Selasa, 11 Februari 2014

Balada Pemasang Baliho

                        Balada Pemasang Baliho

 Putu Setia   ;   Pengarang, Wartawan Senior TEMPO
TEMPO.CO,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Mobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai alat peraga calon legislator. Pan Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh, terserah mau dipasang di mana," kata sang sopir.

Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh menjamur. Mesin cetaknya bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp 15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon dianggap lebih mahal dan sudah kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya kebun bambu.

Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan pula baliho yang tumbang oleh angin, tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau dirobohkan orang-ia tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya.

Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan dukungannya", lalu ada wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya gombal. "Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering meludah ketika memasang bentangan bambu pada baliho itu.

Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya, dia kaget. Wajah perempuan itu dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit," ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal sebagai pemain drama gong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa mengangguk-angguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat, tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena saya orang waras."

Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel Lelga dan Camel Petir, keduanya penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa wajah Tanah Air? Dia tak bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung, gubernur bank sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?

Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya ampun, dia jadi caleg?" Cetakan digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan pejabat. Entah ia berkuliah di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos.

Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang baliho kalau yang dipajang itu orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka enggan memasang baliho, atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka tidak dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma membatin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar