Media dan Edukasi
Publik
Djoko Susilo ; Mantan Wartawan Jawa
Pos
|
JAWA
POS, 10 Februari 2014
SETIAP Februari, masyarakat pers Indonesia merayakan
hari pers nasional yang bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). Secara rutin, para tokoh media dan para pejabat akan
mengeluarkan statemen tentang pentingnya peran media dalam demokrasi dan
memberikan edukasi kepada publik. Singkatnya, pers begitu penting bagi
kemajuan bangsa.
Saya setuju saja dengan semua pernyataan itu meski saya tidak yakin apakah media di Indonesia yang umurnya sudah cukup tua ini benar-benar sukses mengedukasi publik. Khususnya dalam masalah politik dan kepentingan nasional. Menurut saya, media gagal atau tidak berhasil mengedukasi publik dalam hal-hal yang penting: berpikir rasional, optimistis, dan menggunakan akal sehat. Salah satu indikator yang paling nyata ialah mudahnya publik termakan opini yang belum tentu benar, sekaligus mudah menyanjung seseorang ibarat seorang dewa. Dalam sejarah bangsa yang sudah enam puluh tahun, publik pernah digelorakan memuja seorang pemimpin dengan slogan Pejah Gesang Nderek Bung Karno. Akibatnya, para pemimpin nasional yang masih menggunakan akal sehat seperti Bung Hatta dan Bung Syahrir tersingkir dari kehidupan nasional. Bangsa Indonesia pun terjerembap ke dalam kubangan krisis politik yang berujung pada tragedi nasional 1965. Ekonomi nasional hancur, inflasi mencapai 650 persen, dan Indonesia pun dikucilkan masyarakat internasional. Generasi sekarang sama sekali tidak ingat mereka yang hidup susah pada tahun 1960-an. Tidak ada kebebasan, berani mengkritik pemerintah sama saja siap-siap dipenjarakan rezim Orde Lama. Masuk Orde Baru, mula-mula ada napas baru dalam kehidupan demokrasi dan media. Tetapi, sejak terjadi peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari) 1974, politik represif kembali diterapkan rezim Orde Baru. Pers dibungkam dan partai politik diberangus. Yang survive adalah yang setia mengabdi kepada penguasa. Pers pun bergeser dari pers perjuangan menjadi media komoditas. Selain yang mengabdi penguasa, terjadi deideologisasi media. Jika di masa Orde Lama media selalu terkait dengan partai politik, di masa Orde Baru mulai terjadi konglomeratisasi media. Media pun gagal memberikan edukasi publik dan penguasa makin dominan. Puncaknya Soeharto pun dinobatkan dengan gelar bapak pembangunan. Rasanya, tidak ada media yang berani mempertanyakan mengapa ada gelar bapak pembangunan sekalipun harus diakui ada juga program pemerintahan Soeharto yang berhasil. Yang pasti saja, Soeharto bisa menyelamatkan bangsa dari kebangkrutan nasional sebagai akibat politik mercusuar Orde Lama. Keberhasilan Soeharto juga banyak, antara lain program KB, pendidikan, puskesmas, diterimanya kembali Indonesia di forum internasional, dan sebagainya. Saat Orde Reformasi, media mendapatkan kebebasan luar biasa, tetapi tetap juga gagal memberikan edukasi yang sehat kepada publik tentang demokrasi dan penggunaan nalar sehat. Malahan, dengan beberapa pengecualian, sejumlah pemilik media tidak malu-malu mempromosikan dirinya melalui jaringan media yang dimilikinya. Dengan kata lain, mereka telah mengkhianati kepercayaan publik. Herannya, tidak ada kemarahan publik terhadap pengkhianatan media tersebut. Dalam kondisi tidak sehatnya media tradisional, publik sekarang mencari informasi ke media sosial yang isinya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Media sosial yang secara legal dan etik sulit bisa dipercaya kini menjadi bahan rujukan. Gagalnya media dalam mengedukasi publik tentang penggunaan nalar sehat sangat membahayakan kepentingan nasional. Contoh soal subsidi energi yang sekarang sudah mencapai sekitar Rp 300 triliun, tetapi di kalangan masyarakat masih diimpikan Indonesia kaya minyak dan mungkin masih banyak yang menyangka sebagai anggota OPEC. Saya sempat diprotes karena saya mendukung harga keekonomian BBM dan gas. Pembaca yang protes ini mengatakan, mengapa mengambil BBM dari bumi sendiri harus dijual mahal. Ini benar-benar pendapat sesat hasil kegagalan media. Rakyat tidak tahu bahwa tiap hari Indonesia sekarang mengimpor BBM sekitar 1 juta barel untuk kebutuhan dalam negeri. Tiap tahun 8 juta motor dan 1 juta mobil menyesaki jalanan nasional. Akibatnya, macet dan polusi luar biasa. Triliunan rupiah habis untuk BBM. Padahal, KA yang bisa mengurangi kepadatan jalan hanya dapat subsidi kurang dari Rp 700 miliar per tahun. Benar-benar penyesatan yang merugikan. Dalam pemilu legislatif, tidak ada partai politik atau calon anggota DPR yang menawarkan solusi rasional. Mengapa tidak ada satu pun parpol atau caleg yang berani mengajak hemat BBM. Mengapa media bungkam bahwa kita miskin minyak, tetapi kaya geotermal atau biomassa? Seharusnya, kita alihkan subsidi BBM menjadi penggunaan tenaga listrik dari geotermal dan biomassa. Bahkan, seorang ahli menghitung, jika seluruh sampah dikonversi jadi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan nasional, hanya diperlukan biaya kurang dari sepertiga ongkos subsidi BBM. Teknologinya sudah ada, bahannya melimpah ruah. Untuk yang masih mendukung harga BBM murah meriah, media nasional gagal mengungkap fakta bahwa cadangan minyak kita akan habis dalam waktu belasan tahun lagi. Anak cucu kita nanti hanya membaca dari buku sejarah bahwa bangsa Indonesia dulu pernah menjadi anggota OPEC yang mengekspor minyak. Kini kita harus impor minyak. Mungkin juga akan impor batubara, gas, dan energi lain. Sayangnya, bangsa ini sudah telanjur sesat dengan mimpi negara kaya minyak. Media pun gagal memainkan peran pentingnya, melakukan edukasi publik, bukan membiarkan masyarakat bermimpi yang tidak realistis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar