Ketika
Presiden ‘Memusuhi’ Rakyatnya
Derek Manangka ; Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
21 Januari 2014
Buku
'Selalu Ada Pilihan' yang terbilang karya master piece Presiden SBY, belum
lagi dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia. Buku ini, baru diluncurkan Jumat
17 Januari 2014 di Jakarta Convention Center.
Tapi
dari berbagai petikan yang di-'tag' oleh media sosial maupun media utama, isi
buku itu sepertinya sarat dengan ketidak-puasan Presiden SBY kepada sejumlah
tokoh pengeritiknya.
Buku
tersebut diluncurkan untuk sebuah pembelaan diri menghadapi berbagai serangan
yang terus mengalir ke arah Presiden SBY plus keluarganya. Kendati berisi
pembelaan, isinya bermuatan pesan yang kental dengan aroma permusuhan. SBY
memusuhi para pengeritik yang nota bene merupakan rakyat Indonesia, rakyatnya
sendiri.
Pertanyaan
relevan, patutkah SBY melakukannya? Pantaskah Presiden SBY ‘memusuhi’
rakyatnya sendiri?
Jelas
tidak. Karena sebagai pemimpin, SBY harus lebih luas cara berpikirnya.
Sebagai Presiden, SBY merupakan Presiden seluruh rakyat Indonesia. Tidak
boleh satupun rakyat Indonesia yang dia tempatkan sebagai musuh, apapun
alasannya. Semenjak disumpah sampai mengakhiri jabatannya sebagai Presiden,
SBY harus berpikir sebagai pelindung bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yang
terlupakan oleh SBY dengan sikapnya itu, ia secara sadar telah memanfaatkan
privilegenya sebagai Orang Nomor Satu di Indonesia. Pemanfaatan dalam kasus
seperti ini merupakan tindakan manipulatif.
Dalam
kapasitas sebagai Presiden, SBY memvonis, menyalahkan para pengeritiknya,
sementara mereka yang dikecamnya, tidak bisa melakukan hal serupa. Misalnya
dengan segera menerbitkan buku bantahan kemudian diluncurkan dalam sebuah
acara yang memerlukan biaya ratusan juta rupiah.
Dalam
buku itu, dikutip, SBY juga membela putera bungsunya Ibas. Sekjen DPP Partai
Demokrat ini, belakangan disebut-sebut menerima aliran dana US$200 ribu dari
proyek bermasalah, Hambalang. Ibas sudah membantahnya. Melalui sebuah
pernyataan resmi, Ibas telah melakukan pembelaan diri. Tapi pembelaan Ibas,
bagi SBY nampaknya belum cukup. Maka SBY tampil sebagai ayah.
Pembelaaan
seorang ayah terhadap anak, wajar. Tetapi pembelaan Presiden SBY kepada
puteranya yang belum disentuh oleh jejaring hukum, merupakan tindakan
preventif yang bisa ditafsirkan lain. Yaitu SBY mencoba mempengaruhi
penegakan hukum.
SBY
lupa, ketika Tommy Soeharto, putera bungsu mendiang Soeharto dituduh terlibat
dalam pembunuhan seorang Hakim Agung, Soeharto yang ketika itu sudah tidak
berkuasa namun masih punya pengaruh kuat di seluruh lini lembaga kekuasaan,
tidak melakukan apa-apa.
Bekas
penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, membiarkan proses hukum berjalan dan
Tommy pun akhirnya berujung di penjara Nusa Kembangan. Pesan moral dari
contoh Tommy Soeharto jelas. Pemimpin apakah itu masih memegang jabatan
(formal) atau sudah lengser (informal), harus taat hukum. Tak terkecuali SBY.
Dengan
SBY menulis pembelaannya kepada Ibas di buku tersebut sejatinya apa yang
dilakukan Presiden SBY merupakan sebuah usaha mempengaruhi lembaga anti
rasuah itu. Secara sadar SBY telah menggulirkan opini baru yang sekaligus
mengintervensi kewenangan KPK.
Semenjak
SBY terpilih sebagai Presiden di 2004, cukup banyak hal yang menarik tentang
dirinya yang dibukukan. Lewat buku-buku tersebut, citra SBY sebagai sosok
yang kapabel dan demokratis, berhasil dibentuk.
Artinya
dari segi normatif literatur, hampir semua sisi kehidupan SBY sudah ditulis.
Hanya saja buku-buku tersebut rata-rata hanya menulis sisi positif. Nyaris
tidak ada kritikan atau telaah yang lebih kritis tentang SBY plus keluarga
besarnya. SBY bagaikan gading yang tak ada retaknya. SBY seperti ingin
menjadi Presiden RI yang terbaik di antara lima pendahulunya.
Oleh
sebab itu buku 'Selalu Ada Pilihan', sesungguhnya bukan sebuah referensi yang
diperlukan. Penerbitannya bisa dibilang sebagai sebuah langkah mubazir atau
upaya yang telah melampaui ambang batas ketertarikan. Buku yang hanya
menonjolkan hal-hal positif dari diri seseorang, tidak beda dengan minuman
manis di dalam gelas. Sudah manis tapi masih diberi tambahan gula atau
pemanis lainnya. Hasilnya atau rasanya, akhirnya sudah tidak sedap lagi.
Lain
halnya kalau buku 'Selalu Ada Pilihan', mengungkap atau menjelaskan hal-hal
yang belum pernah ditulis. Misalnya jawabannya atas tudingan yang menyebut
SBY sudah pernah menikah dan punya dua anak, sebelum dia menikahi Ibu Negara
sekarang ini.
Oleh
sebab itu penerbitan buku kali ini semakin tidak relevan. Ditambah dengan sikap
SBY yang hanya bermaksud menjawab semua kritikan melalui buku, keputusan
Presiden kali ini semakin tak sesuai dengan apa yang diharap rakyat darinya.
Yang ditunggu rakyat dari SBY, hal yang konkrit, kinerja nyata yang hasilnya
bisa dirasakan. Bukan wacana-wacana melalui literatur.
Jika
Presiden SBY ingin menjawab semua kritikan, maka yang paling tepat, bila hal
itu dilakukannya setelah masa jabatan kepresidenannya berakhir 20 Oktober
2014. Sebab dari sisa jabatan sekitar 9 bulan ke depan, tidak ada jaminan,
Presiden SBY akan bebas dari berbagai kritikan. Bahkan bukan mustahil, sisa 9
bulan terakhir yang bakal banyak diisi oleh berbagai kegiatan politik,
kritik-kritik politik kepada SBY dan keluarganya, semakin intens, meraja lela
dan lebih tajam serta pedas.
Simak
saja tulisan seorang blogger bernama Vita Sinaga. Yang begitu berani, tanpa
tedeng aling-aling 'menguliti' Ibu Negara Ani Yudhoyono. Pujian sarkartis
Sinaga, muncul di saat buku 'Selalu Ada Pilihan' baru saja diluncurkan. Media
yang memuatnya pun bukan dari kelompok media 'abal-abal'. Tapi media warga
milik grup Kompas yakni "Kompasiana". Hal ini semakin menunjukkan,
yang pantas bersuara kecewa itu, justru rakyat Indonesia. Bukan sang
Presiden.
Nah
apakah lantas setiap kali ada kritikan, lalu SBY harus memanfaatkan waktu
luangnya untuk menulis? Atau apakah pekerjaan SBY dalam 9 bulan ke depan,
tinggal terfokus pada menulis dan menulis buku? Tentu saja tidak.
Berhubung
penerbitan buku sudah terlanjur dilakukan dan tak mungkin membatalkannya
lagi, mau tidak mau SBY harus bersiap diri menghadapi reaksi baru dari
masyarakat khususnya para pengeritiknya - sebagai reaksi atas penerbitan
'Selalu Ada Pilihan'.
Sebab
hampir dapat dipastikan, dengan kinerja Presiden SBY belakangan ini, termasuk
caranya menghadapi bencana alam nasional, siapapun akan terus memantau semua
gerik geriknya, sekaligus mencari titik lemahnya.
Adigium
yang ada saat ini seperti sedang bersuara: "Tiada Hari Tanpa Kritikan
Buat SBY". Atau 'Selalu Ada Cela', dalam diri Presiden SBY dan keluarga
Cikeasnya. Itulah yang mungkin akan dijadikan dasar para mengeritiknya untuk
terus melanjutkan sorotan mereka.
Ayo
Pak SBY, hentikanlah perputaran adrenalin rakyatmu sendiri. Buanglah sikap
yang merasa "selalu bisa" dan "selalu benar". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar