Restorasi Sikap Mental Umat
Pria Takari Utama ;
Pusat Studi Hakikat dan Makrifat
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2014
BANGSA Indonesia di kenal religius
dengan aktivitas keagamaan amat semarak. Dalam hari libur nasional setahun,
71% di antaranya hari besar keagamaan. Itu belum termasuk ibadah yang
menyertai seperti puasa Ramadan sebulan penuh sebelum Idul Fitri. Pada Idul
Adha, selain kurban, ada ibadah haji ke Tanah Suci.
Nuansa keagamaan makin
kuat karena di semua hari keagamaan, presiden selalu hadir. Terakhir,
Presiden berpidato pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di hadapan ribuan
hadirin di lapangan Monas, dan di Istana Negara esok harinya. Bahkan, sebelumnya
pada acara Natal nasional, Presiden dan Wakil Presiden hadir.
Tiap hari dan pekan, tempat ibadah
disesaki umat. Di aula hotel, gedung pertemuan dan rumah tinggal juga ada
acara ibadah. Bahkan, yang kontroversial, di pinggir jalan raya juga ada
kegiatan ibadah kelompok tertentu. Meskipun yang terakhir ini sering
dikeluhkan karena mengganggu lalu lintas umum, atas nama ibadah, hal itu
dibiarkan pihak berwenang.
Pendeknya, masyarakat kita tampak taat beragama.
Belum
berbekas
Jika melihat tingginya semangat
ritualitas keagamaan, harusnya negeri ini aman, adil, damai, nyaman, makmur,
sentosa, dan sejahtera. Calon-calon penghuni surga rasanya bakal berasal dari
negeri ini. Namun, faktanya apa yang kita saksikan?
Simak kolom psikolog UI Sarlito
Wirawan (Kompas, 11 Desember 2013). Kecelakaan KRL Bintaro lalu, menurutnya,
merupakan cermin mentalitas masyarakat kita yang gemar menyerobot. Soalnya,
kejadian serupa di berbagai pelintasan rel sering terjadi menimpa mobil,
metromini, dan pengendara motor, tapi tidak ada yang jera.
Pengendara di
jalan raya saling serobot, melawan arus, serta pedagang kaki lima dan
pengendara motor merampas jalur pedestrian yang jadi hak pejalan kaki. Bantaran
sungai, jalur hijau dijadikan permukiman liar, tanah diserobot. Bahkan bila
menyimak tayangan infotainment, menyerobot istri atau suami orang juga sudah
jadi hal biasa. Orang Indonesia tidak bisa antre dan maunya menyerobot. Para
koruptor jelas penyerobot hak rakyat.
Saya tambahkan, membuang sampah
sembarangan menyerobot jalan air, penyebab banjir di mana-mana. Kali penuh
sampah, bahkan kasur pun dibuang ke Sungai Ciliwung. Merokok di tempat umum,
menyerobot hak sehat orang yang tidak merokok. Pengguna knalpot balap yang
memekakkan telinga, berhenti dan parkir sembarangan di pinggir jalan,
menyerobot hak kenyamanan orang lain.
Perilaku arogan Bupati Ngada NTT
yang memblokade Bandara Turolelo hanya karena ia tidak dapat tiket pesawat
juga jelas penyerobotan kepentingan dan keselamatan umum. Pada tahun politik
ini, niscaya urusan penyerobotan akan makin kompleks dan masif. Mentalitas
penyerobot sudah merasuk ke semua kehidupan masyarakat, birokrasi, politik,
dan pemerintahan. Penyerobot tidak punya tenggang rasa, tidak menghargai hak
orang lain, tidak ada simpati dan empati ikut merasakan penderitaan orang
lain.
Jika begitu, di mana peran agama?
Padahal, kita bangsa religius. Tempat ibadah penuh, kajian agama di
mana-mana, di televisi, radio, dan dunia maya. Orang rela mengorbankan
segalanya untuk ke Tanah Suci. Namun, semua itu seakan tidak membekas. Tidak
tecermin pada perilaku dan budi pekerti umat. Pada hal, semua agama
mengajarkan tidak boleh mengambil hak orang lain dan membuat kerusakan di
muka bumi. Tapi, mengapa justru itu yang terjadi?
Peran
pemuka agama
Di sini peran penting pemuka agama
yang harus memainkan peran positifnya dalam membentuk karakter bangsa.
Menurut saya, selama ini pemuka agama cenderung mendidik umat beribadah hanya
demi kenikmatan diri pelaku ibadah sendiri. Ya, bak masturbasi. Dengan melakukan
ritual berbagai ibadah, umat sudah senang, karena merasa telah menabung
banyak pahala untuk dirinya sendiri. Sementara orang lain bukan urusannya.
Mengapa itu terjadi? Karena
mayoritas penceramah agama masih mengajarkan umat jadi `pedagang pahala'. Bahkan
ada ustaz yang terkenal spesialis dengan ajaran `matematika sedekah'.
Tujuannya mungkin baik, yaitu memotivasi umat agar rajin bederma karena
pahalanya berlipat ganda. Berbuat satu kebaikan, pahalanya sampai 700 kali
lipat. Namun, karena ajaran tersebut itu pulalah timbul pemahaman bila
korupsi Rp1 miliar, lalu bederma Rp1,5 juta saja, hitungan pahalanya
dikalikan 700 kali masih untung Rp50 juta. Lalu, umat ramai-ramai ke Tanah
Suci, umrah maupun haji, karena dengan beribadah di sana semua dosa diampuni
dan pahalanya ribuan kali lipat. Banyak orang yang melakukan dosa dan korupsi
di Tanah Air, begitu pulang dari Tanah Suci, merasa dirinya pun sudah suci.
Nanti korupsi dan berbuat dosa lagi, tebus lagi ke Tanah Suci. Begitu
seterusnya.
Hal itu tentu pemahaman yang keliru.
Harusnya yang ditekankan para pemuka agama ialah ajaran tertinggi, yaitu
keikhlasan mengabdi dalam rangka mencintai Tuhan. Korupsi itu dosa tidak
berampun karena masuk kategori syirik. Sebab, pelaku korupsi bukan lagi
penyembah Tuhan, tapi penyembah kemewahan dan harta benda, mengambil hak
orang lain secara batil. Jika ini yang ditekankan pemuka agama, niscaya
berperan besar mencegah perilaku korup di negeri ini.
Kesuksesan hubungan vertikal
dengan Tuhan harus tecermin pada hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablun minannas). Jika horizontalnya
sukses, pertanda vertikal sukses karena hakikat ibadah manusia ialah bermanfaat
dan menebar kasih sayang kepada sesama makhluk hidup dan lingkungannya, bukan
untuk kenikmatan diri sendiri. Dalam kitab suci disebut bahwa sebaik-baik
manusia ialah yang memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Bahkan, manusia
disuruh berbuat baik kepada sesama, sebagaimana Tuhan telah berbuat baik
kepada makhluk-Nya.
Jika itu belum tampak dalam
kehidupan nyata, mungkin umat selama ini terjebak pada ritual formal
keagamaan belaka, atau memang karena belum mengenal Tuhannya. Ini jadi
pengganjal untuk tulus mengabdi dan mencintai-Nya. Para pemuka agama perlu
segera melakukan restorasi dalam mendidik umat, yaitu menekankan ajaran pada
hakikat ibadah itu sendiri. Misalnya, hakikat puasa adalah menahan diri.
Bagaimana bisa pejabat yang rajin
ibadah, puasa Senin-Kamis, bolak-balik ke Tanah Suci, tapi jadi tersangka
korupsi? Karena ia belum dapat hakikat ibadahnya, yaitu menahan diri. Ibadah
penting, tapi jangan pada level permukaan yaitu aspek ritual fisikal dan pada
hukum suruhan-larangan nan membuai iming-iming pahala dan ancaman dosa, yang
justru menyuburkan mentalitas pamrih. Umat perlu dicerahkan bahwa ibadah
harus ikhlas, murni dalam rangka mencintai Tuhan. Soal pahala dan dosa,
biarlah hak prerogatif-Nya.
Mentalitas umat perlu dipulihkan
lagi menjadi manusia yang gemar memberi dan ikhlas berbuat seperti yang
dicontohkan para pejuang kemerdekaan dan Bapak Bangsa, Soekarno-Hatta dulu.
Bukan mentalitas yang selalu mengejar hak, apalagi menyerobot hak, seperti
yang terlihat sekarang. Upaya mengobati berbagai penyakit bangsa bisa dimulai
dari titik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar