Kerukunan
Kita
Husein Ja’far Al Hadar ; Pengamat Masalah Agama
|
TEMPO.CO,
02 Januari 2014
Setiap 3
Januari, mulai 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkannya sebagai
Hari Kerukunan Nasional. Sebelumnya, mulai 2008, mengikuti UNESCO (PBB) yang
sudah memulai sejak 1995, pada setiap 16 November, Indonesia memperingati
Hari Internasional untuk Toleransi. Lalu, mengapa keberagamaan (bahkan
kebermazhaban) kita justru makin menjauh dari nilai-nilai kerukunan?
Berdasarkan catatan Setara Institute, selama periode Januari-November 2013, angka kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sangat tinggi. Berdasarkan pantauan terhadap 23 provinsi, tercatat ada 213 peristiwa dengan 243 tindakan pelanggaran dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pelarangan muslim Syiah dalam mengadakan peringatan Asyura (mengenang syahidnya Sayyidina Husain, cucu Nabi Muhammad) di pengujung 2013 lalu, yang sebenarnya memiliki ikatan kuat dengan kultur Islam Indonesia, merupakan salah satu indikator penting mengenai akutnya sentimen antarmazhab di Indonesia pada akhir-akhir ini. Berkaitan dengan itu, menurut penulis, kuncinya sebenarnya terletak pada ketegasan pemerintah dalam merespons semua fenomena kekerasan antar-agama maupun intra-agama, seperti yang diperlihatkan Jokowi-Ahok dalam kasus Lurah Susan. Pemerintah patut secara serius memformulasi upaya penyelesaian konflik berlandaskan perbedaan agama dan keyakinan itu secara komprehensif, utuh, dan mendalam untuk kemudian diimplementasikan secara berani, tegas, dan mengikat. Bukan hanya terjebak pada simbolisasi hari atau penghargaan kerukunan semata, sebagaimana seorang sufi yang tak mau hanya terjebak dalam simbolisasi ritual agama semata, melainkan masuk ke relung-relung spiritualitas agama yang justru menjadi inti dari pesan setiap agama yang sebenarnya universal. Sebab, seperti kita tahu, 2014 adalah tahun politik. Dengan demikian, yang patut diwaspadai dan dijaga adalah agar perbedaan agama dan keyakinan tak menjadi komoditas politik para politikus yang sedang berkompetisi pada 2014, yang sering kali menghalalkan segala cara. Termasuk mempermainkan isu sentimen agama, mengingat agama selalu menjadi isu yang menggiurkan dan efektif untuk dipermainkan demi hasrat politik rendahan. Pasalnya, mengacu pada klasifikasi William James dalam karyanya, The Varieties of Religious Experience, keberagamaan masyarakat kita masih cenderung belum dewasa; eksklusif, sentimental, dan fanatik. Ini suatu tipe keberagamaan orang sakit jiwa (the sick soul). Mereka masih sulit menerima perbedaan secara terbuka, toleran, dan legawa sebagai sunnatullah yang justru bisa dikelola menjadi rahmat. Jadi, mereka masih dengan begitu mudah diprovokasi menuju chaos. Ini dimulai dengan merebaknya kalangan takfiri (kelompok yang memonopoli kebenaran dan mengkafirkan selain mereka) di Indonesia. Hal tersebut menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, pada 2014 dan tahun-tahun berikutnya (mengingat menyembuhkannya memang tak mudah dan tak singkat), tantangan bagi kita semua (khususnya pemerintah) adalah menggiring keberagamaan masyarakat kita menuju tipe keberagamaan yang sehat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar