strategy: pro-pertumbuhan,
pro- pembukaan kesempatan kerja, dan pro- pengentasan dari kemiskinan
berhasil tanpa konsolidasi dan redistribusi lahan secara adil dan
produktif. Terdapat 7,5 juta hektar tanah telantar di seluruh Indonesia
yang selama ini dibiarkan menganggur, tumpang tindih penguasaannya. Belajar
dari sukses pembangunan pertanian di negara mana pun, reforma agraria selalu
menjadi hulu pemecahan masalah.
Ketujuh, mengakhiri paradoks TKI
dan ketimpangan pemilikan aset, antara remitansi dan repatriasi. Jumlah
TKI melonjak 6,5 juta orang memberi pesan tegas semakin menyempitnya peluang
kerja, analog dengan tingginya angka pengangguran terbuka. Selama
acuannya penghasil devisa (seperti Banglades dan Filipina), kita akan terus
dihadapkan ”buah simalakama” dari perdagangan legal manusia
berketerampilan terbatas ini.
Struktur penguasaan aset sumber
daya alam (pertambangan dan perkebunan) juga semakin memperlihatkan
berkuasanya dominasi asing. Inilah salah satu
ironi terbesar negeri ini: rakyatnya berduyun-duyun mencari nafkah ke luar
negeri, sementara aset produktifnya dikuasai para pemodal besar. Ini
mengingatkan pleidoi Bung Karno di depan pengadilan kolonial (”Indonesia
Menggugat”, Bandung, 18/8/1930): ”Penduduk Bumiputera dibikin hanya sebagai
bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh di antara
bangsa-bangsa.”
Kedelapan, pembangunan
infrastruktur dengan pola arisan daerah. Akibat APBN terbebani bermacam
subsidi dan pembayaran utang, kapasitas pemerintah semakin terbatas dalam
membiayai pembangunan infrastruktur.
Salah satu alternatifnya dengan
pola arisan antarwilayah, termasuk menggandeng swasta. Model ini menjanjikan
terutama untuk menjembatani kesenjangan pembangunan infrastruktur
antarwilayah, keterbatasan sumber daya lokal, dan sinergi pembentukan
”titik-titik api” pertumbuhan ekonomi.
Sejak inisiasi proyek Kawasan
Pembangunan Ekonomi Terpadu di sejumlah daerah di era Orde Baru
sampai Infrastructure Summit 2005, realisasi pembangunan prasarana
strategis bergerak lambat. Kawasan Indonesia barat melaju kian jauh
meninggalkan Indonesia timur sehingga melebarkan disparitas harga,
ketertinggalan, kelambatan arus barang dan jasa.
Kesembilan, merawat dan memperkuat
kebinekaan. Eksistensi keberagaman terus mendapatkan rongrongan terorisme,
gerakan sektarian, eksklusivisme atas nama agama-kepentingan-kedaerahan,
intoleransi, berkecamuknya bermacam konflik ekonomi dan adat. Kemampuan
mengelola ”perbedaan dalam persatuan” yang terus merosot menunjukkan negara
dan masyarakat abai menjaga kemajemukan sebagai omnipresent, suatu
kenyataan tak terbantahkan.
Kesepuluh, menyusun tim kabinet
mumpuni. Selama ini, harapan tinggi digantungkan kepada figur presiden.
Indonesia terlalu besar, luas, dan multidimensi untuk ditangani
seseorang, sekaliber apa pun. Realistisnya, kita memerlukan segugus
pemimpin kredibel—bukan sekadar sekumpulan pejabat tinggi—untuk melansir
perubahan besar. Meski penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden,
publik kiranya dapat aktif berperan menetapkan kriteria berdasarkan tantangan
dan kebutuhan situasi. Keterlibatan publik (akademisi, praktisi,
profesional) bisa menjadi rujukan, penguat seleksi kapabilitas, dan
integritas kandidat. Ini juga dapat diartikan sebagai bentuk dukungan
nonpolitik, sekaligus watchdog bagi kinerja kabinet.
Mengobarkan semangat
Kita butuh banyak figur dengan karakteristik enabler bukan provider, leader bukan dealer, pemimpin bukan pembesar.
Negarawan otentik dengan visi melenting ke depan, bukan kontestan yang menjual
keajaiban. Konfigurasi tantangan dan beban negara menghendaki ekspresi
keteguhan sikap, keputusan, dan tindakan yang menyatukan visi besar bersama.
Kita tidak memilih seorang
presiden biasa yang mudah berjanji, tetapi belum cukup memberi di lapangan
pengabdian kemasyarakatan dan kebangsaan. Perlu banyak tokoh teladan yang
dapat membangkitkan tekad untuk memecahkan begitu banyak kebuntuan,
bersendikan misi kuat, terukur, dan terencana. Figur-figur dengan dukungan
mencukupi dari berbagai kalangan, mampu merangkum cita-cita bangsa, dan
mengobarkan semangat dan hasrat besar agar Indonesia meraih martabat
semestinya.
Kita butuh para pemimpin yang
dapat meningkatkan kapasitas bangsa menggapai daya saing tinggi, tetapi
sekaligus mengembangkan daya sanding kohesif. Pemimpin yang paham
mengendalikan kompetisi yang sering kali memakan korban pihak paling lemah,
sekaligus kerja sama untuk saling berbagi ruang dan peluang.
Tokoh yang hendak bermetamorfosis
jadi pemimpin sejati sepatutnya mengerti makna konfesi, tugas utama seorang
manusia pilihan sebagai representasi makhluk mulia yang sukacita mengusung
”titipan” kebajikan-kebajikan besar. Bagaimana ia menunaikan tugas itu, menunjukkan
sejauh mana derajat konfesinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar