Selasa, 04 Februari 2014

Tali Rapuh Wali Kota dan Wakilnya

Tali Rapuh Wali Kota dan Wakilnya

Arif Afandi   ;  Wakil Wali Kota Surabaya 2005-2010
                                                    JAWA POS,  03 Februari 2014         
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
PELANTIKAN Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana masih menyisakan persoalan. Dua fraksi di DPRD memprotes prosedur penerbitan surat keputusan Mendagri. Wali Kota Tri Rismaharini juga ikut mempersoalkan itu. Bahkan, sang wali kota hingga seminggu lebih setelah pelantikan Whisnu belum bersedia bertemu dengan Wawali-nya. Padahal, Whisnu menduduki jabatan tersebut sesuai dengan usul partai pengusung Risma saat pilwali lalu. 

Bagaimana akhir perseteruan ''dini'' antara wali kota dan wakilnya setelah pelantikan Whisnu? Bisakah keduanya akur dan menjadi semacam dwitunggal untuk memimpin Kota Surabaya? Bagaimana mengurangi kemungkinan konflik yang lebih besar antara wali kota dan wakilnya seperti ditunjukkan di awal tampilnya Whisnu menjadi Wawali menggantikan Bambang Dwi Hartono?

Bahwa kemungkinan konflik antara kepala daerah dan wakilnya sangat besar, itu betul. Itu tidak hanya menjadi masalah di Surabaya, tapi juga di seluruh Indonesia. Bahkan, Mendagri sempat menyebutkan 80 persen kepala dan wakilnya tidak akur.

Sebetulnya pasal 26 Undang-Undang 32/2004 tentang Pemda telah mengatur pembagian tugas antara wali kota dan wakilnya secara jelas. Tugas khusus wakil kepala daerah ialah mengurusi masalah kepemudaan, pemberdayaan perempuan, dan lingkungan hidup. Sedangkan tugas pembantuan ialah melakukan pengawasan birokrasi hingga tingkat bawah, berkoordinasi dengan instansi pusat di daerah, dan mewakili kepala daerah jika yang bersangkutan berhalangan.

Namun, pengaturan itu belum cukup membuat kepala daerah dan wakilnya akur. Itu disebabkan, antara lain, keduanya dipilih secara langsung oleh masyarakat. Meskipun antara wali kota dan wakilnya dipilih dalam satu paket, pemilihan langsung tersebut menjadikan masing-masing terikat kepada konstituen. Kewajiban terhadap konstituen masing-masing itulah yang sering menjadi sumber ketidakakuran.

Penelitian saya untuk penulisan tesis di Pascasarjana FISIP Unair menunjukkan bahwa konflik antara kepala daerah dan wakilnya tidak terjadi ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Fakta itu yang sempat memunculkan gagasan agar wakil kepala daerah tidak dipilih secara langsung. Tapi, dia dipilih oleh kepala daerah setelah pilkada berlangsung.

Kecenderungan tidak akur tersebut semakin besar apabila wali kota dan wakilnya punya latar belakang berbeda. Apalagi, mereka berasal dari partai politik yang berlainan. Paket kepala daerah dan wakilnya dari partai berbeda memungkinkan karena batas perolehan suara parpol dalam mengusung calon di pilkada. Juga karena pemilihan langsung sering mengandalkan figur untuk pemenangan ketimbang mesin partai. Pilkada langsung memungkinkan paket kepala daerah dan wakilnya berlatar belakang gado-gado.

Kalau pembagian tugas dalam UU tidak menjamin hubungan baik antara wali kota dan wakilnya, lantas apa yang bisa mengakurkan mereka? Sesuai dengan penelitian yang saya lakukan pada 2008 di lima daerah di Jawa Timur, ternyata hanya gaya kepemimpinan yang menentukan. Secara teoretis, tipe kepemimpinan bisa dilihat dari power atau kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin. Joseph S. Nye Jr menyebutkan, ada kepemimpinan dengan hard power dan soft power.

Kepemimpinan hard power menggunakan semua sumber daya untuk menguasai mereka yang dipimpin. Jadi bersifat hegemonik dan selalu ingin menguasai segalanya. Sebaliknya, kepemimpinan soft power bersifat persuasif dan dialogis. Namun, kata Nye, kepemimpinan yang efektif membutuhkan keduanya: kekuasaan keras dan lunak. Dia menyebut itu dengan smart power. Yakni, kepemimpinan yang saat tertentu membutuhkan ketegasan sikap dan pada situasi yang lain bisa menggunakan model persuasif dan dialogis.

Seperti ditemukan dalam penelitian saya, model kepemimpinan hard power di kepala daerah cenderung menciptakan konflik dan hubungan yang tidak harmonis dengan wakilnya. Sebaliknya, kepemimpinan yang soft power bisa menciptakan hubungan yang harmonis. Sedangkan kepala daerah yang mempunyai kepemimpinan yang smart power cenderung menciptakan harmoni dengan wakilnya sekaligus bisa menciptakan pemerintahan yang efektif.

Keberhasilan Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam menjaga relasi yang tetap baik dengan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf karena keduanya mempunyai model kepemimpinan smart power. Demikian juga, duet kepemimpinan di beberapa daerah yang berhasil bertahan untuk berpasangan hingga dua periode. Kepala daerah yang akomodasionis, dialogis, karismatik, dan tegas saat diperlukan akan mampu membangun relasi yang baik dengan wakilnya.

Dengan demikian, perubahan pola kepemimpinanlah yang bisa menciptakan relasi baru yang lebih baik antara wali kota dan wakilnya. Saatnya wali kota mulai membangun komunikasi dengan wakilnya. Dalam kepemimpinan politik, sikap persuasif dan dialogis sangat dibutuhkan untuk terciptanya kepemimpinan yang efektif, tanpa meninggalkan sikap tegas yang selama ini telah dimilikinya. 

Jika menyangkut prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan sehat, wali kota bisa dan harus tegas. Namun, menyangkut hal-hal lain, diperlukan sikap persuasif dan dialogis. Apalagi, wakilnya sekarang adalah juga ketua partai politik yang sudah seharusnya memperjuangkan platform partai dan kepentingan konstituen.

Jika tidak ada penyesuaian dengan gaya kepemimpinan yang smart power, hubungan antara wali kota dan wakilnya yang baru ibarat tali rapuh. Ia akan gampang putus dan bisa berdampak kepada kerugian yang besar bagi warga kota Surabaya. Saya menjadi ingat kata-kata Priyo Al Jabar saat mengasuh program Cangkruan di JTV. ''Sing isok diomongno yo diomongno. Nggak usah jegog-jegogan. (Yang bisa dibicarakan mari didialogkan. Tidak usah bertengkar)''.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar