MK
Mengadili MK
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 08 Februari 2014
Sejak 2 Oktober 2013, saat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena
tindak pidana penyuapan, lembaga yudikatif baru itu kemudian terus mendapat
sorotan dan dapat dikatakan tak pernah absen dari pemberitaan.
Menurut saya, berita tentang korupsi dan koruptor yang paling spektakuler sepanjang sejarah Indonesia adalah berita tentang Akil Mochtar ini. Spektakuler karena pelakunya adalah ketua lembaga yudikatif yang dipercaya oleh negara berdasar konstitusi untuk mengawal tegaknya konstitusi dan hukum. Akil Mochtar merupakan ketua lembaga yudikatif pertama di Indonesia, bahkan juga di dunia, yang ditangkap karena sangkaan tindak pidana korupsi. Di negara lain pernah ada ketua lembaga yudikatif di-impeachatau dimakzulkan oleh parlemen, Ketua Mahkamah Agung Filipina misalnya, tetapi kasusnya bukan korupsi, melainkan kasus politik yakni dianggap tak netral pada pemilihan presiden. Spektakuleritas kasus Akil bisa dilihat juga dari fakta bahwa selama lebih dari empat bulan kasus Akil dan MK selalu menjadi berita besar. Sebuah harian di Jakarta, pada satu hari yang sama, bahkan pernah menulis berita tentang kasus itu sampai dalam lima judul berita. Sangkaan atau kasusnya pun beranak-pinak, bukan hanya dalam kasus Gunung Mas dan Lebak, melainkan mencakup sangat banyak kasus lain. Sebelum muncul kasus mantan ketua MK itu, rasanya kasus yang paling spektakuler adalah kasus Irjen Pol Joko Susilo yang dijerat pidana karena simulator SIM. Tetapi, kasus Joko Susilo dianggap spektakuler bukan lantaran jumlah kasusnya, melainkan karena jumlah harta (uang, tanah, rumah, dan lain-lain) yang sangat besar. Kasus Akil mengalahkan spektakuleritas kasus Joko Susilo baik dari segi jumlah kasusnya maupun banyak harta yang disita. Sungguh terguncang hati kita sebagai bangsa, ketua lembaga yudikatif disangka melakukan tindak pidana korupsi dengan cara vulgar, melakukan sendiri tawar-menawar harga secara langsung untuk kasus-kasus yang ditukanginya. Yang dilansir media massa menyebutkan bahwa uang yang disita dalam kasus Akil tidak kurang dari Rp120 miliar, lebih dari 20 mobil, ada puluhan sepeda motor, ditambah dengan beberapa bidang tanah dan bangunan-bangunannya. Saat Akil ditangkap, dunia bagai kiamat. Antarpenegak hukum jadi saling curiga dan saling tuding. Hakim-hakim yang tak punya indikasi melakukan korupsi pun diseret-seret. Mantan Ketua MA Bagir Manan mengatakan kepada saya, dirinya sungguh menangis, bukan menangis di dalam hati, saat melihat ketua MK digiring sebagai pesakitan oleh KPK. Kepercayaan publik kepada MK menjadi runtuh, sampai-sampai persidangan yang biasanya berlangsung penuh wibawa diobrak-abrik tanpa ada alasan atau kesalahan dari MK. Menyusul dan terkait kasus penangkapan Akil Mochtar itu ada beberapa peristiwa penting. Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menimbulkan kontroversi luar biasa. Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim MK dicurigai untuk melindungi MK. Pencari-pencari kendaraan untuk ditumpangi dalam mencari popularitas bermunculan. Banyak yang menyerang MK, ada yang membela MK sambil menyerang perppu yang dikeluarkan Presiden. Koran-koran, televisi, dan sosial media menyiarkannya secara gaduh. Pokoknya sampai sebulan lebih Indonesia berduka karena matinya ruh hukum, jauh lebih berduka ketimbang ketika mantan presiden atau tokoh nasional meninggal. Perppu yang diributkan pun akhirnya disetujui DPR menjadi UU. Setelah disorot karena lambatnya mengumumkan vonis tentang ”pemilu legislatif dan presiden serentak” kini MK disorot karena menangani perkara uji materi atau judicial review atas UU No 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK (UU/ Perppu MK). Banyak yang berteriak agar MK tidak mengadili perkara tersebut karena berkaitan dengan MK sendiri. Kata mereka, MK tidak boleh mengadili dirinya sendiri. Banyak yang tak paham bahwa ada asas umum, hakim atau pengadilan dilarang menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Artinya, kalau ada perkara harus diadili, tetapi soal dikabulkan atau tidak adalah soal lain. Jadi tidaklah tepat teriakan yang meminta agar MK tidak memeriksa perkara judicial review tentang UU/Perppu MK itu. Kalau MK menolak, berarti melanggar asas hukum dan hukum. Namun, dalam konteks pengujian UU Perppu MK itu tidak terlalu salah jika ada yang berteriak agar dalam mengadili kasus itu MK menjatuhkan vonis menolak permohonan pemohon. Alasannya, materi-materi yang dimintakan pengujian bersifat ”opened legal policy” dalam arti terkait masalah yang sepenuhnya menjadiwewenang lembaga legislatif untuk menentukannya. Selain alasan yuridis konstitusional seruan agar MK menolak permohonan itu didasarkan juga pada alasan etis profesional. Tak layak hakim-hakim MK mengadili perkara yang menyangkut wewenang, hak, persyaratan, pengawasan atas mereka sendiri. Tak etis kalau MK mengadili MK. Dalam dunia peradilan ada asas, ”nemo judex in causa sua”, artinya ”hakim tidak mengadili ihwal yang terkait dirinya sendiri”. MK tak boleh menolak untuk mengadili perkara itu. Tetapi, dalam memutus harus berpijak kuat pada alasan yuridis konstitusional dan etis profesional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar