NILAI tukar
rupiah kembali tertekan pada pekan akhir November 2013. Di pasar spot,
nilainya menembus angka Rp 12.000 per USD. Sampai kapan level pelemahan ini
terjadi, sulit menjawabnya dengan kepastian.
Memang sejak
kita menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange
rate), nilai tukar rupiah tidak lagi dipatok pada angka tertentu. Nilai
tukar saat ini mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran di pasar
valuta asing dan juga kondisi fundamental ekonomi. Bank Indonesia (BI)
tidak lagi menargetkan nilai tukar pada titik tertentu, tapi menjaga agar
tidak terjadi gejolak (fluktuasi) berlebihan di pasar valas.
Mengapa rupiah
melemah? Dari sisi eksternal, saat ini perekonomian dunia belum optimistis.
Perekonomian negara maju masih lemah yang mengakibatkan harga barang
komoditas, yang merupakan kekuatan ekspor kita, masih rendah. Di sisi lain,
mengeliatnya ekonomi AS menjadikan bank sentral AS, The Federal Reserves,
akan mengimplementasikan kebijakan pengurangan stimulus moneter (tapering
off). Hal itu menyedot USD dari negara-negara di Asia ke negara AS.
Di sisi
internal, kita menghadapi masalah defisit transaksi berjalan. Pada triwulan
II 2013, defisit transaksi berjalan mencapai USD 9,8 miliar atau sekitar
4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski kondisi ini membaik
pada triwulan III 2013, mencapai USD 8,4 miliar atau sekitar 3,8 persen
terhadap PDB, defisit tersebut berkomplikasi, antara lain, menekan nilai
tukar rupiah.
Di sisi lain,
aliran investasi portofolio asing bergejolak mengikuti perubahan sentimen
(perilaku risk-on risk-off) di pasar keuangan global. Gejolak di pasar
keuangan domestik turut menyumbang pemburukan postur neraca pembayaran
Indonesia. Pada akhirnya, koreksi pada perekonomian nasional menjadi tidak
terhindarkan. Tapi, harus disadari bahwa ini bagian dari proses
penyeimbangan kembali (rebalancing) perekonomian Indonesia yang lebih
selaras dengan kondisi fundamentalnya.
Pelemahan nilai
tukar rupiah sebenarnya dapat menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa sudah
saatnya kita mereformasi struktur perekonomian Indonesia. Pertumbuhan
ekonomi harus didukung oleh industri yang lebih berkelanjutan, berbasis
pada inovasi dan penguasaan teknologi. Bukan lagi berharap pada
meningkatnya harga komoditas alam di pasar global. Kita harus bisa lebih
mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri.
Bagaimana
Bersikap
Menyikapi
pelemahan rupiah, mestinya masyarakat tidak ikut panik dan tak perlu
berspekulasi valas. Pelemahan nilai rupiah saat ini dapat dijelaskan secara
fundamental. Menjelang akhir tahun, permintaan akan dolar AS biasanya
meningkat seiring dengan pembayaran utang luar negeri ataupun kewajiban
lain perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Hal terpenting
adalah melihat likuiditas di pasar valas. Menurut pemantauan BI, kondisi
pasar valas masih likuid, bahkan lebih likuid daripada semester I 2013.
Dengan demikian, pihak yang memerlukan valas untuk keperluan dan kebutuhan
usaha masih bisa mendapatkannya di pasar.
Untuk mengatasi
pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek, BI senantiasa berada di
pasar valas untuk memonitornya. Bila diperlukan, BI juga melakukan
intervensi guna menjaga stabilitas. Selain itu, perlu ditempuh penguatan
bauran kebijakan, antara lain menaikkan suku bunga BI rate sebesar 175 bps
menjadi 7,50 persen selama Juni-November 2013, memperkuat operasi moneter,
memperkuat kebijakan makroprudensial, memperkuat kerja sama antarbank
sentral dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan, serta
berkoordinasi dengan pemerintah.
Kenaikan BI
rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di
Indonesia dan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga
tersebut kita berharap investor asing menanamkan modal ke dalam
instrumen-instrumen keuangan di Indonesia.
Namun,
kebijakan jangka pendek perlu diikuti oleh kebijakan menengah dan panjang
untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Caranya, melakukan reformasi
struktural, meningkatkan inovasi dan kreativitas teknologi untuk mendorong
ekspor serta mengurangi nilai impor. Pemerintah telah mengeluarkan paket
kebijakan Agustus dan Oktober sebagai langkah awal untuk mengatasi tekanan
neraca transaksi berjalan tersebut. Ini perlu diimplementasikan secara
efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar