Jumat, 24 Januari 2014

Hilangnya Keadaban Politik

Hilangnya Keadaban Politik

Ali Rif’an   ;    Peneliti Pol-Tracking Institute dan Mahasiswa Pascasarjana UI 
SINAR HARAPAN,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                          
                                                      
Kehidupan politik kita hari-hari ini semakin jauh dari keadaban. Janji reformasi telah dikhianati. Keadilan dan kesejahteraan sebagai cita-cita agung para pendiri bangsa juga diselewengan.

Demokrasi menjadi semakin anomali, sementara politik kian sakit. Pertarungan politik saat ini bukan lagi pertarungan gagasan, melainkan pertarungan citra.

Politik bukan lagi medan perjuangan, melainkan profesi. Selain mendatangkan kegaduhan luar biasa, politik hari ini mendatangkan bencana yang tak terkira. Bencana korupsi, bencana penyalahgunaan kekuasaan, bencana dinasti politik, bencana keserakahan, dan seterusnya. Tentu bukan politiknya yang salah, melainkan aktor di dalamnya.

Kini, politikus kita justru lebih banyak yang terjebak pada apa yang disebut seduksi politik. Kecenderungan politik abad virtualitas yang bertumpu pada permainan murni penampakan, artifisialitas, imagologi, dan mimikri (mimicry) sebagai cara untuk 
survive di abad informasi. Politik seduksi ini juga disebut “politik rayuan” yang oleh Jean Baudrillard dalam Seduction sarat strategi penampakan (Piliang, 2005: 392).
Politik seduksi adalah dunia politik yang dibangun oleh permainan citra. Wajah-wajah politikus sebagai perayu, ditampilkan dengan berbagai tampilan mimikri dalam rangka menimbulkan efek-efek pesona.

Tak heran jika politikus—khususnya menjelang Pemilu 2014—lebih sibuk mengurus “gincu” daripada menyusun gagasan segar untuk bangsa ini. Mereka lebih sibuk membuat tim pemenangan, mengurus dana kampanye, dan iklan politik, ketimbang melakukan “diagnosis” atas segala problem kebangsaan yang ada.

Memang, orang sering menyebut modal politikus ada tiga M; mind (gagasan), massa, dan money (uang). Namun, pada praktiknya modal ketigalah yang lebih dominan dimiliki politikus kita saat ini.

Jika itu yang terus terjadi, politik kemudian—meminjam bahasa Donny Gahral Adian (2013)—bukan lagi ruang bagi rakyat untuk memperjuangkan kedaulatannya, melainkan panggung tempat kapital beradu demi kekuasaan.

Peran Parpol

Sudah saatnya keadaban politik menjadi panglima. Tanpa keadaban, politik tak ubahnya panggung yang berisi para pesolek dan demagog.

Tanpa keadaban, politik menjadi majal. Politik hanya menghasilkan seremoni lima tahunan yang menyajikan “menu prasmanan” setengah basi. Tanpa keadaban, demokrasi yang kita elu-elukan juga akan terjungkal.

Tentu dalam arena politik, lembaga paling bertanggung jawab menentukan keadaban politik adalah partai politik (parpol). Parpol merupakan “kawah candradimuka” para politikus. Ibarat kampus, parpol harus memiliki kurikulum yang jelas, khususnya kurikulum yang terkait etika. Lebih dari itu, agar output lulusan bagus, kampus politik bernama partai politik harus melakukan penyaringan kader secara ketat.

Dengan menyaringan ketat dan kurikulum tepat, output yang dihasilkan bisa dipastikan baik, karena yang terjadi saat ini, partai belum memiliki kurikulum yang jelas, penyaringannya pun asal-asalan.

Bahkan, tak jarang, banyak orang yang ingin masuk parpol lewat jalur belakang (transaksional). Dengan hanya bermodal uang, ia bisa dengan mudah melenggang jadi elite parpol tanpa tes (integritas) terlebih dahulu.

Politik model itulah yang kini menghiasi ruang publik. Padahal, Plato (427 SM-347 SM) jauh-jauh hari mengatakan, seyogianya seorang pemimpin (politikus) itu lahir dari manusia “kepala”, bukan manusia “dada”, apalagi “perut”.

Jika dielaborasi, manusia kepala adalah orang-orang bijak dan bajik, lebih mementingkan isi daripada bungkus. Manusia dada adalah mereka yang lebih menonjolkan kekuatan fisik, haus citra dan kekuasaan. Manusia perut lebih mementingkan nafsu keserakahan. Ketika berpolitik, manusia tipe ini biasanya sangat berorientasi ingin mendapatkan keuntungan berlimpah dari medan politik.

Tentu pandangan Plato di atas penting untuk direnungkan, khususnya bagi parpol dalam memilih kader. Sebagai pilar demokrasi, partai politik harus mampu mencetak kader terbaik untuk bangsa ini. Parpol yang baik tidak kehabisan stok kader.
Idealnya, parpollah yang membesarkan figur, bukan figur membesarkan parpol. Ketika parpol sudah mampu membesarkan figur—melahirkan kader-kader terbaiknya untuk bangsa—berarti parpol tersebut sudah matang secara organisasi.

Sebagai kawah politikus, parpol memiliki peran esensial dalam membawa arah mata angin kehidupan berbangsa.

Paling tidak, parpol harus mampu mewujukan gagasan Trisakti Bung Karno yang lamat-lamat semakin dilupakan; berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tentu gagasan founding father itu akan terlaksana bila para politikus kita berpolitik dengan penuh keadaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar