Rabu, 12 Februari 2014

Bola Panas Impor Beras

                         Bola Panas Impor Beras      

 Effnu Subiyanto   ;   Ketua Cikal Foundation, Pendiri Forkep,
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
KOMPAS,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DI tengah arus bencana yang menimpa negeri ini, ada 16.900 ton beras dari total komitmen kontrak impor 200.000 ton beras asal Vietnam menyerbu Indonesia melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, dan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kedatangannya sejak minggu terakhir Januari 2014 terus memunculkan reaksi pro dan kontra.

Beras ini tentu saja mengacaukan harga di seluruh pasar. Beras lokal kualitas bagus dengan harga berkisar Rp 9.500-Rp 10.000 tidak berdaya berkompetisi dengan harga Rp 8.300 asal Vietnam itu.

Usut punya usut, harga impor beras sekarang berada pada kisaran 540 dollar AS per ton untuk yang terbaik dan dapat sangat jatuh menjadi 330 dollar AS per ton untuk kualitas di bawahnya. Itu pun para pedagang masih mendapatkan untung Rp 2.000-Rp 3.000 per kilogram.

Ada banyak pihak yang berperan dan berkontribusi terhadap skandal tata niaga impor beras.

Importir bisa saja disebut sebagai salah satu biang keributan ini, tetapi oknum berikutnya adalah Bea dan Cukai dan kemudian tentu saja Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian.

Premis pertama adalah importir menyalahgunakan izin impor beras, khususnya dengan beras kualitas rendah.

Kemungkinan ini sangat besar terjadi karena kode impor nomor HS (harmonized system) antara beras khusus dan beras biasa tidak berbeda. Pandangan berikutnya beras tersebut diimpor tahun lalu atau stok lama juga bisa terjadi.

Peran Bea dan Cukai

Bila berbasis tarif pajak memang tidak mudah bagi pihak Bea dan Cukai mengenali jenis beras ini.

Seperti disebutkan di atas, beras kualitas premium atau kualitas biasa tidak dibedakan kode HS-nya berdasarkan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 2012, yakni kode 1006.30.99.00.

Kode HS kategori beras lain-lain setelah diberlakukan kebijakan ACFTA 2010 dan diratifikasi Indonesia pada 2012 bertarif bea masuk Rp 450 per kg untuk kedua jenis beras tersebut.

Artinya sangat sulit bagi Bea dan Cukai menjadi pintu deteksi skandal ini jika pengawasan Bea dan Cukai sekadar terkait tarif pajak.

Namun, sebetulnya pihak Bea dan Cukai bisa mencegah banjir impor beras bila menggunakan laporan surveyor yang menyertai saat presentasi pemberitahuan impor barang (PIB).

Bea dan Cukai harus melakukan cross checking dengan saksama sebelum merilis surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atas pengapalan beras.

Ada empat dokumen yang harus disertakan oleh setiap importir beras, yakni Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK), laporan surveyor (LS), dan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang disahkanKementerian Perdagangan, dan Laporan Karantina yang disetujui oleh Kementerian Pertanian.

Pihak Bea dan Cukai sebetulnya tidak akan mengeluarkan SPPB jika salah satu surat kelengkapan tidak bisa dipenuhi.

Ini artinya, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Pertanian sudah memberikan lampu hijau persetujuan impor beras Vietnam ini.

Faktanya, 85 pengiriman itu lengkap dengan 85 laporan surveyor, 85 SPI, dan 85 laporan clearancedari karantina hewan dan tumbuhan. Secara dokumen tidak ada ketentuan yang di-bypass, artinya seluruh departemen terkait well informed.

Satu-satunya dokumen di bawah otoritas Bea dan Cukai adalah dokumen NPIK, dan itu pun juga sudah dipenuhi importir. Tidak ada alasan lagi menolak merilis SPPB dalam hal ini. Beras Vietnam itu secara legal menjadi barang sah masuk ke Indonesia.

Solusi

Tak mudah menghentikan impor beras dengan seketika karena alasan mekanisme perdagangan internasional yang ada dalam ketentuan International Commerce Term (incoterm).

Jika beras sudah dimuat dari pelabuhan Vietnam dan klaim pembayaran dengan letter of credit (L/C) sudah dibayarkan dalam empat hari sesudahnya selambat-lambatnya oleh bank pembuka, maka suka tidak suka beras harus diterima importir.

Jika ditolak, biaya yang tak perlu malah semakin besar, misalnya biaya  demurrage kapal karena muatan terlambat bongkar, biaya demurrage kontainer, biaya sewa gudang pelabuhan, dan akhirnya beras menjadi rusak.

Apa boleh buat, mau tidak mau importir harus mencarikan gudang penyimpanan karena kemungkinan beras ini akan diperlukan beberapa bulan ke depan akibat gagal panen beras Indonesia karena bencana.

Apalagi, proses impor juga tidak bisa sekonyong-konyong, hari ini tanda tangan kontrak kemudian beberapa minggu beras dikirim.

Jika merujuk data Kementerian Pertanian bahwa rekomendasi impor beras premium tahun ini adalah 400.000 ton, kedatangan beras tersebut adalah hasil tanda tangan kontrak impor tahun 2013.

Artinya, masih akan banyak lagi pengiriman beras dari Vietnam dalam waktu dekat jika tidak ada penjadwalan ulang.

Dengan demikian, sebenarnya banyak pihak yang terlibat di balik munculnya beras 
asal Vietnam ini. Itulah yang harus ditertibkan agar ke depan tidak ada lagi kejadian serupa yang merugikan produk lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar