Rabu, 22 Januari 2014

Pesantren dan Anas Urbaningrum

Pesantren dan Anas Urbaningrum

Ainna Amalia FN   ;   Pengurus LKK NU Jawa Timur,
Putri Kiai di Pondok Pesantren Miftahul Ula Nglawak, Kertosono
JAWA POS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


SEJARAH tidak bisa menafikan peran pesantren yang begitu besar bagi Indonesia. Baik di bidang pendidikan, sosial, politik, maupun budaya. Dimulai sejak zaman Hindia Belanda, zaman kemerdekaan, hingga sekarang. 

Tulisan Gus Sholah dalam opini Jawa Pos (15/1/2014) sudah memaparkan sumbangsih pesantren bagi Indonesia. Beliau juga menunjukkan, dengan jumlah yang besar, yaitu mencapai 28.000 pesantren dengan murid hingga 4 juta siswa yang berasal dari seluruh Nusantara, pesantren menjadi komunitas yang bernilai tawar tinggi.

Pesantren yang basis masyarakatnya riil menjadi ''makhluk'' paling seksi menjelang pemilu seperti sekarang. Pesantren menjadi kantong-kantong suara potensial yang bisa mendongkrak elektabilitas partai politik atau calon presiden dan calon legislatif. Kedudukan kiai pesantren yang memiliki otoritas tinggi dalam masyarakat menjadi magnet bagi parpol dan politisi untuk mendulang suara.

Namun, ironisnya, politisi pesantren saat ini belum memberikan peran signifikan dalam perbaikan sistem yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Mereka malah menampilkan kualitas berpolitik yang buruk. Mereka juga terseret arus liberalisasi politik yang mengakibatkan kehilangan identitas politiknya.

Nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, keikhlasan, dan keteladanan yang selama ini menjadi identitas pesantren menguap oleh hiruk pikuk sistem politik yang memuja kapital. Karena itu, cita-cita akan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian masyarakat semakin jauh.

Salah seorang produk pesantren yang orientasi politiknya bergeser adalah Anas Urbaningrum. Sosok Anas itu lahir dari keluarga kiai kampung. Kemudian, dia tumbuh di lingkungan pesantren salafiyah yang ketat dengan nilai agama. Namun, dalam perjalanannya, ternyata Anas tidak mampu membawa nilai-nilai pesantren yang telah ditanamkan secara kuat oleh keluarga ke dalam karir politiknya. Akhirnya, dia menyerah tak berdaya dalam pelukan sistem yang korup. Dia diduga terlibat kasus korupsi dalam 20 proyek!

Padahal, menurut sejarah, karakter politik pesantren sangat visioner, transformatif, reformatif, dan reflektif dengan semangat perjuangan serta pemihakan bagi kepentingan masyarakat. Sebagaimana ditulis Ahmad Baso dalam bukunya Pesantren Studies, Khitah Republik Kaum Santri dan Masa Depan Ilmu Politik Nusantara, politik pesantren yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengedepankan rasa optimisme dan selalu berpikir dan bertindak positif demi kepentingan rakyat.

Tidak hanya itu, gesekan pesantren dengan politik sesungguhnya terjadi sejak zaman kolonial. Institusi pesantren berada di garda terdepan menentang penetrasi kolonialisme. Kemudian, pada zaman kemerdekaan, politisi dari pesantren pun memperlihatkan karakter politiknya yang sangat cemerlang tanpa meninggalkan nilai-nilai pesantren. 

Karena itu, nilai-nilai pesantren sejatinya dapat menjadi landasan atau roh bagi pembenahan sistem bernegara yang dimulai dari penataan mental manusianya. Misalnya, pertama, al Akrom yang diambil dari ayat 'Inna akramakum 'inda Allahi atqaakum' (Al Hujuraat: 13). Bentuk individu yang ideal adalah yang memiliki kesalehan transendental. Politikus akrom dipersonifikasikan dengan niat baik penuh keikhlasan. Bertindak hanya karena Allah SWT, bukan semata-mata kepentingan pribadi atau golongan.

Kedua, al Sholih yang diambil dari ayat ''...anna al ardl yaritsuha ibadiya as shalihuun'' (Al Anbiya': 105). Individu dengan kesalihan horizontal memiliki kepekaan sosial yang tinggi, jujur, tawaduk (humbleness), sederhana, santun dalam bertutur dan bertindak, istiqamah, serta baik dalam bentuk kepatuhan terhadap aturan maupun ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban. 

Ketiga, al Uswah al Hasanah (keteladanan) yang dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka, demokratis, dapat menjadi role model bagi orang lain, serta siap memimpin sekaligus bersedia dipimpin.

Keempat, al Zuhd (tidak berorientasi pada materi). Individu dengan sifat zuhud tidak akan memiliki orientasi hidup yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sesuatu yang berupa materi hanya perantara untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni rida Allah SWT.

Keempat; al Kifah al Mudawamah (daya juang). Individu yang memiliki daya juang akan berani melakukan sesuatu demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan agama tanpa pamrih pribadi. Tidak takut dengan risiko yang akan dihadapi.

Kelima, al I'timad ala al Nafs (kemandirian), yakni individu yang menghindari ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, independensi sikap, prinsip, dan pandangan hidup tidak terkoyak oleh pihak lain.

Nilai-nilai pesantren tersebut bisa menjadi pegangan bagi tercapainya kehidupan bernegara yang adil dan sejahtera. Karena itu,
sebenarnya tersemat harapan besar bagi kalangan pesantren yang terjun ke dunia politik praktis. Terselip asa bahwa mereka dapat membawa misi pembenahan sistem demokrasi yang dinilai gagal. Namun, jika menjadi politisi dan akhirnya terjerembap seperti Anas, lebih baik kiai-kiai pesantren itu kembali ke barak. Mengurusi tanggung jawab moral mereka di pesantren yang juga tidak kalah berat. Sebab, jika gagal membawa nilai-nilai pesantren dalam kehidupan berpolitiknya, sama saja mereka menabur buih dan akan menuai gelombang. Hingga akhirnya akan menenggelamkan pesantren dalam peradaban sejarah. Na'uzubillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar