Sabtu, 18 Januari 2014

KPK Harus Proaktif, Bukan Reaktif

KPK Harus Proaktif, Bukan Reaktif

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
MEDIA INDONESIA,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 merupakan lembaga antikorupsi yang diberi kewenangan ‘lebih’ jika dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan. Selaku penegak hukum, KPK harus proaktif, bukan reaktif dalam memberantas korupsi, termasuk korupsi proyek Hambalang dan Bank Century yang menjadi perhatian luas masyarakat.

Sikap reaktif bisa muncul karena ada fenomena menjelang Pemilu 2014 bahwa ‘gendang politik yang ditabuh politisi yang menjadi tersangka kasus korupsi dikhawatirkan bakal menjadi irama yang menggerakkan pemberantasan korupsi di negeri ini’ (Editorial, Media Indonesia, 13/1).

Setelah Anas Urbaningrum ditahan KPK pada Jumat (10/1) karena diduga menerima gratifikasi terkait dengan proyek Hambalang dan proyek-proyek lainnya, beritanya begitu menggaung. Itu menimbulkan kekhawatiran KPK akan terjebak dalam irama gendang yang ditabuh segelintir kalangan yang memungkinkan kasus Hambalang berbias arah ke ranah politis. KPK tidak boleh bereaksi berlebihan atas kritikan dan tanggapan itu. Dalam editorial malah disebutkan adanya tanda-tanda reaktif itu. 

Misalnya, `setelah Anas ditahan, KPK menyatakan terima kasih pada Anas sebagai tersangka yang sudah bersikap kooperatif, mau datang ke Gedung KPK tanpa harus dijemput paksa'. Bisa diduga, pernyataan itu sebagai jawaban atau reaksi balik atas ucapan terima kasih Anas kepada Ketua KPK Abraham Samad yang menandatangani surat penahanannya.

Halaman berikut?

Tentu sah-sah saja KPK mengucapkan terima kasih kepada tersangka korupsi karena kooperatif. Terima kasih KPK bisa disebut sebagai sinyal yang ingin menguatkan persepsi publik, terlebih calon tersangka korupsi, bahwa mengikuti proses hukum secara benar merupakan penghargaan terhadap konsep `negara hukum' seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Akan tetapi, apakah itu layak diungkap ke ruang publik seperti ditulis dalam editorial Media Indonesia?

Banyak lagi pertanyaan yang bisa muncul, antara lain apakah orang yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka bukan sebagai kewajiban hukum? Sebaiknya berbalas kata dalam proses hukum antara penyidik atau penuntut umum hanya boleh dalam pemeriksaan penyidikan, atau dalam pemeriksaan sidang pengadilan, bukan di ranah publik lantaran bisa disalahtafsirkan masyarakat. Jika diumbar sembarangan di ruang publik, itu malah bisa mengaburkan fakta hukum yang sudah ditemukan. Menanggapi secara reaktif pernyataan tersangka, pengacara, atau pengamat soal prosedur yang dijalani dikhawatirkan menggeser substansinya yang ujung-ujungnya memengaruhi pencarian alat bukti tambahan dalam penyidikan.

Kekhawatiran lain ialah saat ada pimpinan KPK yang menegaskan bahwa `pemeriksaan Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro (Ibas) sangat bergantung pada keterangan Anas'. Wajar jika pengacara Anas menyebut terbongkarnya dugaan keterlibatan Ibas bukan bergantung pada keterangan Anas, tapi penyidik KPK-lah yang seharusnya menggali dugaan tersebut (Tribuntimur.com,12/1). KPK harus menjawabnya dengan proaktif melalui penelusuran semua fakta yang mungkin membuka tabir Hambalang secara terang benderang.

Yang terungkap di ruang publik selama ini, dugaan keterlibatan Ibas diungkap mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis. Ia telah memberi kesaksian kepada penyidik KPK perihal uang US$200 ribu milik Grup Permai yang mengalir kepada Sekjen Partai Demokrat. Malah dalam berita acara pemeriksaan Yulianis selaku saksi bagi tersangka Anas, Yulianis juga menyebut pemberian dana itu saat menjawab pertanyaan penyidik soal kongres Partai Demokrat (Media Indonesia, 30/12).

Apakah itu salah satu yang dimaksud Anas sebagai `halaman berikut' atau ada halaman lain yang lebih heboh, seperti pernah diungkap saat ia menyatakan berhenti dari Ketua Umum Partai Demokrat? Jalan menuju pengadilan semakin dekat dan saatnya bagi Anas untuk membuka siapa pun yang terlibat. Anas bisa membuka semua yang diketahuinya, semua yang dilihat, didengar, dan apa yang dilakukan. Anas berpeluang untuk membuktikan dirinya tidak bersalah seperti yang selalu diucapkannya.

Konsistensi KPK

Kalau KPK hanya menunggu keterangan Anas, barulah memeriksa pihak lain yang juga disebut terkait, itu dipastikan akan menimbulkan persepsi ke liru bagi publik. Konsistensi dan ketegasan KPK mengungkap kebenaran materiil bukan tanpa makna. KPK harus menafikan pernyataan yang bernuansa politis, sebab dalam proses hukum tidak ada urusannya dengan kepentingan politik.

Tentu tidak dinafikan adanya nuansa politik dalam kasus ini karena selain mantan anggota DPR, Anas juga mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Maka itu, perang opini di ruang publik sebaiknya dihindari. KPK harus membangun kepercayaan publik bahwa kasus ini ditangani secara objektif dan tidak akan terpengaruh oleh intervensi dari luar. Jika pun ada efek politisnya, itu sesuatu yang wajar karena hampir semua kasus korupsi kakap dilakukan elite politik.

Berbagai pernyataan yang bernuansa politis disaring dan hanya yang terkait dengan pembuktian yang menjadi objek buruan KPK. KPK hanya akan bergerak di atas ranah hukum, kemudian membuktikan tuduhan-tuduhan yang bernuansa politis itu salah di depan sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). KPK tidak akan masuk ke ranah politik dan itu menjadi ujian yang kesekian kalinya bagi KPK yang selama ini selalu lulus. Menuntaskan kasus Hambalang merupakan pembuktian bahwa KPK tidak dipengaruhi kepentingan politik tertentu.

Siapa pun yang diduga terlibat harus dibuktikan di depan sidang pengadilan, apakah bersalah atau tidak. Konsekuensinya, KPK memberi kesempatan bagi Anas menjelaskan dan membuktikan dirinya tidak bersalah sesuai dengan yang disangkakan atau didakwakan. Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan ‘Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi’.

Jika bisa dibuktikan, yakni dirinya tidak melakukan korupsi, keterangan tersebut akan dipergunakan bagi terdakwa sebagai hal yang menguntungkan dirinya. Sebaliknya, terdakwa juga wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat 3 UU Nomor 31/1999). Proses itulah yang harus dikedepankan (baca: proaktif ) KPK dengan memberi kesempatan pembelaan bagi Anas agar terhindar dari tudingan ‘masuk angin’ oleh kepentingan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar