Bola Panas Impor
Beras
Effnu Subiyanto ; Ketua Cikal Foundation, Pendiri Forkep,
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
DI tengah arus bencana yang menimpa
negeri ini, ada 16.900 ton beras dari total komitmen kontrak impor 200.000
ton beras asal Vietnam menyerbu Indonesia melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera
Utara, dan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kedatangannya sejak minggu
terakhir Januari 2014 terus memunculkan reaksi pro dan kontra.
Beras ini tentu saja mengacaukan
harga di seluruh pasar. Beras lokal kualitas bagus dengan harga berkisar Rp
9.500-Rp 10.000 tidak berdaya berkompetisi dengan harga Rp 8.300 asal Vietnam
itu.
Usut punya usut, harga impor beras
sekarang berada pada kisaran 540 dollar AS per ton untuk yang terbaik dan
dapat sangat jatuh menjadi 330 dollar AS per ton untuk kualitas di bawahnya.
Itu pun para pedagang masih mendapatkan untung Rp 2.000-Rp 3.000 per
kilogram.
Ada banyak pihak yang berperan dan
berkontribusi terhadap skandal tata niaga impor beras.
Importir bisa saja disebut sebagai
salah satu biang keributan ini, tetapi oknum berikutnya adalah Bea dan Cukai
dan kemudian tentu saja Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian.
Premis pertama adalah importir
menyalahgunakan izin impor beras, khususnya dengan beras kualitas rendah.
Kemungkinan ini sangat besar
terjadi karena kode impor nomor HS (harmonized system) antara beras khusus
dan beras biasa tidak berbeda. Pandangan berikutnya beras tersebut diimpor
tahun lalu atau stok lama juga bisa terjadi.
Peran Bea dan Cukai
Bila berbasis tarif pajak memang
tidak mudah bagi pihak Bea dan Cukai mengenali jenis beras ini.
Seperti disebutkan di atas, beras
kualitas premium atau kualitas biasa tidak dibedakan kode HS-nya berdasarkan
Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 2012, yakni kode 1006.30.99.00.
Kode HS kategori beras lain-lain
setelah diberlakukan kebijakan ACFTA 2010 dan diratifikasi Indonesia pada
2012 bertarif bea masuk Rp 450 per kg untuk kedua jenis beras tersebut.
Artinya sangat sulit bagi Bea dan
Cukai menjadi pintu deteksi skandal ini jika pengawasan Bea dan Cukai sekadar
terkait tarif pajak.
Namun, sebetulnya pihak Bea dan
Cukai bisa mencegah banjir impor beras bila menggunakan
laporan surveyor yang menyertai saat presentasi pemberitahuan impor
barang (PIB).
Bea dan Cukai harus
melakukan cross checking dengan saksama sebelum merilis surat
perintah pengeluaran barang (SPPB) atas pengapalan beras.
Ada empat dokumen yang harus
disertakan oleh setiap importir beras, yakni Nomor Pengenal Importir Khusus
(NPIK), laporan surveyor (LS), dan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang
disahkanKementerian Perdagangan, dan Laporan Karantina yang disetujui oleh
Kementerian Pertanian.
Pihak Bea dan Cukai sebetulnya
tidak akan mengeluarkan SPPB jika salah satu surat kelengkapan tidak bisa
dipenuhi.
Ini artinya, Kementerian
Perdagangan bersama dengan Kementerian Pertanian sudah memberikan lampu hijau
persetujuan impor beras Vietnam ini.
Faktanya, 85 pengiriman itu
lengkap dengan 85 laporan surveyor, 85 SPI, dan 85
laporan clearancedari karantina hewan dan tumbuhan. Secara dokumen tidak
ada ketentuan yang di-bypass, artinya seluruh departemen terkait well
informed.
Satu-satunya dokumen di bawah otoritas
Bea dan Cukai adalah dokumen NPIK, dan itu pun juga sudah dipenuhi importir.
Tidak ada alasan lagi menolak merilis SPPB dalam hal ini. Beras Vietnam itu
secara legal menjadi barang sah masuk ke Indonesia.
Solusi
Tak mudah menghentikan impor beras
dengan seketika karena alasan mekanisme perdagangan internasional yang ada
dalam ketentuan International
Commerce Term (incoterm).
Jika beras sudah dimuat dari
pelabuhan Vietnam dan klaim pembayaran dengan letter of credit (L/C) sudah dibayarkan dalam empat hari
sesudahnya selambat-lambatnya oleh bank pembuka, maka suka tidak suka beras
harus diterima importir.
Jika ditolak, biaya yang tak perlu
malah semakin besar, misalnya biaya demurrage kapal
karena muatan terlambat bongkar, biaya demurrage kontainer, biaya sewa gudang pelabuhan, dan
akhirnya beras menjadi rusak.
Apa boleh buat, mau tidak mau
importir harus mencarikan gudang penyimpanan karena kemungkinan beras ini
akan diperlukan beberapa bulan ke depan akibat gagal panen beras Indonesia
karena bencana.
Apalagi, proses impor juga tidak
bisa sekonyong-konyong, hari ini tanda tangan kontrak kemudian beberapa
minggu beras dikirim.
Jika merujuk data Kementerian
Pertanian bahwa rekomendasi impor beras premium tahun ini adalah 400.000 ton,
kedatangan beras tersebut adalah hasil tanda tangan kontrak impor tahun 2013.
Artinya, masih akan banyak lagi
pengiriman beras dari Vietnam dalam waktu dekat jika tidak ada penjadwalan
ulang.
Dengan demikian, sebenarnya banyak
pihak yang terlibat di balik munculnya beras
asal Vietnam ini. Itulah yang
harus ditertibkan agar ke depan tidak ada lagi kejadian serupa yang merugikan
produk lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar