Empati
Sosial
Mohamad
Fauzi Sukri ; Penulis
|
TEMPO.CO,
24 Februari 2014
"Ora butuh difoto,
butuhe bantuan." Saya mendapatkan
kata-kata itu dalam foto headline di harian Kompas (18/02/2014) -yang ditulis pada papan tripleks berlatar rumah
warga yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud dan dipasang di pinggir jalan
yang penuh abu vulkanis. Warga Desa Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur,
tampaknya sudah begitu paham akan aktivitas sosial kita saat terjadi bencana,
kecelakaan, atau tindak kriminal: kita lebih suka melihat-lihat atau memotret
daripada melakukan tindakan penyelamatan, mengorganisasikan pengumpulan derma,
ataupun berempati.
Pola komunikasi atau keterlibatan dan kepedulian sosial kita
dengan orang lain lebih banyak mengarah ke ekshibisionisme dan narsisisme
asosial. Di depan bencana, kecelakaan, atau kriminalitas, terkadang kita
lebih suka mengedepankan mata daripada rasa, apalagi tindakan. Mata seakan
haus akan hal-hal yang sensasional, mengejutkan, dan luar biasa, tapi rasa
empati sering kali disurutkan ke belakang.
Majalah Tempo edisi 24 Juli 1982 pernah secara khusus memuat
headline sampul ini: "Orang Indonesia Memotret". Pada tahun itu,
sebelum kamera digital murah dikenal dan "hape" yang berkamera
belum ada, "Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap
tahun." Dan pada tahun itu, "Jebret! Bunyi itu kini terdengar di
mana-mana di Indonesia." Ini terjadi sekitar 31 tahun silam dan sekarang
pasti sangat berbeda juga jauh lebih gemebyar, apalagi mendapat sokongan dan
tambahan tenaga jejaring sosial.
Laku hidup di depan kamera adalah perilaku yang berjarak, bahkan
menjauh dari obyek agar obyek bisa diintai, dibidik, dan difoto. Foto-juga
alat perekam lainnya-dibuat agar menghasilkan efek statis, tak bergerak. Dan,
walaupun manusia pemegang kamera ada di tempat kejadian, kamera tetap
membuatnya harus berjarak. Kamera tak pernah bisa menyatu dengan obyeknya,
selalu harus diberi jarak. Hadir tapi tetap berjarak, tak hendak terlibat,
seakan semuanya tidak bisa menimpa diri kita semua, seperti kamera di hadapan
obyeknya. Maka, pola komunikasi atau keterlibatan sosial ala kamera ini
sering kali tak simpatik dan tak membawa rasa empati-dalam beberapa kasus
seperti kejadian di area yang sangat terpencil atau terisolasi, tentu saja
kamera terkadang mampu membawa empati.
Seperti abu vulkanis yang menimpa kita yang berada sekian ribu
kilometer dari Gunung Kelud, hidup kita selalu dalam keterlibatan,
keterkaitan, dan ketergantungan pada alam dan orang lain. Empati menjadi
sesuatu yang sudah seharusnya, bahkan barangkali sudah menjadi naluri hidup
kita. Maka, dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang
lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang
lain. Setidaknya, berempati berarti membayangkan diri kita pada kejadian yang
menimpa orang lain. Dengan empati, kita berusaha melihat seperti orang lain
melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya (Jalaluddin Rakhmat (1992: 132).
Dengan ini, akan timbul gerak dalam hati dan pikiran kita,
berempati dalam tubuh-batin. Gerak ini kemudian akan mengerahkan saraf-saraf
kita untuk ikut serta dalam bentuk tindakan, berderma, atau berdoa. Berempati
memberi rasa aman kepada orang lain dan membuat orang merasa tidak sendirian
dalam bencana. Ada kita bersama mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar