Islam dan Liberalisme di Indonesia Pasca-1965
Amin Mudzakkir ; Peneliti PSDR-LIPI
|
INDOPROGRESS,
24 Januari 2014
PEMBUNUHAN
massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama
tahun 1965-1966, adalah titik balik dalam sejarah Indonesia kontemporer.
Sejak itu liberalisme – yang pada masa akhir kekuasaan Presiden Sukarno
dikecam oleh banyak kalangan karena dituduh membuat pemerintahan berjalan
tidak efektif – berkembang mengikuti konsolidasi pemerintahan Orde Baru di
bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Pada tataran politik terdapat perdebatan
tentang apakah Orde Baru adalah rezim liberal atau bukan, tetapi cukup pasti
kebijakan ekonomi Indonesia pasca-1965 sangat terbuka bagi masuknya investasi
dan modal asing, lalu belakangan semakin menerima paham pasar bebas.
Di luar
arena pemerintahan, orientasi liberal yang tumbuh di Indonesia pasca-1965
ternyata mempunyai resonansi pada, jika bukan justru difasilitasi oleh,
pemikiran kebudayaan. Mengenai hal ini, Wijaya Herlambang telah membahasnya
dengan menunjukan kontak-kontak yang intensif antara beberapa pegiat
kebudayaan liberal – di Indonesia dikenal sebagai kalangan ‘humanisme
universal – dan para sejawatnya di Barat. Melalui kontak-kontak ini
disalurkan berbagai ide, skema, dan dana untuk mendukung program-program
kebudayaan yang mengukuhkan keberadaan paham liberal dalam arena kebudayaan
Indonesia kontemporer.
Makalah
pendek ini ingin menunjukkan bahwa peristiwa 1965 dapat dibaca juga sebagai
pembuka jalan bagi perkembangan ‘Islam liberal’ di Indonesia. Dalam hal ini
jarang disadari bahwa munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam sedikit
banyak difasilitasi oleh hilangnya diskursus komunisme, atau ‘kiri’ dalam
pengertian yang lebih luas, di Indonesia pasca-1965. Secara genealogis,
selain mengacu pada khazanah gerakan politik dan intelektual di dunia
internasional, paham Islam liberal tumbuh dan berkembang di atas reruntuhan
pemikiran kiri di dalam negeri sendiri.
Dengan menekankan argumen ‘kebebasan’
(liberty), para pemikir Islam liberal Indonesia mengarahkan kritiknya
terhadap pemahaman keagamaan umat Islam yang dinilai ketinggalan zaman.
Seirama dengan gagasan kalangan ‘humanisme universal’, para pembaharu Islam
mengajak umat untuk bangun dari tidur dogmatisnya, lalu mengarahkan mereka
menuju kemoderenan melalui jalan sekularisasi. Gagasan ini memang cukup
berbobot karena didukung oleh interpretasi yang mendalam atas teks-teks
keagamaan Islam sendiri, tetapi kurang kritis terhadap realitas sejarah yang
membentuknya.
‘Islam Yes, Partai Islam No!’
Pada
masa awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru sangat membatasi ruang gerak
aktivis Islam dalam politik. Melalui Operasi Khusus yang dipimpin jenderal
Ali Moertopo, pemerintah berusaha membangun kesan bahwa Islam politik adalah
ancaman. Diperlakukan kurang lebih sama seperti orang komunis, para aktivis
Islam politik yang sebagian besar adalah alumni gerakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII), yang bertransformasi menjadi Negara Islam Indonesia
(NII), dituduh berada di balik beberapa kasus kekerasan dan teror selama
periode ini, seperti kasus pembajakan pesawat Woyla dan Komando Jihad. Meski
demikian, beberapa penelitian berusaha membuktikan adanya campur tangan dan
peranan Ali Moertopo (aksi kontra-intelejen) dalam gerakan-gerakan Islam
politik tersebut.
Islam
politik adalah paham yang menganggap bahwa Islam melingkupi agama dan negara
sekaligus, tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, menurut para pendukungnya,
negara Islam adalah keharusan karena hanya dalam bentuk itulah keberadaan
Islam yang menyeluruh (kaffah) bisa ditegakkan. Meski demikian, Islam politik
harus kita perlakukan sebagai fenomena modern. Dengan mengambil inspirasi
dari gerakan politik dan intelektual di Timur Tengah, pada pendukung Islam
politik pada dasarnya hendak mencari tempat bagi ajaran Islam dalam kerangka
negara bangsa atau tata internasional modern. Meski demikian, kalangan ini
meliputi spektrum yang luas. Sementara sebagian mengambil jalan radikal,
sebagian lainnya lebih memilih menempuh jalur demokrasi formal yang berlaku
di negaranya masing-masing. Dalam perkembangan kontemporer, aktivitas Islam
politik—yang oleh para pengamat sering juga disebut ‘Islamisme’—ternyata
mampu bersekutu dengan neoliberalisme, seperti diperlihatkan oleh AKP, partai
berkuasa di Turki yang dipimpin oleh
Tayyip Erdogan.
Di
Indonesia, penolakan dan penyingkiran Islam politik berasal tidak hanya dari
penguasa nasionalis (Orde Lama) dan militeristis (Orde Baru) saja, tetapi
juga dari kalangan internal Muslim sendiri. Beberapa pemikir Islam baik dari
kalangan modernis maupun tradisionalis mengampanyekan gagasan bahwa Islam
adalah agama yang pada dasarnya tidak pernah memberi rumusan pasti mengenai
bentuk politik kenegaraan. Mereke menekankan karakter lokal yang membedakan
‘Islam Indonesia’ dan Islam di tempat lain, khususnya Islam di Arab sebagai
tanah kelahirannya. Meski demikian, hingga akhir 1950-an, gagasan Islam
politik masih mempunyai ruang gerak, yaitu di arena Konstituante yang oleh
Pemilu 1955 ditugaskan merumuskan dasar negara. Namun Dekrit Presiden Sukarno
pada 1959 pada satu sisi dan operasi penumpasan DI/TII serta PRII pada sisi
yang lain mengakhiri ruang gerak tersebut. Sejak itu Islam politik menjadi
gagasan yang dihindari dalam diskursus publik di Indonesia.
Di
antara pemikir yang paling awal memunculkan wacana ‘Islam liberal’ di
Indonesia adalah Nurcholish Madjid. Lahir dari keluarga dengan latar belakang
pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, Madjid dibesarkan dalam iklim
pesantren modern di Gontor, Ponorogo. Sembari melanjutkan pendidikan di IAIN
Ciputat, Madjid aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga
mencapai jabatan ketua umum tingkat nasional. Pada awal tahun 1970-an, Madjid
telah tampil sebagai sosok intelektual muda Islam paling menjanjikan,
sehingga sempat disebut sebagai Natsir muda. Perlu diketahui M. Natsir adalah
pemimpin Masyumi terhormat, yang kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII), yang dikenal sangat kritis terhadap Barat dan pemerintahan
yang berhaluan nasionalis sekuler.
Akan
tetapi, harapan terhadap Madjid sebagai Natsir Muda dalam perkembangannya
sirna. Pada tahun 1971, di hadapan para aktivis muda Islam, Madjid berpidato
tentang Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Dalam pidato inilah muncul sebuah jargon yang kemudian menjadi sangat
populer, yaitu ‘Islam yes, partai Islam
no!.’ Secara umum pidato ini
merupakan kritik atas gagasan negara dan partai Islam. Menurut Madjid, Islam
lebih daripada sekadar negara dan apalagi partai politik. Lebih tepatnya,
Islam sebagaimana dipahami oleh Madjid melalui pembacaannya atas teks-teks
keagamaan tidak pernah secara tegas menentukan bentuk negara apa, sebab hal
seperti itu adalah urusan duniawi belaka. Dengan ini Madjid mengajak umat
Islam Indonesia menempuh jalan liberal, yang terdiri dari sekularisasi,
kebebasan berpikir, dan sikap terbuka, agar maju dan menjadi bagian dari
peradaban modern.
Nostalgia
atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan
dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses yang untuk
mudahnya kita namakan proses liberalisasi. Proses ini dikenakan terhadap
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini
menyangkut proses-proses lainnya…
Jadi
dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah
kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam
dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya…
Dalam
hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali
lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara
nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang
masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya…
Dan
bahwa sikap terbuka adalah tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk
dari pada Allah, sedangkan sikap tertutup sehingga berdada sempit dan sesak
bagaikan orang yang beranjak ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!
Pidato
Madjid sangat menohok para politisi Muslim yang ketika itu sedang berusaha
menggalang adanya partai politik berbasis Islam. Dengan reputasi yang dimilikinya,
pandangan Madjid berkembang cukup luas, terutama di kalangan anak muda Muslim
yang mulai merambah dunia modern melalui jalur pendidikan dan birokrasi di
perkotaan. Di sisi lain, pidato tersebut justru menguntungkan pihak
pemerintah yang sedang mereorganisasi partai politik ke dalam skema yang
lebih sederhana. Partai-partai Islam yang masih terlibat pada Pemilu 1971
digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1977.
Dibanding pencapaian suara partai-partai Islam pada Pemilu 1971, suara PPP pada 1977 anjlok drastis.
Di luar
gelanggang politik formal, Islamisasi justru berlangsung secara massif dan
intensif. Khususnya di daerah yang dulunya pernah menjadi basis PKI seperti
beberapa daerah di Jawa Timur, pertumbuhan angka pemeluk Islam meningkat
signifikan. Pada tataran yang lebih luas, berkat keberhasilan pembangunan di
bidang pendidikan dan perekonomian pada umumnya, tumbuh apa yang disebut
‘kelas menengah Muslim.’ Oleh karena itu, sejak akhir 1980-an, selain
merupakan akibat dari perubahan faksional dalam tubuh rezim Orde Baru
sendiri, pemerintah yang awalnya anti-Islam politik mulai mengubah orientasi
kebijakannya. Secara perlahan aspirasi umat Islam didengar dan diakomodasi,
seperti tercermin pada kasus penggunaan jilbab di sekolah umum padahal
sebelumnya dilarang. Pada awal 1990-an muncul istilah ‘ijo royo-royo’ yang
mengacu pada fenomena masuknya pengaruh Islam, paling tidak secara simbolis,
yang semakin kuat di pemerintahan dan bahkan militer.
Melihat
kenyataan tersebut, agenda liberalisasi Islam Nurcholish Madjid yang dimulai
sejak pidato pada tahun 1971 menampakkan hasilnya. Keberhasilan ini diperkuat
oleh program pembaharuan pendidikan tinggi Islam di bawah pengaruh Harun
Nasution dan Munawir Sadzali. Melalui kepemimpinan intelektual dan birokrat
terkemuka ini, IAIN berkembang menjadi pusat studi Islam dengan orientasi
liberal yang kuat. Para santri yang belajar di IAIN-IAIN di seluruh Indonesia
diperkenalkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat, selain disiplin
tradisional Islam, kemudian lulus sebagai sarjana yang segera mengisi
berbagai lowongan pekerjaan di pemerintahan dan swasta. Mereka adalah lapis
sosial baru yang membentuk identitas ‘kelas menengah Muslim’ sebagaimana
disinggung di atas.
Akan
tetapi, sulit menghindari kesan bahwa secara langsung atau tidak langsung
keberhasilan liberalisasi Islam di Indonesia pasca-1965 merupakan bagian dari
kepentingan rezim penguasa. Bersama dengan paradigma modernisasi yang
berkembang di lapangan ilmu sosial humaniora, paham Islam liberal
menyumbangkan dasar-dasar bagi pembentukan umat Islam Indonesia yang siap
terjun dalam pembangunan. Pada skala yang lebih luas, kita bisa menarik
kesesuaian dengan laju kapitalisme global. Batas antara liberalisasi yang
diperkenalkan oleh Madjid dan para sejawatnya dengan proses pengintegrasian
Indonesia ke dalam pusaran globalisasi yang secara ekonomi politik bermuara
pada pasar bebas sangat tipis.
Oleh
karena itu, di hadapan proses pembangunan yang kapitalistik, proponen Islam
liberal terlihat kehilangan daya kritisnya. Dengan jargon ‘Islam yes, partai
Islam no!’ umat Islam secara politik dimoderasi sedemikian rupa sehingga
menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. Alih-alih
diperdebatkan secara rasional, penerimaan tersebut justru dilegitimasi oleh
argumen-argumen teologis. Umat Islam diyakinkan bahwa negara Pancasila adalah
sahih secara keagamaan. Pemimpin Nahdlatul Ulama yang juga berorientasi
liberal, Abdurrahman Wahid, membantu menyebarluaskan dan memastikan pandangan
ini di kalangan Muslim tradisionalis.
Sementara itu, program revolusi hijau
pada tahun 1970-an yang menyebabkan marginalisasi para petani tuna tanah,
yang mayoritas adalah Muslim, luput dari perhatian. Persoalan pertanian dan
ekonomi pada umumnya seperti menempati orbit yang di luar jangkauan pemikiran
dan gerakan Islam liberal.
Memang,
dalam beberapa kesempatan, timbul ketegangan antara beberapa tokoh Islam
liberal dengan pemerintah. Di antara yang paling lantang adalah Abdurrahman
Wahid. Bertolak belakang dengan rekan-rekannya, termasuk Nurchalish Madjid,
Wahid menolak bergabung dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
yang disponsori Soeharto. Bersama dengan eksponen liberal lainnya, dia
bergabung dalam Fordem (Forum Demokrasi) yang sangat kritis terhadap rezim
yang dinilai semakin korup. Akan tetapi, keberatan utama kalangan liberal,
termasuk sayap Islamnya, adalah sikap pemerintah yang semakin represif
terhadap kebebasan berbicara dan berkumpul, sementara pada saat yang sama
justru membuka peluang kepada kelompok konservatif-sektarian untuk
berkembang.
Perkembangan Pasca-Orde Baru
Hubungan
antara Islam liberal dan negara mengalami gangguan seiring dengan keretakan
dan kemudian kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Sejak itu berbagai
gejala yang dikhawatirkan oleh kalangan Islan liberal, yaitu kembalinya Islam
politik dalam bentuknya yang paling radikal, mengemuka seiring dengan
meletusnya konflik sosial di beberapa daerah. Dalam konflik di Ambon dan
Poso, misalnya, muncul kelompok-kelompok garis keras seperti Laskar Jihad
yang secara terbuka menggunakan simbol-simbol Islam dalam peperangan. Di
perkotaan, berdiri Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi serupa
dengan corak simbolis yang kurang lebih sama. Sementara itu, seiring dengan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, lahir juga berbagai peraturan
daerah ‘syariah’ yang menimbulkan kesan orang Islam sebagai mayoritas
memperoleh hak keistimewaan kewarganegaraan tertentu dibanding orang
non-Islam sebagai minoritas.
Menanggapi
perkembangan pasca-Orde Baru tersebut, sekelompok pemikir dan aktivis Muslim
di Jakarta membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan dukungan salah
satunya dari Goenawan Mohamad, kelompok yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta,
itu rajin mengadakan berbagai kegiatan dengan tujuan utamanya menantang
kembalinya Islam politik dalam panggung demokrasi. Mereka juga aktif
berdiskusi di mailing list dan menulis di koran-koran jaringan Jawa Pos.
Pegiat utamanya rata-rata alumni pesantren dan universitas Islam yang mempunyai
kemampuan menulis dan berbicara yang sangat artikulatif, sehingga dengan
cepat gagasan mereka menjadi bahan perdebatan di masyarakat luas.
Kehadiran
JIL bersamaan waktunya dengan situasi global yang sedang berubah. Terutama
sejak tragedi 9/11 di AS, dunia dihadapkan pada persoalan terorisme. Islam
politik kemudian disangkutpautkan dengan mudah dalam perkara ini. Individu
atau gerakan yang menggunakan simbol Islam dalam kegiatan publik dicurigai
lalu dibatasi ruang geraknya. Lebih daripada masa-masa sebelumnya, distingsi
antara Islam politik dan Islam liberal menguat. Di antara keduanya terdapat
tembok besar yang berhubungan dengan isu keamanan nasional. Dalam diskursus
akademis tentang Islam di Barat, distingsi tersebut membentuk dikotomi moral:
antara Islam politik yang ‘buruk’ dan Islam liberal yang ‘baik.’ Konstruksi
seperti ini mempunyai resonansi yang sungguh luas, dan Indonesia sama sekali
tidak terkecuali.
Salah
satu tokoh JIL adalah Ulil Abshar Abdalla. Dibesarkan di lingkungan pesantren
NU yang kuat, Abdalla menempuh pendidikan tinggi di LIPIA, Jakarta. Dia juga
sempat sekolah di Universitas Boston dan Universitas Harvard, AS. Seperti
Madjid, Abdalla mengkhawatirkan pemahaman Islam Indonesia yang dinilainya
terlalu menekankan ‘syariat’ tetapi semakin menjauh dari apa yang
dipandangnya sebagai ‘hakikat’ Islam itu sendiri. Dengan kombinasi antara
argumen teologis dan filosofis, dia meyakinkan pembacanya bahwa Islam adalah
bagian dari sejarah yang penuh dengan kepentingan, tetapi sekaligus dengan itu
ditekankan bahwa peranan akal manusia menjadi penting dan bahkan sentral.
Di
antara pemikiran Abdalla yang paling mengundang kontroversi bersumber dari
tulisan pendeknya di Kompas, 19 November 2001, yang berjudul ‘Menyegarkan
Kembali Pamahaman Islam.’ Dengan lugas Abdalla menyebut bahwa Islam adalah
‘organisme,’ yaitu “sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad
ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai ‘patung’ indah yang tak boleh disentuh
tangan sejarah”. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa:
‘Menurut
saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami
kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli,
pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip
umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.’
Upaya
menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam
dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan
cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan
sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan
dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Asumsi
yang mendasari pemikiran Ulil Abshar Abdalla tidak jauh berbeda dengan
Nurcholish Madjid. Keduanya berpikir bahwa problem umat Islam terutama
terletak pada pemahaman mereka sendiri terhadap agamanya. Untuk mengatasinya
mereka mengajak umat untuk berpikir bebas dan terbuka terhadap pengetahuan
dari mana saja. Abdalla berpendapat bahwa ‘… setiap nilai kebaikan, di mana
pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah
dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang
bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan
kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada
dalam filsafat Marxisme.’
Masalahnya
para pemikir tersebut kurang peka dengan realitas struktural yang membelit
umat Islam Indonesia. Dalam konteks pasca-Orde Baru, demokrasi liberal dan
ekonomi pasar adalah ideologi-ideologi dominan yang seharusnya dibaca secara
kritis. Kembalinya Islam politik tidak lepas dari adanya peluang eksternal
dan mobilitas internal yang disediakan oleh ideologi-ideologi tersebut.
Gejala sektarianisme dan fundamentalisme bukan melulu merupakan cerminan dari
kegagalan kaum beragama dalam mengikuti perubahan zaman, tetapi justru
merupakan bagian dari zaman itu sendiri.
Sebagai
penutup, tulisan pendek ini ingin menegaskan kembali bahwa liberalisasi Islam
di Indonesia dimungkinkan terjadi oleh adanya peristiwa 1965. Penyingkiran
terhadap kekuatan Islam politik non-liberal dilakukan secara beriringan
dengan penumpasan pemikiran dan kekuatan kiri sejak periode itu. Memang
belakangan aspirasi Islam politik kembali bangkit, tetapi itu merupakan
cerminan dari perubahan politik dan ekonomi yang menopang keberlanjutan rezim
penguasa yang selama ini ikut juga memfasilitasi perkembangan Islam liberal.
Di luar kompleksitas yang dibahas sepintas dalam tulisan ini tentu saja masih
terdapat banyak elemen-elemen teoritis dan empiris lainnya yang masih
menunggu kajian lebih lanjut.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar