Minggu, 19 Januari 2014

Bangsa Schizophrenia

Bangsa Schizophrenia

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  19 Januari 2014
                                                                                                                        


Dalam buku panduan untuk psikiater, DSM 5 (Diagnosticand Statistical Manual of Mental Disorders versi 5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, 2013), ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, Chapter 10) yang diterbitkan oleh WHO/ Organisasi Kesehatan Sedunia, dan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, versi Indonesia, terbit tahun 1993), ada salah satu gangguan jiwa yang disebut skizofrenia (schizophrenia). 

Dalam PPDGJ III kode diagnostiknya adalah: F2. Istilah schizophrenia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu skhizein yang artinya memisahkan (dalam bahasa Inggris scissor berarti menggunting) dan phr?n yang artinya adalah minda, jiwa (Inggris: mind). Jadi schizophrenia berarti jiwa yang pecah, yang terbelah. Terbelah di sini bukan berarti split personality (kepribadian ganda) yang dalam penggolongan gangguan jiwa sekarang disebut DID (dissociative identity disorder), melainkan terbelah dalam arti tidak sinkronnya fungsi-fungsi jiwa dalam diri satu individu. 

Gejala dari schizophrenia adalah delusi atau waham, halusinasi, pikiran yang tak teratur, dan simptom-simptom negatif seperti tidak punya kepekaan afektif, dan avolition. Waham dan halusinasi adalah gejala-gejala utama dari schizophrenia. Waham adalah keyakinan yang tidak sesuai dengan realitas, bahwa dirinya ada dalam pengaruh kekuatan-kekuatan di luar yang mahadahsyat. 

Misalnya seseorang percaya bahwa dirinya adalah utusan Allah, titisan Malaikat Jibril atau keturunan Bung Karno yang akan menguasai dunia. Untuk itu ia seakan-akan mendengar bisikan-bisikan tertentu untuk melakukan sesuatu atau menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Inilah yang disebut halusinasi pendengaran. Itulah sebabnya pasien-pasien schizophrenia yang tidak dirawat dengan baik bisa tiba-tiba menyembelih anak sendiri atau membunuh ibunya karena ia merasa ada yang menyuruh melakukan itu (penderita schizophrenia tidak melakukannya di bawah pengaruh narkoba). 

Pikiran yang tidak teratur dicerminkan dalam kalimat-kalimat yang tidak teratur, ketika dia berbicara. Pokok pembicaraan melompat-lompat dengan cepat (flight of ideas), tanpa ada sambungan antara satu denganlainnya (inkoheren), dan emosinya tidak mengikuti perkataannya sehingga bisa saja dia menceritakan tentang anaknya yang mati karena ketabrak truk gandengan sambil tertawa-tawa. Ia pun tidak peka secara emosional terhadap keadaan. 

Dalam situasi duka ia tetap tertawa-tawa, suatu pertanda bahwa ia tidak punya kepekaan emosional, dan terkadang ia kehilangan semangat sehingga bisa duduk berjamjam tanpa mengerjakan sesuatu. Inilah yang dinamakan avolition. Tapi yang paling mengerikan adalah jika tiba-tiba penderita schizophrenia kehilangan kendali akan emosinya dan mengambil golok, berlari ke jalan raya, dan menebas dengan goloknya siapa saja yang ditemuinya di jalan. Itulah sebabnya penderita schizophrenia sering kali dikandangkan atau dipasung oleh keluarganya. 

Banyak teori yang mencoba menjelaskan penyebab schizophrenia. Tapi saya tidak mau bicara tentang teori. Yang saya mau bahas di sini adalah betapa banyaknya persamaan antara gejala-gejala schizophrenia dengan keadaan masyarakat Indonesia masa kini. Di salah satu media, misalnya, diberitakan bahwa pengungsi Gunung Sinabung, yang sudah berbulan-bulan menderita di pengungsian, berdemo menuntut Bupati Karo turun jabatan karena sang bupati dianggap tidak peduli pada rakyatnya, malah sibuk selingkuh sendiri. Suatu indikasi bahwa pejabat tidak punya reaksi emosional yang adekuat terhadap lingkungan. 

Tapi Bupati Karo tidak sendiri. Banyak bupati lain yang juga didemo dengan berbagai alasan seperti nikah siri (Kota Waringin Timur), penggelapan uang perjalanan dinas (Tasik), skandal seks (Ngada), merugikan petani (Bulukumba). Bahkan bukan hanya bupati, anggota DPR dan anggota pemerintahan juga melakukan hal yang sama: tidak peka terhadap situasi, masih bisa korupsi di tengah penderitaan masyarakat yang makin miskin. 

Ibaratnya melayat di rumah duka, para pejabat itu masih bisa tertawa- tawa. Yang lebih absurd (sering dinyatakan sebagai ciri schizophrenia juga) adalah bahwa sudah ditahan KPK dan mau masuk ke rumah tahanan masih sempat tertawa-tawa juga sambil memberi komentar yang tidak nyambung. Anas Urbaningrum, misalnya, mau masuk rumah tahanan masih sempat nyeletuk mengucapkan terima kasih kepada Pak SBY, Ketua KPK, dan sebagainya. Sama sekali gak nyambung dengan sikon pada waktu itu. Bagaimana dengan flight of ideas dan inkoherensi? 

Tengok saja pada berbagai forum TV talk show. Para pembicara ngomong sendiri-sendiri yang makin membuat masalah tidak dimengerti ketimbang menajamkan pikiran untuk menemukan solusi. Soal banjir Jakarta, misalnya. Para pengamat dan media massa terus saja menyorot daerah-daerah Jakarta yang kebanjiran, lengkap dengan gambar-gambar para pengungsi dan anak-anak yang keleleran, kelaparan, dan kedinginan. 

Walaupun Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok sudah berkali-kali menyatakan dan membuktikan bahwa banjir 2014 sudah berkurang dari banjir 2013, mereka tetap saja tidak mau terima dan berkesimpulan bahwa Jokowi dan Ahok gagal untuk memenuhi janji kampanyenya. Padahal secara kasatmata bisa dilihat betapa Jalan Thamrin-Sudirman tahun ini tidak banjir lagi. Bank UOB tahun yang lalu kebanjiran sampai masuk ruang garasi di bawah tanah dan menewaskan satu orang. Tahun ini sudah tidak terjadi lagi. Begitu juga Istana sampai sekarang belum kebanjiran seperti tahun lalu.
Memang, perlu diakui bahwa penderita schizophrenia itu NATO (No Action Talk Only) atau kadang-kadang NANoT (No Action No Talk). Tapi kalau ada aksi (tindakan), aksinya itu tidak nyambung dengan omongannya dan malah bisa membahayakan orang lain dan diri sendiri. 

Persis seperti masyarakat Indonesia, yang sepertinya cinta damai, diam-diam, tetapi tahu-tahu ngamuk, demo, merusak. Nah, bagaimana untuk mengubah masyarakat agar tidak schizophrenia terus? Dalam Pemilu 2014 kita harus memilih anggota legislatif dan presiden yang LETOY (Less Talk full Of activitY). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar