Selasa, 21 Januari 2014

Tipping Point, Protest Vote, dan Social Media

Tipping Point, Protest Vote, dan Social Media

Denny Charter   ;   Direktur Eksekutif Indexpolitica
INILAH.COM,  19 Januari 2014
                                                                                                                       


Tipping point merupakan istilah yang digunakan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya untuk mengambarkan bagaimana hal kecil dapat memberikan perubahan besar. Di buku itu Malcolm Gladwell memberikan contoh pada produk sepatu kulit Hush Puppies pada 1995. Bagaimana tidak, merek Hush Puppies dari sepatu yang hampir dilupakan orang dapat berubah menjadi merek populer secara dramatis melalui sedikit perubahan desain.

Fenomena ini dalam ilmu Fisika dikenal dengan teori Critical Mass, atau di Ilmu Matematika dikenal dengan nama Chaos Theory.

Secara Ilmiah tipping point dapat dijelaskan sebagai bagaimana sesuatu hal kecil dapat berimbas menjadi hal besar dan menyebar melalui jaringan sehingga saling berpengaruh dancontagiousness atau menular seperti virus.

Belum ditemukan istilah pas untuk fenomena seperti ini di ilmu Hukum dan Politik. Mungkin kita bisa menggunakan istilah ‘Protest Vote’ yang dapat diartikan dengan ‘asal bukan…’, Seperti pada 1998 asal bukan Pak Harto, atau Asal Jangan Foke di Pilkada DKI 2012.

Di era internet sekarang ini ternyata social network cukup berperan memberikan tipping point terutama pada fenomena hukum dan politik. Kita tentu masih ingat dengan kasus Prita atau kasus Cicak–Buaya yang melibatkan Polri dan KPK,  social network berperan sekali membentuknya. Atau kita ambil contoh fenomena yang sedang berlangsung sampai sekarang yakni Jokowi Effect. Jokowi Effect/Harapan Semu sebenarnya adalah akumulasi dari jumlah ‘Like’ yang sebenarnya disebabkan oleh jumlah ‘Dislike’ berlebihan kepada Fauzi Bowo pada saat Pilkada DKI 2012.

Orang-orang membutuhkan karakter yang kontra dengan karakter Fauzi Bowo dan dari semua kandidat yang ada di Pilkada DKI saat itu, Jokowi orangnya. Baju kotak-kotak dan blusukan adalah sedikit perubahan desain kampanye oleh Jokowi dibandingkan dengan kandidat lainnya.

Social Media seperti Facebook, Twitter, Blog dan Youtube memiliki peran penting sebagai tools untuk mempengaruhi dan menyebarluaskan informasi secara efektif. Like/Dislike Pilkada DKI 2012 dapat dilihat pada Sentiment Index Social Media antara Jokowi Ahok vs Fauzi Nachrowi diambil dari Indexpolitica.com [13 Juni 2012]
Dari grafik sentiment Index tersebut menunjukan pembicaraan negatif terhadap Fauzi – Nachrowi sangat dominan. Namun sebaliknya, Jokowi – Ahok berada disisi kanan atau mempengaruhi secara positif.

Kondisi yang hampir serupa untuk kandidat Calon Presiden 2014 dapat dilihat pada sentiment index Capres 2014 di Indexpolitica.com [18-Januari-2014]
Melaui social network ide-ide merakyat Jokowi dipublikasikan melalui group atau komunitas yang orang-orang yang belum mengetahui menjadi tertarik dan terinspirasi untuk ikut menyebarkan dan melakukan termasuk di dalamnya adalah media seperti media online, TV, koran, dan radio.

Selanjutnya media mengekspos Jokowi Effect sehingga berlanjut ke Pilpres yang waktunya tidak terlalu jauh. Dan kebetulan saat ini rakyat sedang kecewa dengan Presiden SBY yang dinilai lamban, penuh pencitraan, bikin album musik, membunuh teroris. Belum lagi sejumlah Partai Demokrat ditangkapi oleh KPK dan sebagainya sehingga muncul kembali Protest Vote.

Protest Vote lebih mereferensi kepada orang baru dibandingkan dengan orang lama. Protest Vote ini tidak akan ke Prabowo, Megawati, atau Jusuf Kalla. Protes Vote membutuhkan figur baru untuk pilpres dan figur tersebut untuk saat ini kembali tertuju kepada Jokowi. Hal ini tidak akan terjadi pada 2019 kepada Jokowi, karena momentum Jokowi adalah sekarang ini pada 2014.

Siapakah penantang ideal Jokowi di 2014? Politik itu adalah citra, bayangan, proyeksi yang dilihat dari kejauhan baik visual atau persepsi. Jadi tidak bicara kompetensi, program, visi atau misi.

Dalam sebuah survei seorang memilih kandadat A dengan alasan Y sebenarnya karena pertanyaan yang diajukan adalah pilihan berganda. Alasan sebenarnya orang tersebut memilih A adalah hanya karena ‘Like/Dislike’. Jadi harus ada tokoh yang mempunyai karakter kontra terhadap Jokowi saat ini sehingga memunculkan tipping point baru di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar