Pengajaran
Agama Interreligius
Achmad Munjid ; Dosen pada Center for Religious and
Cross-Cultural Studies
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS,
04 Januari 2014
Di Yogyakarta dan sejumlah kota kini kian banyak
bermunculan papan bertuliskan ”kos khusus Muslim”, ”kompleks perumahan
Muslim”, bahkan ”makam Muslim”. Fenomena itu bisa dibaca sebagai keengganan
jika bukan ketakutan sebagian orang menerima keragaman.
Jika dikontraskan dengan semboyan
resmi negara Bhinneka Tunggal Ika, perkembangan tersebut sekaligus merupakan
indikator bahwa kemampuan sosial melakukan navigasi dalam masyarakat yang
sejak awal dibentuk oleh pluralitas kini kian lumpuh. Muatan dan pendekatan pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum/negeri, menurut saya, turut memainkan peran
kunci dalam soal ini. Ia adalah salah satu penyebab penting mengentalnya
eksklusivisme sektarian tadi, tetapi sekaligus juga merupakan peluang
mengatasinya.
Tentu saja semua orang tahu bahwa
sejak awal kita hidup dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama.
Namun, tanpa ada norma bersama dan cara pandang yang positif mengenai
pluralitas, paling jauh kita hanya bisa punya toleransi
ogah-ogahan, lazy tolerance, dalam istilah Paul Knitter. Dalam kondisi
ekonomi dan politik yang stabil, mungkin itu tidak menjadi soal. Namun, dalam
situasi sulit, apalagi krisis, absennya norma bersama dan sikap yang positif
mengenai pluralitas tadi adalah ibarat ”rumput kering” yang gampang sekali
berubah menjadi kobaran konflik begitu ada percikan api.
Norma bersama dan sikap yang
positif mengenai pluralitas itu bisa dibentuk, menurut Michael Grimmit
(2006), jika keragaman dianggap identik dengan relasi saling melengkapi.
Pluralitas tidak semata-mata dipahami sebagai kenyataan yang membuat orang
”terpaksa” berdampingan, tetapi merupakan peluang untuk bekerja sama dan
saling memperkaya. Masyarakat yang plural secara agama bisa tegak jika
ditopang norma dan sikap yang juga pluralis. Untuk konteks setelah 1965,
muatan dan model pengajaran agama di sekolah umum/negeri sangat menentukan
hadir atau tidaknya norma bersama dan sikap positif tersebut.
Selain status pelajaran agama di
sekolah umum perlu diubah dari ”wajib” menjadi ”pilihan” seperti pernah saya
usulkan (Kompas, 26/3), pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius
juga perlu diubah menjadi multireligius dan interreligius. Selain telah
membuat orang ”buta” tentang agama lain, model pengajaran monoreligius
yang hanya mengajarkan agama sendiri cenderung membuat orang bersikap pasif
terhadap keragaman; jika bukan, malah menarik diri, seperti terlihat dari
kemunculan banyak kos, perumahan, dan makam Muslim itu.
Perlu segera diganti
Polemik tahunan di kalangan Muslim
tentang haram-tidaknya mengucapkan ”Selamat Natal” adalah contoh populer lain
yang mungkin akan kembali segera kita dengar. Oleh karena itu, jika kita
tidak ingin terjebak ke dalam kubangan persoalan yang lebih dalam, model
monoreligius ini perlu segera diganti.
Model-model mono-, multi-, dan
interreligius bukanlah kategori tingkatan di mana yang satu dengan sendirinya
lebih unggul ketimbang yang lain. Masing-masing bisa menjadi model yang
efektif menurut konteks yang berbeda. Model monoreligius, misalnya, adalah metode
yang efektif untuk tujuan internalisasi dalam rangka meningkatkan kualitas
iman, seperti yang dilakukan di pesantren atau seminari, di mana peserta
didik memang mempunyai latar belakang agama yang seragam.
Untuk menghindari kekhawatiran
yang berlebihan, model monoreligius ini masih bisa diterapkan untuk sekolah
umum, tetapi hanya di tingkat sekolah dasar.
Untuk sekolah menengah, model
multireligiuslah yang semestinya digunakan. Melalui model ini, siswa
berkesempatan mendapatkan pemahaman yang informatif-deskriptif tentang
beberapa agama di sekitarnya. Dengan demikian, sejak dini siswa belajar
mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap para penganut dan warisan tradisi
berbagai agama. Norma bersama dan sikap yang positif terhadap pluralitas
hanya bisa dibentuk melalui proses yang panjang, antara lain melalui model
pengajaran semacam ini.
Di perguruan tinggi umum model
yang paling efektif adalah interreligius. Jika model multireligius menekankan
pengajaran agama-agama yang bersifat deskriptif, informatif dan ”objektif”
tentang doktrin, ritual, dan sejarah agama tertentu, model interreligius
bergerak lebih jauh dengan menekankan aspek ”dialog”.
Meskipun telah berusaha seobyektif
mungkin, seorang Muslim yang mempelajari agama Kristen, misalnya, mustahil
bisa memahami agama itu sebagaimana yang dilakukan penganut Kristen. Memang
bukan itu tujuannya. Oleh karena itu, selain kemampuan memperoleh informasi
dan melakukan deskripsi berbagai agama secara memadai, dengan mempelajari
agama-agama tersebut, yang lebih penting mahasiswa belajar melatih kemampuan
melakukan dialog melalui proses dialektis berbicara dan mendengar, melihat
dan dilihat, dengan menggunakan berbagai perspektif secara kritis.
Seorang mahasiswa Muslim yang
mempelajari ”zaman kegelapan” Kristen Abad Pertengahan, misalnya, tidak
terutama bertujuan menemukan bukti-bukti realitas sejarah Kristen yang kelam
kemudian dikontraskan dengan wajah ideal Islam. Melainkan, untuk memahami
secara empiris bagaimana penggal sejarah itu terjadi dalam agama Kristen dan
apakah hal yang sama juga terjadi dalam kurun dan bentuk yang mungkin berbeda
dalam sejarah Islam dan mengapa. Begitu pula sebaliknya.
Banyak orang
terampil memilih yang riil dalam agama lain untuk dikontraskan dengan yang
ideal dalam agama sendiri. Namun, apa hasilnya selain saling curiga, salah
paham, dan kian berkobarnya rasa saling permusuhan?
Pemahaman kritis
Melalui proses dialog, seseorang
bisa mendapat pemahaman kritis yang lebih baik serta sikap dan tindakan yang
lebih tepat dan saling memperkaya dalam perjumpaan agama-agama. Dialog,
sebagaimana dikemukakan Leonard Swidler (1990), tentu akan ”mengubah”
pelakunya. Artinya, seseorang yang mempelajari agama lain—sebetulnya apa
saja—akan mendapat pengaruh yang kemudian mengubah persepsi, sikap, dan tindakannya.
Namun, jika dilihat secara
positif, mengikuti John Cobb (1999), perubahan itu justru mencerminkan
pemahaman yang lebih diperkaya dan tercerahkan, baik tentang agama
sendiri maupun agama orang lain sebab, sembari mempelajari ”yang lain”,
melalui dialog itu seseorang sebetulnya terus-menerus diajak merefleksi dan
mengenali kembali ”diri sendiri” lebih intensif dari sejumlah
perspektif.
Ini sekaligus menegaskan bahwa
studi dan pengajaran agama model interreligius, dan juga multireligius, tak
perlu menyeret orang kepada pendangkalan akidah atau relativisme agama,
sebagaimana kadang dikhawatirkan. Sebaliknya, studi dan pengajaran agama
model multireligius dan interreligius merupakan suatu metode yang efektif
membentuk norma bersama dan sikap yang positif terhadap pluralitas agama
sehingga perjumpaan agama bisa menjadi kesempatan saling memperkaya dan
bekerja sama, guna mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluk agama dalam
pergaulan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar