Negeri Berkepala
Singa
Lutfi Hilman Prasetya ; Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
|
JAWA
POS, 11 Februari 2014
PENAMAAN kapal baru produksi Inggris yang akan memperkuat TNI-AL
sudah final. KRI Usman-Harun. Pemberian nama kapal sejatinya adalah hak
negara pemilik kapal, dalam hal ini Indonesia. Persoalannya sebenarnya
sederhana. Namun, berbeda halnya dalam pandangan Singapura. Nama Usman-Harun
adalah gabungan nama Sersan Usman Mohamed Ali dan Kopral Harun Said. Dua
orang tersebut merupakan anggota Korps Komando Operasi (KKO) yang menjadi
cikal bakal lahirnya Marinir. Mereka bertugas mengebom dan menghancurkan
Gedung MacDonald House dan gedung lain di sekitarnya. Di gedung yang terletak
di Jalan Orchard, Singapura, tersebut, tiga orang tewas serta 33 lainnya
menderita luka-luka.
Tragedi itu masih diingat betul oleh Singapura. Meski, akhirnya Usman dan Harun harus gugur di tiang gantungan pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968, sekitar tiga tahun setelah pengeboman terjadi. Presiden Indonesia kala itu, Soeharto, memberi keduanya gelar pahlawan nasional setelah jasad Usman dan Harun tiba di tanah air. Perspektif negara bagi seseorang bisa saja berbeda-beda. Usman dan Harun menjadi pahlawan di Indonesia, namun menjadi musuh di Singapura. Sama halnya dengan jenderal Inggris pada pertempuran 10 November, A.W.S Mallaby, yang menjadi musuh bangsa Indonesia, namun namanya harum di Negeri Ratu Elizabeth sana. Perspektif itulah yang mendasari penolakan Singapura atas penamaan kapal perang sepanjang 90 meter tersebut. Singapura ketika mengetahui penamaan kapal itu cukup terkejut. Mereka melayangkan protes keberatan atas penamaan KRI Usman-Harun. Negara yang luasnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta tersebut khawatir hal itu bisa mengorek kembali duka bagi keluarga korban peristiwa yang terjadi 10 Maret 1965 tersebut. Tidak digubrisnya protes yang telah dilayangkan kepada Indonesia membuat Singapura marah dan mengambil langkah tegas. Yakni, pembatalan sepihak undangan bilateral pertahanan dengan Indonesia. Rencananya, undangan itu juga dilanjutkan untuk menghadiri Singapore Airshow. Tidak pelak, Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Budiman, dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu Dunia urung berangkat. Alhasil, Indonesia hanya diwakili Jupiter Aerobatik Team, tim penerbangan yang turut ambil bagian dalam Singapore Airshow. Reaksi tegas itu membuktikan bahwa ikon Singapura, Merlion sang makhluk laut berkepala singa itu, dipakai bukan tanpa alasan. Dengan jumlah penduduk yang hanya 4,6 juta, pemimpinnya mampu membuktikan bahwa dirinya tidak segan-segan bertindak bila ada hal kecil yang mengganggu rakyatnya. Dulu ketika kecil, saya pernah mendengar ungkapan: Penduduk Singapura adalah kelinci, namun pemimpinnya adalah macan, sedangkan Indonesia dihuni para macan yang dipimpin kelinci. Tentu ungkapan tersebut berlebihan dan tidak bisa digeneralisasi. Namun, itulah yang saya tangkap setidaknya pada beberapa kejadian belakangan ini. Masih segar rasanya di pikiran ketika penyadapan Australia terhadap pemerintah Indonesia yang baru ketahuan pada November tahun lalu. Publik menyesalkan reaksi kepala negara yang kurang tegas terhadap kejadian tersebut. Apalagi itu bukan masalah kecil, namun sudah masuk ke ranah hukum. Tidak tanggung-tanggung, penyadapan dilakukan badan intelijen Australia terhadap presiden dan sejumlah menterinya. Ketika petinggi Singapura bisa marah atas penamaan kapal yang dikhawatirkan membangkitkan duka keluarga korban, mengapa kita tidak marah ketika bangsa lain menelanjangi rahasia pucuk pimpinan negara kita? Reaksi Indonesia pun akhirnya muncul dengan menarik duta besar RI di Australia. Setidaknya, hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki taji melawan Negeri Kanguru itu. Masyarakat masih mengharapkan adanya kepala negara yang bersikap layaknya kepala keluarga. Melindungi mati-matian ketika ada yang mengusik anggota keluarganya. Melindungi sekuat tenaga ketika Sipadan dan Ligitan direbut. Berjuang sampai titik darah terakhir ketika kebudayaan Indonesia diambil negara lain. Indonesia dulu disegani ketika dipimpin Ir Soekarno. TNI pernah menangkap Allen Pope, agen AS yang datang ke Indonesia dengan misi menggulingkan pemerintahan Soekarno. Gedung Putih pun kelabakan. Pendekatan yang dilakukan tidak berhasil membebaskan Pope hingga akhirnya empat tahun kemudian Presiden AS waktu itu, John F. Kennedy. mengirimkan adiknya, Robert Kennedy, untuk bernegosiasi. Pope dibebaskan dan Negeri Paman Sam memberikan upeti berupa persenjataan serta bahan pangan kepada Indonesia. Pada kasus yang berbeda, Soekarno tidak segan memerintahkan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika kebijakan PBB tidak sesuai dan dianggap merugikan Indonesia. Sampai saat ini, sosok Soekarno masih sulit digantikan presiden lain. Poster-poster Soekarno masih dengan sangat mudah kita jumpai di mana-mana. Jawaban Soekarno masih sering kita dapatkan ketika kita bertanya kepada orang-orang yang kita temui sehari-hari mengenai siapa tokoh idola mereka. Hal itu membuktikan bahwa peran kepala negara menjadi faktor vital dalam menentukan kedigdayaan dan kedaulatan sebuah negara. Harga diri pemimpin negara adalah harga diri masyarakatnya. Ketika petinggi negara hanya manut dan pasif terhadap kebijakan global, jangan heran jika hal yang sama berlaku terhadap masyarakat di dalamnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar