Jumat, 24 Januari 2014

Jakarta Butuh Jokowi

Jakarta Butuh Jokowi

Ali Murtadlo   ;    Pemerhati Jokowi 
JAWA POS,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KEANDALAN Jokowi sebagai pemimpin Jakarta mendapat ujian berat. Ibu kota dilanda banjir besar. Jika sebelumnya selalu lolos dengan ujian-ujian ''kecil'', kali ini Jokowi benar-benar kewalahan mengatasi bencana alam tahunan tersebut. Banjir di mana-mana dan korban tak terhindarkan.

Ketika musim hujan datang, semua menunggu dengan harap-harap cemas, apakah tangan midas Jokowi kembali sakti sebagaimana sebelumnya yang dinilai sukses menangani Waduk Pluit dan Ria Rio, PKL Tanah Abang, serta keberaniannya memulai MRT (mass rapid transportation). Hasilnya? Jakarta masih banjir. Masih besar. Masih di mana-mana. Dan masih membawa korban. 

Tentu tidak fair menyerang mantan wali Kota Solo yang baru setahun menjabat gubernur itu. Tentu belum cukup waktu bagi Jokowi untuk menjadikan Jakarta bebas banjir dan bebas macet.

Masalahnya: pada 2014 ini ada pilpres dan Jokowi didorong-dorong untuk nyapres. Kalau tetap memimpin Jakarta, pasti Jokowi akan menuntaskan dua masalah besar tersebut. Jokowi pasti akan menyelesaikan challenges yang selalu gagal diselesaikan pemimpin sebelumnya. Jokowi yang kini seperti mendapat restu dari warganya untuk melakukan apa saja demi kebaikan Jakarta tentu lebih gampang menyelesaikan masalah banjir dengan modal sosialnya yang begitu tinggi.

Nilai plus lain jika Jokowi tetap di DKI, Jakarta merupakan sekolah tertinggi bagi dia untuk kelak memimpin negeri. Masalah yang begitu kompleks di ibu kota, kalau nanti bisa diatasi, akan menjadi ijazah bagi Jokowi untuk memimpin Indonesia. Apalagi gubernur berbadan kurus yang gemar blusukan itu masih berusia muda, 53 tahun. Lima tahun lagi, setelah lulus dari Jakarta, merupakan usia kematangan yang sangat baik untuk memimpin negeri ini.

Bagaimana dengan Jokowi? Kalau menyimak janjinya, bapak tiga anak tersebut akan meyelesaikan lima tahun jabatannya. Janji itu diucapkan Jokowi di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 20 September 2012. ''Saya tidak mau menjadi kutu loncat,'' tegasnya kepada awak media pada jumpa pers.

Janji mengatasi banjir dan kemacetan saat kampanye? Tentu dibuatnya. Sebab, dia pun sadar, itulah sesungguhnya masalah terbesar ibu kota. Inilah janjinya, ''Kami mengatasi banjir dengan melakukan pembangunan embung/folder untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan kelurahan. Mengintegrasikan seluruh saluran drainase agar terkoneksi dengan kanal-kanal pembuangan air. Melanjutkan program Kanal Banjir Timur serta pembangunan tanggul di setiap kecamatan'' (Berita Satu.com).

Tentu tidak gampang bagi Jokowi untuk tetap terus memimpin Jakarta. Orang-orang sekelilingnya, partainya, para fansnya, pasti banyak yang merayu bahkan mendesaknya untuk menjadi RI-1. Apalagi hampir semua survei yang dimuat media menunjukkan bahwa Jokowi selalu meraih peringkat pertama, baik di tingkat popularitas maupun elektabilitas. Jauh meninggalkan peringkat bawahnya.

Apa salahnya Jokowi nyapres? Tidak ada salahnya. Baik-baik saja. Hanya, masalahnya, Jakarta akan ditinggal pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya. Tidak gampang ibu kota bisa memiliki tokoh yang memiliki social capital begitu tinggi. 

Nah, Jokowi hampir selalu bisa mengatasi masalah yang berhubungan dengan warganya itu. Betapa sayangnya jika pemimpin pujaan hati tersebut meninggalkan warganya ketika masa jabatannya baru dijalani setahun. 

Meski ''baru'' gubernur, Jokowi sudah memikat hati para duta besar yang penasaran terhadap cara dia bisa ''menjinakkan'' warga Pluit dan Tanah Abang yang mau digusur. Dibawalah para wakil asing itu ke lokasi. Mereka pun menganggut-anggut kagum.

Jadi, belum menjadi presiden pun, Jokowi sudah ''melebihi'' presiden. Itulah yang semestinya dia pakai untuk membuat Jakarta menjadi ibu kota berkategori world class, baik kebersihan, kenyamanan, keamanan, transportasi, fasilitas, hiburan, maupun exhibition-nya.

Kalau akhirnya tetap menjadi capres? Ya tentu tidak apa-apa juga. Itu hak pribadi dia. Pasti sudah dipikirkan baik buruknya, plus minusnya. Temptation mumpung lagi ngetop memang sangat menggoda. Tapi, sesungguhnya, alangkah elok dan gentleman-nya kalau dia menjawab tantangan Jakarta dulu sebelum tantangan yang lebih besar: Indonesia yang berpotensi superbesar ini. Meninggalkan Jakarta di tengah kebanjiran maupun kemacetan pasti dinilai sebagai colong playu yang tentu sangat tabu bagi pria Solo itu. Tapi, tentu kita tahu, semua berada di tangan dan hati Jokowi. Dialah yang paling mengerti apa yang terbaik bagi diri dan negerinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar