Antara
Janji dan Kenyataan
Retno Listyarti ; Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
|
KOMPAS,
08 Februari 2014
SAAT Wakil Presiden Boediono
meninjau pelaksanaan Kurikulum 2013 di sejumlah sekolah di Jakarta, muncul
kesimpulan: Kurikulum 2013 berjalan baik karena para guru hanya mengeluhkan
aspek penilaian.
Sebagai praktisi
pendidikan, saya dan kawan-kawan guru terkejut dengan kesimpulan itu. Wapres
hanya meninjau kelas lima menit saja. Jika Wapres ingin memperoleh data yang
sesungguhnya, metodenya ”sidak” karena di lapangan akan sangat mudah
menemukan guru-guru yang mengetahui implementasi yang tak sesuai dengan
jargon- jargon Kemdikbud.
Kebijakan harus naik kelas
Untuk tingkat SD,
kebijakan harus naik kelas membuat polemik dan kehebohan di kalangan para
guru. Paru guru khawatir siswa akan malas kalau otomatis naik kelas. Saya
memaklumi kalau ada kekhawatiran itu.
”Anak akan malas
belajar kalau pasti naik kelas” sama dengan ”orang pasti melanggar aturan
lalu lintas kalau tak ada polisi”. Jika pikiran semacam ini dipertahankan
terus, yang akan dilakukan kemudian adalah selalu menambah jumlah polisi,
bukan membangun kesadaran moral untuk menaati aturan.
Justru karena sangat
sulit, kita butuh peran guru. Kita membutuhkan guru yang memiliki kemauan
membangkitkan kesadaran, bukan guru yang lebih senang bersenjatakan ancaman.
Sayangnya, kebijakan
progresif ini tidak disertai dengan desiminasi dan sosialisasi secara baik kepada
para guru dan masyarakat. Apalagi kebijakan yang tergolong baru ini tidak
lazim dalam mindset guru dan orangtua di Indonesia. Tidak heran
jika di lapangan kebijakan ini mendapat penolakan dan terkesan aneh bagi para
guru, birokrat pendidikan, dan orangtua.
Mendikbud sendiri
”terkesan” tak paham dengan kebijakan kementeriannya ini sehingga
muncul istilah KW 1, KW2, dan seterusnya. Menurut sang menteri, KW merujuk
pada siswa yang mampu menguasai kompetensi tanpa perlu remedial.
Adapun KW 1
merujuk pada siswa yang membutuhkan remedial satu kali untuk menguasai
kompetensi yang sudah ditargetkan, KW 2 yang remedialnya dua kali dan
seterusnya. Istilah ini merupakan stigma negatif sekaligus pelabelan yang
seharusnya tidak ada lagi dalam pendidikan. Istilah ini juga menimbulkan
diskriminasi dan pengastaan.
Guru banyak yang
kecewa terhadap Kurikulum 2013. Mereka dulu begitu antusias dan senang
menyambut Kurikulum 2013 karena Kemdikbud menjanjikan para guru tak akan
direpoti oleh pembuatan perangkat mengajar. Nyatanya perangkat mengajar yang
harus dibuat justru lebih banyak dan lebih berat.
Keluhan terbanyak
dalam menerapkan Kurikulum 2013 adalah di kalangan para guru SD dan SMP.
Misalnya, buku-buku Kurikulum 2013 yang dijanjikan dibagikan gratis ternyata
mengalami kekurangan kiriman di sejumlah sekolah. Bahkan, ada tiga SD sasaran
di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, yang hingga hari ini belum mendapatkan
kiriman buku Kurikulum 2013. Padahal, gurunya sudah dilatih. Akhirnya
Kurikulum 2013 tidak bisa diterapkan di sekolahnya.
Pemberlakuan
kompetensi inti (KI) pertama yang memiliki unsur agamis menimbulkan
kebingungan para siswa SMP kelas VII. Sejumlah siswa kelas VII di Jakarta
Timur mengaku dia dan teman-temannya bertanya kepada orangtuanya, ”Mengapa semua guru di SMP seperti menjadi
guru agama? Mata pelajaran apa pun selalu dihubungkan dengan agama.”
Repotnya, jika agama
guru berbeda dengan agama mayoritas siswa, akan muncul protes: si guru hanya
bisa mengaitkan KI pertama dengan kitab suci sesuai dengan agamanya karena
hanya itu yang ia paham. Guru tidak salah karena hanya ajaran agamanya yang
dia tahu. Tak mungkin guru sok tahu menggunakan dasar kitab suci agama
mayoritas yang dia tentu tak paham.
Para orangtua awalnya
juga menyambut penuh antusias Kurikulum 2013 untuk SD karena berkurangnya
mata pelajaran dari 10 menjadi 6. Namun, tema integratif, yang menurut
rencana akan diterapkan di SD, ternyata terkendala banyak faktor, mulai dari
jumlah murid yang terlalu banyak, kemampuan guru yang terbatas, hingga buku-buku
yang ternyata tematik tetapi tidak integratif.
Orangtua pun mulai
dilanda kebingungan karena saat ujian akhir semester anak-anak mereka
memiliki beban harus ujian semua mata pelajaran setiap hari karena tematik.
Dalam soal tes, setiap hari ada 10 soal Matematika, 10 soal IPA, 10 soal IPS,
dan 10 soal Bahasa Indonesia. Beban anak semakin berat.
Puncak kebingungan
Puncak kebingungan
guru diakhir semester terjadi ketika harus mengisi rapor. Format rapor yang
sangat berbeda dengan format rapor sebelumnya cukup memberi beban bagi para
guru. Selain aspek yang dinilai begitu banyak, rapor pun harus dibuat
deskrispsinya. Padahal, saat pelatihan Kurikulum 2013 sama sekali tak ada
pelatihan terkait penilaian dan pengisian rapor. Akhirnya terjadi rekayasa
nilai.
Para guru sangat
terbebani dengan pengisian rapor Kurikulum 2013. Bahkan, untuk pertama kali
dalam sejarah pendidikan di Indonesia, penerimaan rapor kelas VII SMP dan
kelas X SMA/SMK tertunda satu bulan karena mengisi rapor sangat rumit.
Para guru dan orangtua
siswa akhirnya baru sadar akan beratnya Kurikulum 2013 dan merasa ”tertipu”
oleh jargon Mendikbud dan jajarannya. Akhirnya guru berpikir emang gue
pikirin karena begitu pintu kelas ditutup mengajar seperti yang lalu pun
tak akan diketahui Mendikbud dan jajarannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar