Mencegah
Politisasi BUMN Jelang Pemilu 2014
Agust Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta
|
SINAR
HARAPAN, 22 Januari 2014
Tak lama lagi pemilihan umum legislatif (pileg) digelar, 9
April 2004. Sistem yang diadopsi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ini tak
berbeda jauh dengan Pemilu 2009, yaitu sistem proporsional berbasis suara
terbanyak.
Sistem ini memaksa kompetisi dalam dua pemilu ini menjadi
liberal. Kompetisi dalam pemilu ini amat bebas menggunakan cara dan stategi
ekonomi politik. Kompetisinya bahkan tidak hanya antarpartai politik
(parpol), tetapi juga antarcalon anggota legislatif (caleg) dalam satu
parpol.
Akibatnya, pemilu ini berbiaya mahal dan boros. Hanya
parpol dan caleg cerdas dalam berkampanye ditambah sokongan amunisi dana
keuangan segar berlimpahlah yang dapat meraih kursi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Untuk meraup dana politik ini, terbuka kemungkinan parpol
dan caleg memanfaatkan dana-dana haram, salah satunya dari dana Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Itu guna pembiayaan kampanye pemilu.
Apalagi, jika para petinggi BUMN kerap berhubungan dengan
para komisaris BUMN yang biasanya dijabat elite parpol. Implikasinya, terjadi
saling berbagi keuntungan ekonomi politik yang berujung pada rente ekonomi
dan barter kepentingan politik.
Menjelang Pemilu 2014, penting bagi publik mencegah BUMN
tidak larut ke kepentingan politik dan melupakan hakikat BUMN yang berpihak
pada rakyat. Di titik ini, politisasi dana BUMN untuk pemilu menjadi haram
dan harus terus diawasi.
Pentingnya pengawasan mencegah BUMN tidak dipolitisasi
elite politik untuk kepentingan pendanaan pemilu karena dana BUMN relatif
banyak. Jika dimanfaatkan untuk subsidi pembangunan, dana itu jauh lebih
bermanfaat bagi publik.
Lihatlah faktanya, perputaran uang dari 141 BUMN pada 2012
saja sebanyak Rp 1.616,8 triliun. Laba yang diperoleh selama 2012 sebesar Rp
141,4 triliun. Kini, aset BUMN Rp 3.534,3 triliun. Namun, sepanjang
2011-2012, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah terjadi 24
kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp 4,9 triliun dan
US$ 305 juta.
Pada semester I 2013, BPK menemukan kasus korupsi dengan
potensi kerugian negara Rp 2,6 triliun.
Modus Penyimpangan
Berdasarkan laporan audit BPK, paling tidak sejumlah modus
penyimpangan penggunaan dana segar BUMN yang berpotensi korupsi, pertama,
pengucuran dana kredit kepada rakyat yang membutuhkan, tetapi kemudian
dianggap fiktif.
Kedua, penggunaan dana untuk Corporate Social
Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Ketiga, pendapatan fee dalam menjalankan proyek-proyek BUMN dengan rekanan
pengusaha hitam.
Ketiga modus ini amat mungkin terus dipraktikkan elite
BUMN dengan elite parpol dan caleg yang memiliki akses ke manajemen BUMN
untuk kepentingan pendanaan kampanye Pemilu 2014.
Kemungkinan yang marak terjadi adalah penggunaan dana BUMN
untuk CSR yang dioperasionalisasikan dalam kegiatan bantuan sosial (bansos)
kepada masyarakat, namun ditunganggi kepentingan kampanye parpol atau caleg.
Apalagi kenyataan sosial kita akhir-akhir ini, rakyat
banyak menderita akibat bencana, seperti banjir, gunung meletus, dan tanah
longsor. Saat ini, rakyat memang memerlukan uluran tangan untuk menopang
penderitaannya.
Dalam kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin parpol dan
para caleg memanfaatkan dana-dana BUMN untuk membantu rakyat. Penderitaan
rakyat menjadi lahan keuntungan politik bagi parpol dan caleg.
Kini saatnya dirancang model pengawasan BUMN yang efektif.
Jadi, BUMN akan lebih berhati-hati terlibat dalam Pemilu 2014. Model
pengawasan itu, di antaranya pertama, terus memantau pergerakan aliran dana
BUMN, apakah tersimpan dalam neraca keuangan negara atau mengalir ke
aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, mulai pengurus parpol, caleg, orang
dekat parpol, atau organisasi masyarakat (ormas) yang berafiliasi dengan
parpol dan caleg tertentu. Tugas berat ini mesti dilakukan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tanpa harus diminta.
Kedua, segera menerbitkan peraturan pembatasan transaksi
keuangan tunai maksimal Rp 100 juta. Lebih dari itu, transaksi harus
dilakukan dengan memanfaatkan jasa perbankan.
Dengan cara ini, para aktor politik, pejabat negara,
pengusaha hitam, ormas, dan individu akan berhati-hati dalam menggunakan
uangnya. Itu karena transaksi akan mudah dilacak dan diawasi. PPATK cukup
melacak lalu lintas transaksinya di bank-bank tempat transaki yang melebihi
batas minimal transaksi tunai.
Ketiga, pelaporan dana kampanye parpol dan caleg untuk
Pemilu 2014 melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota, baik sebelum masa kampanye maupun pascakampanye.
KPU perlu melibatkan auditor atau akuntan yang
profesional, tidak memihak, serta berani melacak dan mengungkap kebenaran
penggunaan dana kampanye, baik dalam bentuk barang, uang, maupun jasa.
Jika terjadi penyimpangana dan ketidakwajaran, KPU harus
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan lebih baik jika
KPU sejak awal bekerja sama dengan PPATK. Itu untuk melacak rekening sumber
pendapatan dan pengeluaran parpol maupun caleg dalam Pemilu 2014.
Hanya dengan cara inilah Pemilu 2014 dapat berlangsung transparan,
akuntabel, dan bersih dari upaya parpol dan caleg memanfaatkan dana-dana
BUMN. Dengan begitu pula, Pemilu 2014 dapat dikategorikan adil dan
demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar