Tekanan terhadap nilai rupiah berlanjut karena permintaan
dolar AS yang meningkat, neraca transaksi berjalan yang negatif, dan
ketidakpastian global, terutama di Amerika Serikat. Nilai rupiah sempat
menempuh Rp 12 ribu per dolar, sebelum diintervensi Bank Indonesia (BI).
Permintaan dolar AS dari Pertamina untuk impor minyak dan kebutuhan
perusahaan untuk pembayaran utang mendominasi permintaan terhadap dolar. Selama
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat, maka akan sangat sulit
menurunkan permintaan dolar untuk impor minyak dan BBM, sementara produksi
minyak dalam negeri cenderung terus menurun.
Menjelang akhir tahun, perusahaan juga meningkatkan permintaan dolar untuk
membayar utang luar negeri. Sementara eksportir yang mempunyai dolar, belum bersedia melepaskan
dolar karena ketidakpastian nilai rupiah.
Dengan
neraca transaksi berjalan yang negatif sekitar 3,7 persen dari produk domestik
bruto (PDB), Indonesia dianggap mengalami "besar pasak daripada tiang",
impor lebih besar daripada ekspor dan dana yang masuk. Indo nesia oleh
investor dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai "vulnerable five",
termasuk India, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan yang mengalami
permasalahan serupa.
Ketidakpastian
global terutama di AS memperlihatkan bahwa pemulihan ekonomi akan berjalan
lebih lambat lagi. Sekalipun stimulasi tetap dipertahankan, tapi menjadi
tidak pasti kapan stimulasi ini akan dikurangi (tapering off). Keadaan ekonomi di Eropa masih tetap lemah.
Sedangkan ekonomi Cina, meski tumbuh sekitar tujuh persen, tidak dapat
menghela ekonomi dunia yang lemah.
Selama permasalahan tersebut tidak mengalami
perbaikan berarti, maka selama itu pula nilai rupiah mengalami tekanan.
Kebijakan moneter dengan instrumen utamanya BI Rate dan intervensi di pasar
valas mempunyai kemampuan sangat terbatas. BI sebagai otoritas moneter utamanya
menjaga supaya volatilitas naik-turun nilai rupiah tidak terlalu besar. BI
sangat sulit mempertahankan nilai rupiah pada tingkatan tertentu dengan
tekanan yang demikian besar. Tentu saja permasalahan di luar negeri adalah
di luar kendali kebijakan nasional. Sedangkan tekanan yang dari dalam
semestinya dapat diatasi paling tidak dikurangi.
Untuk mengurangi defisit tran saksi
berjalan, upaya meningkatkan ekspor dalam keadaan ekonomi dunia yang lemah
sangatlah sulit. Menarik
investasi asing dapat meningkatkan modal yang masuk dan mengurangi defisit.
Namun, dalam jangka pendek investasi akan menambah impor untuk kebutuhan
permesinan dan peralatan. Apalagi jika investasinya untuk pasar domestik. Karena
itu, investasi harus diarahkan pada yang berorientasi ekspor, sehingga pada
saat ekonomi dunia pulih, ekspor mengalami peningkatan.
Pengurangan impor sangat membantu dalam
mengurangi defisit terutama untuk barang konsumsi. Karena itu pemerintah
semakin ketat dalam mengurangi impor barang konsumsi, dengan tarif maupun
nontarif. Namun, impor barang modal tidak dapat dikurangi secara signifikan
karena kebutuhan produksi yang sayangnya padat impor.
Sangat disayangkan produksi minyak terus menurun
sehingga tidak dapat membantu mengurangi impor minyak dan meningkatkan
penerimaan. Padahal, jika produksi minyak naik, maka akan sangat membantu
dalam memperbaiki neraca berjalan. Jika
defisit transaksi berjalan tidak menurun secara signifikan, dan stimulus di
AS dikurangi, maka tekanan terhadap rupiah akan semakin besar. Dalam
keadaan seperti ini tidak ada pilihan lain bagi BI untuk menaikkan BI Rate
lagi. Kenaikan ini tidak dapat mengatasi permasalahan, tetapi paling tidak
menahan laju pelemahan rupiah.
Jika ini terjadi, likuiditas perbankan akan
semakin ketat, dan sektor riil akan semakin terpukul, pertumbuhan pun akan
menurun. Hal ini ha rus dihindari supaya momentum perkembangan ekonomi
dapat terjaga. Kebijakan yang
pernah disampaikan Menteri Keuangan dalam bentuk insentif investasi dan
mengurangi impor belum terlaksana secara berarti. Justru ketidakpastian terhadap
larangan ekspor bahan mineral yang mulai berlaku pada 2014, dan pajak bumi
dan bangunan untuk eksplorasi minyak semakin menurunkan potensi ekspor.
Kita harus realistis, ekspor mineral dan minyak masih penting bagi menjaga
keseimbangan neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Tentu saja kita harus dapat
mentransformasikan perekonomian yang lebih seimbang antara ekspor dan
impor, dan antara modal masuk dan keluar. Industri kita harus lebih
berorientasi pada ekspor yang masuk dalam rangkaian nilai global (global value chain). Ekonomi harus
diseimbangkan dalam anggaran dan transaksi berjalan, kalaupun defisit sebaiknya
di bawah dua persen dari PDB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar