Minggu, 26 Januari 2014

Zaman “Omdo”

Zaman “Omdo”

Reza AA Wattimena   ;    Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Sedang di München, Jerman
KOMPAS,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"OMDO" itu bahasa sehari-hari orang Jakarta. Kepanjangan dari omong doang, yang berarti orang hanya bicara tetapi tidak ada kerjanya. Suka mengumbar janji, tetapi tidak pernah ditepati. Ketika ”omdo” menjadi kebiasaan, maka berbagai kesepakatan politik pun goyah.

Politik adalah seni untuk mewujudkan berbagai kemungkinan. Namun, kemungkinan akan menjadi kenyataan hanya jika orang bisa duduk bersama, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah, lalu mulai bekerja sama. Maka ”omdo” menjadi musuh utama.

Di dalam politik, kita banyak sekali menemukan orang ”omdo” yang suka mengumbar janji-janji palsu. Oleh karena itu, dalam Pemilu 2014 kita harus mewaspadai para politisi macam ini.

Hukum juga adalah hasil kesepakatan. Hukum dibuat supaya orang mematuhinya. Hukum menjadi kumpulan kata-kata tanpa makna ketika orang begitu mudah melanggar hukum, walaupun sudah janji menepatinya.

Di Indonesia, ketika Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga hukum terlibat korupsi, kita bisa mengatakan, hukum kita di Indonesia pun terkena penyakit ”omdo” ini.

Bentuk lain dari kesepakatan adalah kebijakan politik. Pemerintah daerah sampai pusat sepakat mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.
Namun, sampai sekarang janji itu tidak ditepati dan justru pemerintah memiskinkan rakyatnya. Inilah pemerintah yang ”omdo”.

Ironisnya, pendidikan kita pun pendidikan ”omdo”. Guru mengajarkan nilai-nilai moral di kelas, tetapi sekaligus mengajarkan menyontek kepada anak didiknya ketika ujian nasional tiba.

Guru mengutip kata-kata bijak dari agama, tetapi kemudian memukul peserta didiknya. Ketika pendidikan terkena penyakit ”omdo”, maka lahirlah generasi ”omdo” yang janji dan kata tidaklah berarti. Mereka dengan mudah bilang ”iya” kemudian begitu mudah melupakannya.

Sumber ”omdo”

Ada banyak penyebab mengapa orang bisa terkena penyakit ”omdo”. Salah satunya adalah yang disebut para filsuf moral sebagai kelemahan kehendak (willensschwach). Artinya, orang tahu bahwa ia mesti menepati janji.

Namun, karena kehendaknya lemah, mungkin karena prinsip hidup kurang kuat dan kurangnya teladan moral di sekitarnya, ia tidak menepati janjinya.

Penyebab lain adalah kehendak jahat yang memang ingin menipu sejak awal. Manusia adalah makhluk yang ambivalen. Di satu sisi, ia bisa berbuat begitu baik dan mulia layaknya malaikat.

Di sisi lain, ia bisa menjadi begitu kejam dan ganas, baik dalam pikiran maupun dalam tindakan. Kehendak menipu salah satunya terwujud dalam ”omdo”.
Orang bisa terkena gejala ”omdo” karena tidak menganggap penting kata-kata dan janji.

Ia melihat lawan bicaranya lebih rendah, merasa lebih terhormat, sehingga tidak menganggap penting janji dan kata-katanya kepada seseorang atau sekumpulan orang. Inilah salah satu bentuk rasisme dan kesombongan terpendam, yang efeknya terasa sehari-hari.

Penyebab ini berakar pada cara berpikir kita tentang manusia lain. Apakah kita melihat manusia lain sebagai makhluk yang setara dan bermartabat?

Jika ya, maka kita akan menepati kata-kata dan janji kita kepada manusia lain, sama seperti kita ingin janji dan kata-kata orang lain kepada kita juga ditepati.

Pola belajar dan pola asuh juga berpengaruh besar pada terciptanya kepribadian ”omdo”.

Di dalam sistem pendidikan yang amat menekankan kemampuan intelektual, orang melihat dunia selalu dari buku, dari kertas, dan dari teks.

Ia tidak melihat atau menyentuh manusia langsung. Akhirnya, ia tidak paham pada gerak perasaan dan cara hidup manusia lainnya, karena mata dan pikirannya terpaku pada teks.

Dampak lebih luas

Di balik gejala ”omdo”, kita bisa melihat gerak dan cara berpikir yang begitu ganas, yang menjadi akar dari segala bentuk kekerasan.

Cara berpikir ini adalah juga akar dari politik dehumanisasi, di mana orang lain, terutama orang asing yang berbeda agama, ras, dan pola pikir, dilihat sebagai benda yang bisa diperas dan diperjualbelikan.

Di dalam diskusi-diskusi di Jerman terkait dengan isu imigrasi, saya benar-benar merasakan bagaimana imigran tidak dilihat sebagai manusia.

Imigran berpendidikan tinggi akan segera diajak bekerja sama. Imigran bodoh akan diusir dengan segala cara.

Prinsip sebagai bangsa beradab dan berbagai kesepakatan internasional tentang imigrasi tidak lagi dianggap penting. Itu semua hanya ”omdo”.

Janji-janji negara Eropa dan Amerika Serikat untuk bekerja sama mendirikan peradaban manusia yang luhur di seluruh dunia pun seringkali hanya ”omdo”. Semua itu sering hanya untuk menutupi tindakan mengeruk kekayaan alam negara lainnya.

Saya tidak mau terdengar pesimistis. Akan tetapi itulah yang kini menjadi semangat zaman kita, yakni zaman ”omdo”, di mana pengkhianatan dan pelanggaran janji adalah hal biasa. Tentu, ini tidak mutlak.

Masih ada orang-orang yang menghargai kata dan janji dengan sepenuh hati mereka. Saya hanya berharap, orang-orang ini mau bekerja sama, lalu mengampanyekan gerakan anti-”omdo”. Saya dengan senang hati berpartisipasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar