Selasa, 21 Januari 2014

Potret Buram Kualitas SDM

Potret Buram Kualitas SDM

Ali Khomsan   ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
                                             MEDIA INDONESIA,  21 Januari 2014                                           
                                                                                                                       


INDONESIA berada di urutan ke-64 dari 65 negara yang ikut dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2012. Itu indikasi bahwa ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan di Tanah Air. PISA menyelenggarakan pengukuran siswa pada aspek matematika, sains, dan kemampuan membaca.

Setiap hari, siswa di Indonesia mulai dari tingkat dasar sampai menengah dijejali dengan mata pelajaran yang beraneka ragam dengan tingkat kedalaman yang mungkin tidak terbayangkan oleh siswa-siswa di negara maju. Silakan cek buku-buku teks yang wajib dibaca anak-anak kita di tingkat dasar. Niscaya banyak orangtua yang bertanya-tanya, untuk apa ilmu yang demikian mendalam diajarkan pada anak-anak SD.

Saking mendalamnya materi pelajaran siswa di Indonesia mungkin telah membuat anak-anak kita ‘muntah’. Banyak anak didik kita yang memiliki lower order thinking skills. Mengacu pada studi TIMMS (Trends in International Math and Science Survey) 2007, anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah dan di bawah rata-rata berjumlah 78%, Korea 10%, Singapura 12%, Taiwan 14%, dan Hong Kong 15%. Tantangan ke depan sungguh berat karena performa tinggi dan maju baru diraih oleh 5% anak Indonesia.

Dalam menghadapi perubahan teknologi yang demikian cepat, kualitas anak Indonesia yang diharapkan ialah memiliki kemampuan bekerja sama (teamwork), mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, dapat berkomunikasi dengan baik, berpikir kreatif, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan motivasi yang tinggi. 

Pendidikan tidak hanya menghasilkan SDM yang siap menjadi pekerja, tetapi SDM yang memiliki jiwa entrepreneurship, kemampuan analitis, berpikir efektif dan efisien, serta lebih dari itu semua, yaitu adanya karakter positif (disiplin, kerja keras, jujur) yang melekat kuat dalam dirinya.

Dunia yang semakin kompetitif menuntut individuindividu dengan emotional quotient (EQ) yang tinggi. Pandangan yang menganggap IQ merupakan hal terpenting dalam karier seseorang telah dikoreksi karena EQ (bukan IQ) dalam kehidupan modern saat ini dianggap lebih dapat memprediksi kesuksesan seseorang.

Pendidikan dan gizi

Pendidikan bagi anak-anak bangsa seyogianya tidak lagi berfokus pada peningkatan aspek kognitif semata. Ujian, kuis, atau menghafal informasi mungkin masih diperlukan, tetapi bukan lagi menjadi porsi yang utama. Kemajuan teknologi tidak menginginkan manusia-manusia penghafal informasi karena informasi kini bisa diakses dalam hitungan detik melalui internet.

Anak-anak yang semakin melek teknologi harus lebih diarahkan sehingga kegemarannya menggunakan komputer bukan sekadar untuk main gim.
Pendidikan karakter harus mulai ditekankan. Kejujuran, kedisiplinan, etos kerja keras, mau mengakui kelebihan orang lain, dan legawa menerima kekalahan merupakan dagangan langka di Republik ini. Bila tidak sejak dini anakanak kita diperkenalkan dengan karakter positif, bangsa ini akan terus berkubang dengan karakter negatif (ketidakjujuran, korupsi, hanya pandai mengkritik, dll) yang telanjur menjadi trademark bangsa Indonesia.

Karakter amoral yang telanjur melekat pada bangsa kita ialah ketidakjujuran. Indeks korupsi yang mencapai 9,27 menunjukkan bahwa negara kita hampir sempurna nilai korupsinya (10). Menurut data PERC (2010), Indonesia juga dinobatkan menjadi negara pelanggar HKI (hak kekayaan intelektual) tertinggi di Asia. Kita adalah bangsa besar dan mungkin termasuk bangsa religius, tapi mengapa moral bangsa ini sampai jatuh ke titik nadir yang terendah. Jawabnya ialah karena kita telah mengabaikan budi pekerti/akhlak sehingga praktik-praktik ibadah hanya sebatas di tempat ibadah dan tidak menjadi dasar tindakan kita di tempat kerja atau di tengah-tengah masyarakat.

Karakter buruk yang harus kita singkirkan dalam mendidik anak bangsa ialah manipulatif, arogan, defensif, dan agresif. Tawuran antarsiswa yang kini mulai merebak lagi ialah wujud agresivitas yang harus dikendalikan melalui pendidikan.

Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas SDM. Salah satu indikator yang menentukan kualitas gizi anak ialah tinggi badan mereka. Anak-anak dengan stature tinggi diketahui mempunyai kemampuan kognitif dan kemampuan membaca lebih baik daripada anak pendek. Lebih dari 36,1% anak usia prasekolah (Riskesdas, 2010) di Indonesia tergolong pendek sehingga akan berdampak negatif pada saat mereka memasuki usia sekolah. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran tersebut ditemukan baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Buruknya kualitas fisik anak-anak Indonesia bisa berimbas pada gangguan intelektualitas sehingga SDM kita di masa depan sesungguhnya dibangun oleh fondasi manusia yang rapuh dan mudah ambruk.

Kita dapat berkaca pada negara Jepang. Pada saat perekonomian negara itu semakin maju pada masa 1950 hingga 1970-an, tinggi badan anak-anak muda bertambah 1 cm setiap 10 tahun. Di tahuntahun yang akan datang, pertumbuhan fisik generasi muda Jepang akan semakin bertambah baik. Begitu juga halnya yang terjadi di China. Sejak adanya reformasi, kehidupan rakyat China semakin sejahtera yang berdampak pada kecepatan pertumbuhan tinggi badan anak-anak dan pemudanya.

Setelah kita merdeka sekian puluh tahun yang lalu, bangsa ini juga harus berbenah diri agar merdeka dari berbagai masalah gizi yang mengancam anak-anak dan generasi muda kita. Pemerintah harus menempatkan pembangunan SDM (gizi, kesehatan, dan pendidikan) pada prioritas tinggi. Kondisi sehat dan cukup gizi menjadi prasyarat penting untuk melahirkan SDM yang cerdas dan berkualitas.

Sumber daya alam yang melimpah dan sekarang kita miliki tidak akan banyak mendatangkan manfaat untuk meraih kesejahteraan bangsa apabila kualitas SDM-nya buruk. Untuk itu, program-program di bidang pendidikan harus bisa mengentaskan anak-anak Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Wajib belajar 9 tahun mungkin tidak lagi cukup dan harus ditingkatkan menjadi wajib belajar 12 tahun. 

Semoga kita bisa segera banting setir merumuskan grand design pendidikan yang tepat sehingga aset berupa jumlah penduduk yang mencapai 250 juta orang tidak menjadi beban pembangunan, tetapi menjadi modal dasar pembangunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar