Era
Generasi Melek Media
Trimanah ; Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula)
|
SUARA
MERDEKA, 08 Februari 2014
"Selain jadi
kawah candradimuka bagi calon jurnalis, perguruan tinggi harus terlibat aktif
dalam media literacy"
ERA reformasi telah melahirkan begitu banyak perubahan
yang sangat fundamental dalam tata kelola bangsa dan negara kita. Ini
adalah era ketika banyak hal yang dulu mustahil kini bisa dengan mudah
terjadi. Era yang serbaterbuka, nyaris tanpa sistem kontrol yang
mengikat jelas (peraturan dan perundang-undangan).
Bila ada sistem kontrol pun bersifat lemah karena sistem
itu bisa ìdiutak-atikî sedemikian rupa oleh sistem baru yang terbentuk di
tengah masyarakat. Alih-alih sebagai alat perlindungan bagi masyarakat yang
berfungsi sebagai jaminan akan terlaksananya sistem itu, justru dijadikan
tameng pembenaran atas banyak tindakan.
Salah satu produk reformasi adalah UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang acap disebut UU Kebebasan Pers. Dengan UU ini maka pers
nasional memiliki hak secara konstitusional dalam hal berkait media dan
bahan-bahan yang dipublikasikan tanpa ada campur tangan ataupun sensor dari
pemerintah. Namun dalam praktik, UU tersebut acap menjadi alat untuk
sekelompok orang dalam menyebarluaskan informasi secara tidak bertanggung
jawab dan jauh dari profesionalisme.
Pengibaratannya, dulu pers dikekang sedemikian rupa oleh
penguasa yang memiliki powerfull untuk memperlakukan pers dan media.
Sekarang, melalui UU itu pemerintah harus melepas power itu dan
mengalihkannya kepada pers untuk mengatur diri sendiri. Di sinilah titik
krusialnya. Permasalahan kebebasan pers tidak lagi menyangkut pada intervensi
pemerintah, tapi kepentingan banyak pihak, termasuk pemilik modal. Bukan
rahasia lagi bahwa sekarang kepentingan pemodal dan pemilik media tampil
secara terang-benderang. Pers Indonesia saat ini telah memasuki era
industrialisasi media.
Pers hanya bisa menjalankan fungsi bila ada jurnalis yang
berjibaku mencari dan mengolah berita. Jurnalis bukanlah orang sembarangan
melainkan profesi yang perekrutannya lewat seleksi ketat. Untuk mengubah
kondisi pers yang lebih baik dan profesional pada masa depan, perlu
menyiapkan sebaik mungkin calon jurnalis.
Anthony Giddens, sosiolog Inggris yang terkenal dengan
teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern
mengatakan bahwa untuk mengubah suatu kondisi, perlu perubahan pengisi
struktur. Di sinilah peran penting perguruan tinggi mengingat di tempat
itulah calon jurnalis ini mengasah ilmu dan keterampilan.
Calon jurnalis dididik tak hanya untuk memahami konsep 5W
+ 1H tapi juga dipersiapkan memiliki indepensi tinggi dan kritis terhadap
permasalahan. Mereka itulah yang nantinya mengisi struktur pers kita sehingga
menjadi lebih baik. Untuk itu perguruan tinggi harus memberi ruang cukup bagi
mahasiswa untuk berekspresi dan mengkritisi fenomena di sekitarnya baik
itu dalam bentuk tulisan maupun kajian.
Selain menjadi kawah candradimuka bagi calon jurnalis,
perguruan tinggi harus terlibat aktif dalam media literacy, yaitu
kegiatan untuk memberikan pemahaman kepada publik, terutama generasi muda,
supaya melek media. Masyarakat yang melek media adalah yang mampu memahami,
menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media.
Kemampuan itu supaya mereka, sebagai konsumen media,
menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Pada era informasi, pemahaman generasi muda tentang realitas dicapai terutama
melalui media massa, termasuk informasi atau pemahaman tentang fenomena
di masyarakat. Media massa memiliki kemampuan membangun pencitraan dalam
benak generasi muda sekaligus membentuk pendapat mereka.
Pers (media) seringkali hanya menyoroti aspek tertentu dan
mengabaikan aspek lain dalam memandang kenyataan. Isi pesan media massa
sangat bergantung pada kepentingan ekonomi dan ideologis pemilik media. Namun
strategi media diimplementasikan secara halus supaya publik tidak menyadari.
Menganalisis Isi
Paling tidak melalui media literacy, generasi muda
diajarkan supaya bisa menguasai empat kemampuan, yaitu kemampuan mengakses
media, menganalisis isi media sesuai dengan konteks, mengkritik media massa,
dan menulis pesan dalam berbagai bentuk dan jenis media. Melalui media
literacy berarti perguruan tinggi telah berupaya menyiapkan generasi yang
lebih baik.
Generasi melek media adalah generasi yang mampu
memahami bahwa media dibangun dengan tujuan menyampaikan ide, informasi dan
berita dari perspektif orang lain. Mereka telah mengerti bahwa di dalam media
terdapat teknik-teknik khusus yang digunakan untuk menciptakan efek
emosional.
Generasi melek media mampu mencari alternatif sumber
informasi dan hiburan. Mereka tahu bagaimana menggunakan media supaya
bermanfaat, tahu bagaimana harus bertindak, dan bukannya justru berlaku
sesuai konstruksi media dan menindaklanjuti kenyataan dalam kerangka media
tersebut. Generasi melek media adalah generasi yang lebih baik dan
berkualitas.
Media literacy bisa dijadikan oleh generasi ini sebagai
alat demokrasinya. Dengan begitu, perguruan tinggi telah berkontribusi dalam
menyiapkan insan pers yang berkualitas dan juga menjadikan publik muda paham
akan kekuatan pers dan media sehingga dapat melihat secara jernih semua
permasalahan sekaligus menemukan solusinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar