Maraknya Kebohongan
Politisi
Haryatmoko ; Pengajar di
Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
ADA pemimpin partai politik yang
ditengarai menerima setoran pengusaha pencari izin usaha dari kementerian
yang dipegang partainya. Pemimpin partai itu, tanpa rasa salah, berbicara
keras tentang patriotisme dan antikorupsi.
Masih banyak lagi
politisi yang terlibat megakorupsi, tanpa malu, membuat pernyataan lebih
seram meski penuh kebohongan. Memang, politik tidak lepas dari retorika.
Retorika sarat dengan manipulasi dan kebohongan. Namun, kebohongan politisi
akhir-akhir ini terlalu norak melawan akal sehat.
Mengapa kebohongan
lebih memikat akal budi daripada realitas? Keuntungan pembohong: ia telah
tahu lebih dulu apa yang ingin didengarkan publik atau mengetahui apa yang
ditunggu atau diharapkan untuk didengar (Arendt, 1972: 11). Versi pembohong
sudah disiapkan untuk keperluan memenuhi keingintahuan publik dengan
mengandalkan kredibilitas pembohong. Sementara menghadapi realitas, orang
sering tak tahu apa yang harus diperbuat karena ada yang tidak diharapkan
sehingga tidak siap menerimanya.
Bagaimana kebohongan
berlangsung lama, bahkan tak terbongkar? Pertama, agar fakta bisa diterima
publik, diperlukan kesaksian dan saksi harus bisa dipercaya. Maka, tiada
pernyataan berdasarkan fakta bisa sama sekali terlindungi dari keraguan dan
falsifikasi. Kerentanan fakta ini justru mendorong orang atau penguasa mudah
tergoda untuk membohongi publik. Kedua, kebohongan dengan mudah bisa
menyesuaikan diri dengan tuntutan penalaran karena semua bisa berjalan
mengikuti cara pikir yang ditentukan pembohong. Ketiga, mereka yang mencoba mempertanyakan,
tanpa bukti material dan tanpa dukungan kekuatan politik, justru terancam
hukuman pencemaran nama baik, intimidasi, atau disingkirkan. Keempat, logika
kebohongan terlindungi oleh formalisme hukum. Formalisme hukum mereduksi
kejahatan, hanya kejahatan melawan hukum dengan mengabaikan kejahatan moral
dan politik.
Kejahatan moral dan politik
Ada empat jenis
kejahatan (Ricoeur 1991:146-148). Pertama, kejahatan kriminal, yaitu bersalah
karena melanggar hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Kedua,
kejahatan politik, yaitu kejahatan yang ditimpakan kepada suatu bangsa atau
kelompok warga negara yang menyetujui tindakan kriminal. Misalnya pembantaian
warga Bosnia oleh Serbia, atau korupsi kartel-elite yang menguras kekayaan
negara sampai triliunan.
Jenis korupsi itu bisa
ditutupi selama masih berkuasa. Korupsi harus dilihat bukan hanya dari sudut
pandang hukum, melainkan juga makna sosial dan ukuran budaya. Dengan standar
ini, pertaruhannya menyangkut nilai-nilai kepemimpinan, kewarganegaraan, representasi,
dan akuntabilitas (Lordon, 2008: 11).
Korupsi bukan hanya
masalah penyalahgunaan kepercayaan oleh kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi/kelompok. Korupsi jadi cara elite untuk membangun dukungan politik
dari masyarakat dan memenangi kerja sama dengan lembaga legislatif dan
birokrasi.
Dalam jangka panjang,
akibatnya parah karena korupsi menunda dan membelokkan perkembangan ekonomi
dan politik. Berapa juta orang menjadi miskin korban korupsi kartel-elite dan
betapa rusak institusi-institusi sosial-politik. Jadi, jenis korupsi ini
bukan hanya kejahatan melawan hukum, melainkan juga kejahatan moral dan
kejahatan politik.
Ketiga, kejahatan
akibat kesalahan moral. Artinya, pelaku bersalah dihadapkan pada tanggung
jawab terhadap orang/kelompok yang harus menanggung akibat dari tindakannya.
Karena tak ada kekuatan yang bisa memaksakan sanksi, politisi cenderung
mengabaikan tanggung jawab moral. Padahal, tanggung jawab moral adalah
benteng menghadapi kejahatan-kejahatan lain. Kebohongan adalah cermin tiadanya
tanggung jawab moral.
Keempat, kejahatan
sebagai kesalahan metafisik: pelaku bersalah di hadapan Tuhan karena telah
mengabaikan solidaritas manusia (dosa). Rasa bersalah ini ditutupi koruptor
dengan memberi bantuan ke lembaga agama, kegiatan agama, atau menyantuni
yatim piatu.
Formalisme agama dan hukum
Jangan-jangan ”bohong
tanpa rasa salah” itu berakar dalam budaya kita yang sarat dengan formalisme:
penghayatan agama, sistem pendidikan, dan formalisme hukum. Orang merasa sah
jika sudah mematuhi aturan formal agama dalam perilaku atau ritual.
Dampaknya, puas dengan simbol-simbol sehingga kemunafikan semakin subur.
Maka, orang bisa rajin berdoa, ke rumah ibadat, patuh pada aturan agama,
tetapi korupsi jalan terus.
Formalisme pendidikan
tampak ketika yang diutamakan mendapat ijazah, lalu kurang memedulikan cara
mendapatkannya, kemampuan yang didapat, peningkatan kualitas hidup, atau
pendidikan karakter. Sementara positivisme hukum cenderung membentuk
mentalitas ”selama tak ada bukti material” orang tidak dianggap bersalah.
Tekanannya pada prosedur hukum sebagai sarana kepastian hukum. Keprihatinan
formalisme adalah sejauh hukum itu tertulis, tetapi kurang mengenali
substansi hukum. Akibatnya, mengikuti aturan demi aturan berarti mengabaikan
rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus
justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu, bukan dalam
aturan-aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus (Tebbit, 2000:
26).
Dampak formalisme
ketiga bidang kehidupan itu kelihatan ketika menganggap simbol, hukum, aturan
seakan sudah identik dengan praktik sosial. Padahal, bentuk formalisme itu
masih merupakan ”apa yang seharusnya”, tetapi sudah dianggap seakan realitas
itu sendiri. Maka, pernyataan-pernyataan seram ”dipotong lehernya”,
”digantung”, ”dipotong jarinya”, dianggap seakan sudah menjadi bukti yang
menjamin kejujuran.
Mengapa negara lemah
menghadapi kebohongan koruptor, aparat bersekongkol dalam kebohongan, bahkan
di antaranya pejuang HAM? A Badieu menjawab penuh sinisme: negara tidak
peduli, bahkan memusuhi suatu politik yang mengurusi kebenaran. Negara modern
hanya mau menunaikan tugas menggalang konsensus opini publik. Dimensi
tanggung jawabnya, hanya sampai pada mengubah keniscayaan ekonomi menjadi kepasrahan
dan penyesalan karena menyerah kepada dominasi logika kapital. Definisi
keadilan berubah menjadi harmonisasi permainan berbagai kepentingan
(1998: 113).
Maka, korupsi dan
kebohongan dijadikan sarana harmonisasi berbagai kepentingan itu untuk tujuan
politik. Penguasa tidak memikirkan bagaimana membangun institusi-institusi
agar lebih adil, tetapi sibuk membela pemilik kapital dan mengakumulasi uang
sampai tega merugikan warganya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar