SELALU menjadi perdebatan penegak hukum
dengan dunia medis bahwa tidak selalu akibat yang ditimbulkan dalam praktik
medik berupa cacat permanen atau bahkan kematian dapat disamakan dengan
malapraktik. ‘Kriminalisasi’ praktik kedokteran terjadi kembali di RS Dr
Kandau Manado pada April 2010, setelah yang terjadi pada dokter (dr)
Setyaningrum di Pati, Jawa Tengah, pada 1979.
Pasien akhirnya meninggal dunia sekitar 20
menit pascaoperasi caesar darurat. Dari hasil autopsi dan diperkuat
pernyataan Ketua Umum POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia)
disebutkan, pada sayatan pertama saat operasi, keluar darah berwarna hitam
yang merupakan tanda pasien dalam keadaan kurang oksigen. Dalam dunia
kedokteran, gejala itu disebut dengan emboli. Emboli udara (gelembung udara)
ditemukan pada bilik kanan jantung pasien sehingga mengganggu peredaran
darah. Emboli tidak bisa diprediksi dan dicegah, dan waktu tindakannya pun
dalam hitungan menit. Kasus itu kemudian diangkat jaksa untuk diajukan ke
pengadilan dengan dugaan kelalaian menjalani profesi medik (malapraktik)
dan dituntut dengan ancaman pidana selama 10 bulan penjara. Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Manado, setelah memeriksa saksi dan alat bukti,
menyatakan tidak ditemukan unsur tindak pidana pada tim dokter sehingga
dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni. Namun, jaksa mengajukan kasasi
dan dikabulkan Mahkamah Agung (MA).
Membaca kasus itu membuat penulis secara
pribadi dan dunia kedokteran pada umumnya sangat prihatin dan termotivasi
untuk mengingatkan kembali kepada penegak hukum bahwa dalam dunia
kedokteran juga dikenal dengan prinsip `risiko medis'. Tidak serta-merta
apa yang kemudian timbul sebagai akibat dari praktik kedokteran terhadap
diri pasien, baik cacat permanen ataupun kematian, kemudian dikatakan
sebagai malapraktik.
Hal itu perlu dipahami dan diluruskan kepada
semua pihak, khususnya kepada penegak hukum, bahwa profesi kedokteran
Indonesia sudah menerapkan apa yang dinamakan dengan standar profesi medis,
yaitu batasan kemampuan (knowledge,
skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat
secara mandiri yang dibuat organisasi profesi, berupa surat tanda
registrasi (STR) dan surat izin praktek (SIP).
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, apabila dokter/dokter gigi yang
melaksanakan praktik kedokteran/kedokteran gigi telah sesuai dengan standar
profesi dan prosedur operasi standar, dokter/dokter gigi tersebut berhak
mendapatkan perlindungan hukum.
Upaya perlindungan
Selain harus mematuhi standar profesi medis
seperti telah diuraikan, Selain harus mematuhi standar profesi medis seperti
telah diuraikan, dokter diharuskan pula memenuhi standar pelayanan medis
(SPM) dan prosedur operasi standar (SOP). SPM diatur dalam Pasal 44 UU
Praktik Kedokteran, yang menyatakan, ‘ Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi'. SPM itu sebagai pedo man dalam pengawasan praktik dokter,
pembinaan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia yang
efektif dan efisien. Selain itu, dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga
kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas, serta untuk
me lindungi masyarakat dari praktik-praktik kedokteran yang tidak sesuai
dengan standar profesi kedokteran.
SOP ialah pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan kinerja berdasar kan
indikator-indikator teknis, administratif, dan prosedural sesuai dengan
tata kerja, prosedur kerja, dan sistem kerja pada unit kerja yang bersang
kutan. SOP meliputi anamnesis, yaitu kegiatan tanya ja wab dokter/dokter
gigi kepada pasien mengenai penyakit atau keluhan yang dirasakan pasien; physic diagnostic, yaitu berupa
yaitu berupa pemeriksa an jasmani pasien, pemeriksaan tambahan bila
dipandang perlu berupa pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya;
dan terakhir adalah tindakan medis.
Dengan terpenuhinya tiga dasar standar
profesi medis tersebut, dapat dikatakan dokter mendapatkan perlindungan
hukum berupa alasan pembenar menjalankan profesinya. Selain itu, dalam
ketentuan pidana di Indonesia, seorang dokter mendapatkan alasan penghapus
pidana karena adanya dua dasar peniadaan kesalahan, yaitu alasan pembenar,
alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa
yang dilakukan terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar dan
alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat memaafkan sifat perbuatannya
meskipun perbuatan tersebut melawan hukum.
Namun dalam hal ini, dokter yang menjalankan
profesinya sesuai dengan koridor hukum tersebut akan terlepas dari tuntutan
hukum dengan alasan pembenar. Dengan demikian, menjadi tidak sertamerta
sebuah akibat yang tidak diinginkan (keadaan tidak diinginkan) pada seorang
pasien merupakan kelalaian dokter. Penegak hukum perlu memiliki pemahaman
akan profesi medis dengan segala akibatnya. Kriminalisasi kepada dokter
akan mematikan karakter, masa depan, dan keluarga dari dokter itu sendiri
yang notabene merupakan profesi yang nobel. Hal itu pernah penulis alami
ketika sebagai seorang dokter bedah saraf berhadapan dengan proses hukum,
yang tentunya menghabiskan waktu, energi, dan konsentrasi untuk itu.
Sikap defensif
Putusan kasasi yang mengabulkan tuntutan
jaksa dan menjatuhkan vonis pidana bagi tim dokter di RS Dr Kandau Manado
tidak menutup kemungkinan membuat kalangan dokter akan menerapkan apa yang
dinamakan dengan defensive medicine.
Dalam literatur, dikenal ada dua jenis defensive medicine, yaitu tipe
pertama para dokter cenderung memeriksa hal-hal yang tidak diperlukan
sebelum melakukan tindakan.
Misalnya seorang pasien dari Swiss datang
kepada penulis dengan saraf terjepit di tangan (carpal tunnel syndrome),
dokter harus memeriksa pasien dengan general check up sehingga biaya
membengkak 20 kali lipat karena takut bila terjadi sesuatu pada operasi
tersebut dokter dapat dituntut.
Tipe dua ialah sebagian dokter cenderung
tidak mau melakukan operasi atau terapi dengan risiko dan kesulitan tinggi,
dengan alasan stres luar biasa, mudah dituntut, dan imbal jasa yang tidak
sepadan dengan risikonya. Akibatnya, dokter tersebut merujuk ke tempat lain
atau ke luar negeri.
Tindakan sectio
pada kegawatan janin adalah dibenarkan pada kasus yang terjadi di RS Dr
Kandau Manado. Sepanjang tim dokter yang melakukan sectio telah memenuhi
ketentuan tersebut, kejadian apa pun yang muncul (meninggalnya Saudari
Julia Fransiska), dokter akan terlepas dari tuntutan pidana karena telah
menjalankan perintah UU. Kejadian tersebut dalam dunia kedokteran
diistilahkan sebagai kejadian tidak diinginkan (KTD).
Semoga penegak hukum
dapat memahami prinsip-prinsip yang berlaku pada praktik profesi kedokteran
sebelum melakukan tuntutan hukum atas risiko yang terjadi pada praktik
profesi kedokteran tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar