Mencari
Presiden Pro Kelautan
Muhamad Karim ; Dosen Universitas Trilogi, Direktur
PK2PM
|
SINAR
HARAPAN, 12 Februari 2014
“Keberadaan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) bak pelengkap penderita.”
Ingar-bingar jelang Pemilihan
Umum (Pemilu) 2014 kian marak. Pasalnya, pesta demokrasi itu tinggal seumur
jagung. Para bakal calon presiden (capres) pun kian marak berkampanye di
media cetak, elektronik, hingga media sosial.
Sayangnya, semuanya masih
mengusung tema-tema terdahulu, mulai soal kesehatan, pendidikan, kemiskinan,
hingga tenaga kerja.
Sayangnya, sejak satu setengah
dasawarsa terakhir, kelautan absen dalam dinamika ekonomi politik pembangunan
nasional, kendati akademikus, pakar, praktisi, dan pelaku ekonomi kelautan
bersuara lantang tentang pentingnya kelautan.
Keberadaan Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) bak pelengkap penderita. Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kelautan akhirnya mandek di meja DPR. Celakanya lagi, absennya kebijakan
kelautan (ocean policy) Indonesia
buat memandu dan mengoordinasikan soal-soal pembangunan kelautan. Mungkinkah
hasil Pemilu 2014 menghasilkan presiden yang pro kelautan?
Isu Pokok
Memandang sebelah mata isu-isu
pokok kelautan adalah keniscayaan. Pasalnya, itu amat terkait dengan
geopolitik, geostrategi, geoekonomi, dan geokultural yang berimbas pada
kedaulatan nasional.
Bila pemerintahan hasil Pemilu
2014 mengabaikannya, itu berimbas pada ekonomi, ekologi, hingga sosial
budaya. Isu kekinian itu, pertama, soal Samudera India. Pemerintah Indonesia
periode 2015-2017 mengetuai Indian Ocean
Rim Association (IORA) yang beranggotakan 20 negara pesisir. Sebuah
komunitas Negara Asia-Pasifik hingga Afrika yang berkepentingan dengan
Samudera India.
Indonesia mesti serius
menyiapkan diri, utamanya kebijakan dan programnya. Kendati China berposisi observer dalam IORA bersama Amerika
Serikat (AS), keduanya amat berkepentingan. Kini, China membujuk Thailand
agar mau membuka terusan yang menghubungan Laut China Selatan dengan Samudera
India.
Jalur ini memperpendek jalur
perdagangan internasional dari Laut Arab, Samudera India ke Laut Cina
Selatan. Jika ini terjadi, otomatis sentral perdagangan Asia Tenggara,
Singapura, akan mati. Bukankah hal ini menguntungkan Indonesia? Itu bila
pemerintah berani membuka Pulau Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas.
Kedua, aturan internasional
soal tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. International Labor Organization (ILO)
menetapkan ILO Convention No 188/2007
tentang Aturan Bekerja di Perikanan (The
Work in Fishing Convention). Konvensi ini menetapkan pekerjaan menangkap
ikan berkategori berbahaya. Sayangnya, Indonesia belum meratifikasinya. Inilah
pekerjaan rumah yang penting di masa datang.
Ketiga, dominasi asing di
perikanan tangkap. Hingga kini penanaman modal asing (PMA) mendominasi sektor
perikanan semenjak 2010 hingga kuartal III 2013.
Kontribusi PMA melebihi 99,5
persen ketimbang penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang cuma 1 persen.
Hingga kuartal III 2013, nilai investasi asing US$ 17 juta (99,8 persen),
jauh lebih tinggi ketimbang PMDN, US$ 20.000 (0,45 persen) (baca: BKPM 2013).
Keempat, pada 2007-2012, ekspor
ikan dan produk perikanan melonjak signifikan. Sayangnya, lonjakan ekspor
berbarengan impor. Data UN-Comtrade
(2013) mencatat, volume rata-rata laju ekspor perikanan Indonesia 8,8 persen,
sedangkan impornya 24,69 persen. Capaian rata-rata laju ekspornya 11,39
persen, sedangkan impornya 39,47 persen. Ini berarti lima tahun terakhir
impor ikan dan produk perikanan menyerbu Indonesia.
Jenisnya berupa makerel,
fillet, hingga sarden. Celakanya, saat yang sama nelayan
mengalami surplus
produksi. Bukankah Pasal 36 Ayat (1) UU Pangan No 18/2013 telah membatasi
impor pangan? Pemerintah boleh mengimpor pangan asalkan produksi dalam negeri
kekurangan atau tidak memproduksinya.
Ironisnya, pemerintah malah
mengimpor jenis udang, ikan patin, tuna, cakalang, hingga tongkol yang
melimpah ruah di Indonesia. Bukankah hal ini kian menjauhkan impian
ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
Belum lagi ekspor ilegal kian
marak Terbukti, tahun 2000 Indonesia
disinyalir mengekspor ilegal ikan
tuna albacore hingga 52 persen dari total volumenya ke Thailand, tepatnya 271.419 kg
senilai US$ 1.070.630. Tahun 2010, Indonesia diduga mengekspor ilegal ikan tuna albacore ke Thailand.
Pengiriman ilegal ini melonjak
hingga 69,20 persen dari total
volumenya, tepatnya 2.352.724 kg senilai
US$ 8.326.839.
Kelima, nilai tukar nelayan
(NTN) dan pembudi daya ikan merosot, November 2013 senilai 102,04 merosot
menjadi 101,98 pada Desember 2013 (BPS, 2013). Angkanya berubah 0,05 persen.
Sebetulnya, NTN ini menurun semenjak September (105,21) hingga Oktober 2013
(104,94) (BPS 2014).
Maknanya, kesejahteraan nelayan
Indonesia kian menurun. Penyebabnya adalah ketidakmenentuan iklim dan cuaca.
Nelayan enggan melaut akibat gelombang tinggi disertai badai. Pembudi daya
ikan pun mengalami gagal panen akibat banjir dan rob yang membobol lahan budi
daya ikannya.
Imbasnya, NTN, semenjak era
reformasi hingga kini, gagal menyentuh angka 150. Kemiskinan menyelimuti
kehidupan sosial ekonomi nelayan. Wajar kesejahteraan nelayan dan pembudi
daya ikan cenderung stagnan. Inilah pekerjaan rumah pemerintahan hasil Pemilu
2014.
Keenam, anomali iklim dan
degradasi ekologis. Mengakui atau menolak, perubahan iklim telah melanda
Indonesia. Banjir, rob, gelombang besar beserta badai, hingga curah hujan
tinggi menyapu kota-kota pesisir Indonesia awal 2014. Bencana ini memakan
korban, mulai harta benda, rumah penduduk, hingga nyawa.
Bencana ini adalah imbas dari
eksploitasi hutan, kekayaan laut, pulau kecil, tambang hingga plasma nutfah
kelautan kita. Situasi ini kian memperparah degradasi ekologis dan ekosistem
pesisir Indonesia.
Sayangnya, DPR yang mengesahkan
revisi UU PWP3K malah menyisakan “soal”. Kalangan gerakan sosial menuding
revisi ini justru menggelar karpet merah buat asing berinvestasi di pulau
kecil. Bukankah kemudahan ini kian mendongkrak degradasi ekologis? Waktulah
yang nanti membuktikan.
Kriteria
Pemilu 2014 tinggal menghitung
hari. Meski pemilu era Reformasi sudah berlangsung empat kali, nasib kelautan
kian lama kian meredup. Resepnya cuma satu, memilih presiden dalam Pemilu
2014 yang berpihak dan berkomitmen membangun kelautan Indonesia. Bagaimana
kriterianya? Pertama, mampu memosisikan kelautan sebagai kekuatan ekonomi
baru Indonesia, berdampingan dengan terestrial.
Kedua, ia harus berani mengubah
epistimologi pembangunan Indonesia lewat de-growth. Epistimologi ini
memanifestasikan paradigma ekologi-ekonomi (ecological economic paradigm) buat membangun kelautan Indonesia
(Herman Daly).
Perwujudannya lewat
pengembangan ekonomi lokal (local
economics) yang berpatokan prinsip solidaritas (Solidarity), semangat gotong royong, kekeluargaan, kemandirian,
hingga social entrepreneurship.
Bentuknya, memberdayakan industri rumah tangga keluarga nelayan (home industry of fisher folk household)
lewat koperasi hingga mendorong ekologisme.
Ketiga, ia berani menolak impor
pangan ikan. Pasalnya, impor memosisikan nelayan tradisional kian terpuruk.
Pendapatannya kian merosot akibat harga jatuh. Utang pun kian menggunung,
Keempat, ia berani memberantas
ekspor ikan ilegal beserta mafianya. Pasalnya, mafia perikanan beroperasi
licin bagai belut. Kerap aparat keamanan dan birokrasi melindunginya.
Kelima, ia berani mengerem
hegemoni asing dalam menguasai bisnis dan mengelola sumber daya kelautan
kita. Ada baiknya mendayagunakan ekonom domestik berbasiskan prinsip
konstitusi (UUD 1945).
Keenam, ia memiliki governability dan spirit aktivisme
tinggi dalam mengelola pemerintahan. Ini amat diperlukan dalam mengambil
keputusan politik strategis soal kelautan, terkait kepentingan nasional. Jika
gagal menemukan sosok pemimpin semacam ini pasca-Pemilu 2014, nasib kelautan
Indonesia kian suram dari mimpi kemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar