Masalah
Abadi Demokrasi Kita
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik Universitas Nasional
|
KOMPAS,
03 Februari 2014
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi
bahwa pemilu serentak dapat dilaksanakan pada 2019 disambut beragam. Satu
pihak menyebut keputusan itu bijak karena tidak dilakukan sekarang. Tetapi,
pihak lain menganggapnya sebagai inkonstitusional.
Terlepas dari polemik demikian,
fenomena ini menunjukkan memang selama ini masih ada masalah krusial. Tidak
saja soal mekanisme pemilu, juga demokrasi politik kita secara luas.
Sejak Reformasi 1998, aturan main
atau mekanisme demokrasi politik kita berganti-ganti. Sangat kentara bahwa
para politisilah yang berkontribusi nyata dalam hal sedemikian. Sistem
kepartaian kita memang multipartai, tetapi mekanisme berpartai pun
berubah-ubah, dan tidak dalam semangat memperkuat sistem pemerintahan
presidensial.
Sistem pemilu pun seperti bergerak
evolutif dari proporsional tertutup menjadi murni berbasis dukungan suara
terbanyak. Apabila kita bandingkan, sistem Pemilu 2014 kontras dengan 1999
dalam hal peran partai politik peserta pemilu. Pada 1999, nomor urut
diperebutkan karena jaminan keterpilihan, tetapi pada 2014 pertimbangannya sudah
bergeser ke dalih keuntungan psikologis pemilih.
Kepentingan parpol
Mekanisme pemilihan presiden juga
berubah cukup mendadak dan tak pasti. Berubah-ubahnya ketentuan ambang batas
presidensial (presidential threshold)
dalam mekanisme pilpres mengonfirmasikan ketidakpastian itu. Lagi-lagi,
urusan demikian lebih banyak ditentukan oleh politisi Senayan yang
mencerminkan kepentingan partai politik. Ketentuan ambang batas dapat
dipahami maknanya dalam mekanisme demokrasi politik, tetapi besaran angka
persentasenya seharusnya sudah jelas dan tidak berubah-ubah sejak awal.
Hal-hal semacam itu, termasuk
perkembangan dan debat soal teknis pemilihan kepala daerah apakah tetap
dipertahankan melalui pemilihan langsung atau dikembalikan ke dalam ruangan,
menunjukkan ada masalah-masalah yang tak kunjung usai dalam demokrasi politik
kita. Semua itu memang kesannya teknis semata, tetapi kepastian aturan main
sangatlah mendasar dalam konsolidasi demokrasi. Menurut Adam Przeworski,
ditandai demokrasi terkonsolidasi manakala hanya ada satu aturan main dan
ketika tak seorang pun bisa membayangkan bertindak di luar lembaga-lembaga
demokratis.
Dari logika Przeworski, setidaknya
kita harus punya dua hal: aturan main yang pasti dan penguatan
lembaga-lembaga demokratis. Sayangnya, yang masih kita jumpai bertahun-tahun
pasca-Reformasi 1998, dua hal itu belum tuntas. Memang masalah-masalah yang berkenaan dengan
demokrasi semacam itu tak akan pernah tuntas dan cenderung jadi masalah
abadi. Tetapi, setidaknya kita bisa mengukur sejauh mana masalah-masalah itu
berpotensi menjebak gerak laju dan efektivitas demokrasi itu sendiri bagi
tujuan kemaslahatan yang lebih luas.
Perubahan aturan main dalam
demokrasi politik kita tentu tidak dapat dilepaskan dari amandemen konstitusi
yang berangkat dari logika reformasi dengan konsekuensi mendekonstruksi
tatanan dan mekanisme tradisi politik sebelumnya. Karena presiden dipilih
langsung, tidak ada lagi pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak dikenal lagi,
kecuali visi-misi dan program calon presiden yang setelah terpilih
diformalkan sebagai produk hukum.
Di sisi lain dimunculkan
lembaga-lembaga baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). DPD memiliki posisi dan
kewenangan politik yang tidak setara dengan DPR kendati mereka sama-sama
dipilih melalui mekanisme pemilu. Hal semacam ini menimbulkan pertanyaan
bernada mencari keadilan sistemik dalam lanskap kelembagaan demokrasi kita.
Sementara MK memang dibutuhkan, tetapi sering kali keputusan- keputusannya
dipandang bukan merupakan bagian dari solusi.
Keterbatasan imajinasi
Permasalahan lemahnya kelembagaan
politik kita tak semata menggelayuti keberadaan partai-partai politik, juga
DPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Partai politik dipandang sebagai
hulu dari itu semua karena punya peran sangat strategis dalam memasok sumber
daya kadernya ke semua lini lembaga-lembaga formal kenegaraan itu. Dalam
demokrasi politik, memang semua pejabat politik memperolehnya dengan
legitimasi pemilu. Dalam sistem politik kita, hanya dalam pemilihan kepala
daerah saja peserta perseorangan dimungkinkan. Artinya, hampir semua jabatan
politik akan ditempuh melalui jalur partai.
Tetapi, sayangnya, partai politik
yang diharapkan mampu menjadi penyaring kualifikatif kepemimpinan politik di
hampir semua lini tak berfungsi optimal. Bahkan, partai-partai kita seperti
tengah dibajak oleh para oligarki alias segelintir elite pemburu rente
kekuasaan an sich. Drama-drama politik internal partai kerap sekadar
seperti opera sabun yang rendah mutunya, dan ironisnya justru mempertontonkan
pengebirian tradisi demokrasi. Demokrasi seolah-olah tidak berlaku di tubuh
partai, kecuali kemauan para elitenya.
Politik minus kualifikasi itulah
yang kita sedihkan. Pokok soalnya tidak semata-mata di partai politik, tetapi
terutama pada alam pikir yang sesat dalam memaknai hakikat politik. Politik,
ironisnya, banyak dimaknai sebagai profesi yang menjanjikan secara material.
Akibatnya, banyak yang masuk ke sektor ini dengan tujuan memperbaiki nasib
alih-alih memperbaiki bangsa. Untuk tujuan itu, pendekatan ideologis atau
aktualisasi hal-hal visioner tergusur oleh pola-pola pragmatisme dan
transaksional.
Akibatnya, orang mengurus partai
sering untuk kepentingan jangka pendek saja. Partai tidak dirawat dan dijaga
kekuatan institusionalnya, melainkan sekadar sebagai halte semipermanen
tempat para elitenya menunggu bus-bus kekuasaan lewat di depannya. Setelah
mereka menumpang bus-bus kekuasaan itu, halte semipermanen itu dibiarkan
rapuh dan roboh.
Imajinasi-imajinasi politik kita,
barangkali, belum mampu melampaui pemaknaan politik di seberang kelaziman
politik sebagai kekuasaan an sich.
Tentu saja, ini masalah serius karena, dampaknya, orang tidak akan pernah
berpikir membangun lembaga politik yang kuat kecuali sekadar membangun alat
transportasi politik sementara untuk menuju panggung kekuasaan.
Jangan-jangan masalah abadi
demokrasi kita memang terletak pada keterbatasan imajinasi demokrasi seperti
itu. Para elite sibuk membayangkan kekuasaan, bukan keadaban dan peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar