Rabu, 25 Desember 2013

Natal di Zaman Edan

Natal di Zaman Edan
Amanda Adiwijaya  ;   Seorang Pendeta,
Lulusan International Biblical College, Yerusalem
KORAN JAKARTA,  24 Desember 2013

  

Manusia saat ini hidup dalam suatu zaman peralihan penuh gonjangganjing yang dalam khazanah Jawa disebut kalatida-kalabendu (zaman keraguan-zaman hukuman).

Pujangga Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito, menyebut zaman demikian sebagai kegilaan atau edan. Tanpa perlu survei khusus, di sekitar ada banyak kegilaan yang tengah berlangsung. Di level dunia, perang berebut kekuasaan seperti di Suriah telah membuat ratusan ribu nyawa melayang dan jutaan lainnya mengungsi.

Mereka yang merasa paling benar dalam meyakini agamanya, bisa terjebak menjadi hakim kejam yang menebarkan teror, kekerasan, dan kebencian. Berbagai kekerasaan mengatasnamakan Tuhan dan agama masih membelenggu. Akibatnya, perdamaian masih menjadi sesuatu langka.

Di berbagai penjuru Tanah Air terdapat begitu banyak teriakan ketidakpuasan, bahkan kekecewaan akan pemerintahan sekarang. Politik dan demokrasi bukan demi kebaikan bersama (bonum commune), tapi hanya untuk kepentingan segelintir orang bahkan demi kepentingan keluarga atau dinasti tertentu.

Hukum sebagai dasar utama, masih penuh rekayasa dan menjadi alat transaksi jual-beli jabatan. Meski konstitusi menjamin kebebasan beragama, di dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, masih terasa banyak tindakan intoleran yang mengancam kerukunan.

Biasanya dengan menghembuskan isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah masyarakat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan.
Kondisi memprihatinkan karena Natal yang seharusnya memberi dan menciptakan suasana damai, kini malah makin merepotkan. Di mana-mana ada ribuan polisi yang harus selalu berjaga di seputar gereja.

Padahal, dulu tidak seperti ini. Tentu ini tak lepas dari ulah para teroris yang pernah menebar 38 bom pada malam Natal 2000. Selain itu, di depan mata juga tampak perusakan alam melalui cara-cara hidup keseharian yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan. Masyarakat kurang peduli terhadap sampah dan polusi.

Mereka juga eksploitasi besarbesaran terhadap alam melalui proyekproyek yang merusak lingkungan (Pesan Natal KWI-PGI 2013, alienea 3). Lalu, apa artinya perayaan Natal di tengah kondisi seperti itu? Apalagi tema pesan Natal bersama KWI-PGI tahun ini "Datanglah Ya Raja Damai."

Jejak 

Natal sebenarnya lahir dari inkulturasi budaya Eropa. Peringatan hari Natal tahun 336 Sesudah Masehi pada kalender Romawi kuno, yaitu 25 Desember. Pemilihan 25 Desember terkait pesta penyembahan Dewa Matahari (Sol Invictus).

Pada tanggal ini, matahari naik lagi di cakrawala ke utara atau terbenam kembali yang merupakan awal musim dingin. Tidak heran, jika atribut-atribut Natal kental dengan warna salju, pohon cemara dan sebagainya.

Sebagai bagian dari perayaan, masyarakat menyiapkan makanan khusus, menghiasi rumah dengan daun-daunan hijau, menyanyi bersama dan tukar-menukar hadiah. Kebiasaan itu lama-kelamaan menjadi tradisi yang melekat dengan perayaan Natal. Tahun 1100, Natal telah menjadi perayaan keagamaan terpenting di Eropa.

Meski demikian, sebenarnya Yesus sendiri tak persis lahir 25 Desember atau 6 Januari. Yang penting bagi iman Kristen, Yesus berkenan lahir di dunia.
Boleh jadi, dalam momen demikian, manusia bisa membiarkan Yesus kembali datang dan menyampaikan misi khusus-Nya yang relevan dengan kehidupan sekarang. Belakangan, agama terus disorot dari banyak pihak karena agama di negeri ini dinilai gagal membawa perubahan berarti.

Seperti diketahui dari Injil, Yesus hidup dalam tatanan masyarakat Yahudi yang memeluk agama monotheis pertama. Sayang, praktik beragama dari orang-orang Yahudi pada zaman itu telah terjebak dalam formalisme yang keterlaluan.
Agama hanya ditonjolkan segi hukumnya, sementara inti terdalamnya sebagai pembawa damai dan kasih diabaikan. Ini disebabkan banyaknya perintah yang diberikan para ulama dan pejabat keagamaan Yahudi dengan memberi kewajiban ini-itu sehingga sangat membebani umat. Yesus lalu datang dengan kritik amat pedas terhadap praktik keberagamaan yang hanya mengutamakan rutinitas lahiriah seperti itu.

Pesan Yesus 

Yesus pun lalu diimani para pengikut- Nya sebagai Juru Selamat. Nah, jika manusia mengimani-Nya sebagai Juru Selamat, ini juga mengandung konsep bahwa penyelamatan-Nya juga mencakup pembebasan dari cara-cara dan praktik beragama yang keliru.

Bagi Yesus, agama Yahudi ketika itu hanya jadi sesuatu yang membuat orang banyak teralienasi. Agama yang sejatinya berfungsi merukunkan manusia dengan manusia lain, manusia dengan Sang Pencipta, dalam praktiknya justru jadi pemecah belah.

Dengan ritus, tabu, larangan, dengan formalisme ini-itu, agama justru jadi kekuatan yang mengasingkan manusia dari kemanusiaannya. Lewat kritik-kritik pedasnya, Yesus sebenarnya ingin mengembalikan agama pada esensinya. Dia menuntut spiritualitas sejati, kesucian yang bukan basa-basi.

"Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu (Yoel 2:13). Lewat pesan-pesan ini, Yesus ingin membebaskan umat baik pria atau wanita dari kekuasaan kultus, dari kecenderungan membuat agama jadi semacam ghetto yang tampak suci dari luar, tapi bobrok di dalam.

Dengan demikian, agama seharusnya menjadi membebaskan dan membawa sukacita sejati. Kalau orang kembali membaca Injil, pesan-pesan Yesus itu jelas masih ada. Akibat dari praktik seperti itu, lembaga keagamaan (seperti gereja) hanya menjadi semacam perusahan atau institusi profan yang sibuk dengan urusan duniawi seperti sarana mencari uang.

Konyolnya para pejabat gereja juga tak beda jauh dengan para birokrat yang lebih ingin dilayani daripada melayani. Mereka juga lebih suka menyemarakkan acara ritual (liturgi) semata, serta tidak peka secara sosial.

Padahal, makna terdalam ritual (liturgi) seharusnya merupakan perayaan iman yang tak terpisah dari kehidupan nyata. Suka duka kehidupan umat itulah yang tercermin dalam liturgi sehingga ibadat bukan hanya ekspresi iman yang penuh basa-basi seremonial.

Mudah-mudahan Natal ini Sang Raja Damai Yesus Kristus berkenan datang dan lahir dalam hidup manusia. Ini sungguh akan membawa perubahan karena Dia pasti mengajak semua kembali menghayati spirit asli dari agama yang harus memperjuangkan kejujuran lahir batin, mempromosikan persaudaran dan perdamaian.

Maka, jangan hanya sibuk pada urusan pernak-pernik Natal seperti menghias christmas tree atau menyetel lagu, sementara esensinya luput dari genggaman. Esensi Natal, Yesus berkenan datang, lahir, dan bertahta di dalam hati. Christus natus est. Ia telah lahir. Selamat Natal.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar