Minggu, 26 Januari 2014

Watugunung

                                  Watugunung                                 

Bre Redana  ;   Kolumnis “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS,  26 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Datang ke rumah di musim yang benar-benar basah, Jean Couteau menunjukkan buku barunya, Time, Rites and Festivals in Bali yang ditulisnya bersama I Gusti Nyoman Darta dan Georges Breguet. ”Setidaknya baca bagian mitos Watugunung,” ucap cendekiawan Perancis yang tinggal di Bali ini.

Sejak lama ia tertarik pada kosmologi masyarakat Bali khususnya menyangkut persepsi mereka terhadap waktu. Sebelum ini, tahun 2002, ia membikin buku hampir serupa dalam bahasa Perancis, les calendriers tika de Bali, un autre temps.

Apa mitos Watugunung yang dikenal oleh masyarakat Bali dan Jawa itu? Banyak variannya, misalnya menyangkut nama tokoh, tempat, dan lain-lain. Hanya saja, substansi cerita sama. Dalam versi Time, Rites and Festivalsditampilkan kisah raja Kulagiri dari Jalasanggara, yang punya dua istri, Dewi Sinta Kasih dan Dewi Landep.
Ketika Dewi Sinta hamil, Kulagiri menyepi dan bertapa di gunung Mahameru. Begitu lama bertapa, sampai saatnya Dewi Sinta hendak melahirkan, belum juga ada kabar mengenai raja. Maka, Dewi Sinta dan Dewi Landep memutuskan untuk naik gunung, mencari sang raja. Dalam pencarian yang sia-sia itulah, di dekat sebuah batu besar, Dewi Sinta melahirkan bayi laki-laki.

Nujum Dewa Brahma mengiringi kelahiran si bayi. Kelak, bayi ini akan kuat, menguasai tanah dan gunung-gunung. Dua puluh pangeran akan dikalahkan dan menjadi abdinya. Ia hanya akan terkalahkan nantinya oleh sosok berkepala kura-kura bersenjata lima kuku, titisan Wisnu, dewa air.

Terusir dari asuhan ibunya sejak bayi, benarlah, tokoh ini, Watugunung, akhirnya bertumbuh menjadi raja besar. Tak kenal asal-usulnya, ia membunuh ayah kandungnya, kemudian menikahi dua wanita, ibu kandung dan ibu tirinya, yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep.

Suatu saat, ketika Dewi Sinta dan Dewi Landep mengetahui misteri Watugunung, mereka memperdayai, agar Watugunung mencari istri yang lebih muda. Dalam mimpi keduanya, yang harus diperistri Watugunung adalah Dewi Nawang Ratih, istri Dewa Wisnu. Ketika berhadapan dengan Wisnu yang menjelma dalam sosok berkepala kura-kura dan bersenjata lima kuku itulah Watugunung terkutuk dalam keabadian: ia menyerah dan mendefinisikan dirinya sebagai pengetahuan atas waktu alias kalender.

Dalam sistem kalender ini masyarakat agraris mengenal apa yang disebut pawukon atau wuku. Waktu dipahami sebagai siklus, bukan sesuatu yang linear atau berjalan lurus. Sinta dan Watugunung dijauhkan, karena hubungan inses antara ibu-anak menyalahi hukum alam (nilai ini sifatnya universal. Di Yunani, mitos serupa ditulis oleh Sophocles dalam cerita Oedipus, yang melahirkan istilah ”Oedipus complex”).

Sinta menjadi pembuka waktu sebagai siklus. Setelah itu terdistribusikan berbagai wuku, sebelum siklus ditutup dengan Watugunung. Di antara siklus ini terdapat beberapa hari besar, misalnya Saraswati, Dewi Pengetahuan. Dalam hal ini, pengetahuan diartikan sangat luas, yaitu ”kesadaran”. Dengan kata lain, pada masyarakat yang memahami waktu sebagai siklus, waktu bukanlah abstraksi yang semata-mata bersifat kuantitatif. Misalnya, setelah sekian bulan dapat apa. Sudah kaya atau belum. Sudah populer atau masih jadi sekuter alias selebriti kurang terkenal. Setelah sekian tahun bisa melakukan apa. Bisa mengatasi banjir atau tidak.

Pada pemahaman waktu sebagai siklus alam, waktu bermakna kualitatif. Di dalamnya tertatah pengetahuan mengenai baik-buruk, benar-salah, bagus-jahat, dan lain-lain. Ketidak-teraturan dunia besar (makrokosmos) dianggap ada hubungannya dengan ketidakteraturan dunia kecil atau manusia (mikrokosmos).

Berkaca pada siklus alam, kita bisa melihat diri sendiri maupun manusia-manusia di sekeliling kita. Misalnya, siapa di tengah negara yang sedang menanggung bencana, malah sibuk menyalahkan orang lain, tanpa rasa malu memanfaatkannya sebagai panggung kampanye, seolah menolong padahal piknik, ngurusi partai, sibuk main Instagram, dan lain-lain.

Ah, manusia sekarang, selain tak percaya karma, apa juga tahu malu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar