MAHKAMAH Konstitusi rupanya
tak menjadikan uji yudisial (judicial
review) berkaitan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
sebagai prioritas untuk diputus.
Demikian dijelaskan Patrialis
Akbar, hakim konstitusi (Kompas, 21/11/2013). Uji yudisial itu
diajukan Forum Hukum BUMN dan Pusat Pengkajian Masalah
Strategis UI agar MK menyatakan Pasal 2 Huruf g dan i UU
tentang Keuangan Negara (UU KN) itu bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut kedua pemohon, ketentuan
tersebut melanggar prinsip kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum
bagi perusahaan negara. Pasal 2 Huruf g dan I UU KN mengatur
bahwa ”keuangan negara” termasuk ”kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara”.
Isu ini pada hakikatnya
merupakan konsekuensi dari keinginan negara untuk berniaga.
Seperti negara-negara lain, Indonesia tidak saja menjalankan fungsi
pemerintahan (jure imperii), tetapi juga ingin berdagang dalam kerangka jure
gestionis. Bermunculanlah badan usaha milik negara (BUMN), baik
yang perusahaan perseroan (persero) maupun perusahaan umum (perum).
Dari lebih dari 100 BUMN kini, mayoritas adalah persero.
Persero, berdasarkan UU No
19/2003 tentang BUMN (UU BUMN), ”bertujuan memupuk keuntungan dan
sepenuhnya tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas,” yang sekarang adalah
UU No 40/2007 (UU PT). Dengan prinsip-prinsip dalam UU PT, ”kekayaan yang
dipisahkan” yang dijadikan modal persero itu aman. Hal ini karena negara
selaku pemegang saham (PS) hanya bertanggung jawab sejauh modal yang
disetorkan. Negara dilindungi tabir liabilitas terbatas.
Sebaliknya, persero yang badan
hukum itu memiliki hak dan kewajiban, serta mengurus dan mengelola
kekayaannya sendiri, lepas dari campur tangan pemegang sahamnya. Konsep
badan hukum sudah mendunia. Mahkamah Internasional dalam kasus
Barcelona, Traction, Light, Power & Co, 1970 menegaskan:
So long as the company is in existence the
shareholder has no right to the corporate assets.
Parade direktur
Di persidangan MK, pemohon
mengajukan sejumlah saksi fakta, termasuk sejumlah direktur
utama/direktur, bagaikan parade direksi di MK. Umumnya mereka
mengeluh karena merasa terbelenggu dengan dimasukkannya “kekayaan
yang dipisahkan itu” sebagai bagian dari keuangan negara.
Mereka
berpendapat uang itu berdasarkan hukum adalah aset korporasi.
Keterbelengguan itu bertaut
dengan ketakutan sebab tindakan mereka dapat dikategorikan
merugikan keuangan negara sehingga dituduh korupsi. Mereka takut membuat
perencanaan karena kalau gagal, akan didakwa macam-macam. Transaksi
komersial jika tak berhasil juga bisa berdampak tuduhan
korupsi.
Pemanggilan oleh aparat yang
non-KPK terkesan mencari-cari, seperti umpamanya dialami seorang
mantan dirut, dan nyatanya di pengadilan dia dibebaskan. Ada pula dirut
yang dengan lugu bertanya apakah kebijakan melakukan promosi dengan
menurunkan tarif pada hari-hari biasa dapat dianggap korupsi juga. Banyak
lagi yang lain.
Keluhan di atas amat esensial
untuk ditanggulangi sebab BUMN sekarang bukanlah BUMN dulu, yang
didirikan terutama untuk mengisi kekosongan pelayanan
bagi masyarakat karena swasta enggan berkiprah di situ. Kini BUMN merambah
ke mana-mana: perbankan, perdagangan, perumahan, asuransi, dan
pengangkutan. Harus bersaing dengan PT swasta yang pertanggungjawabannya
tak rumit
Para ahli yang dihadirkan
pemohon mengungkapkan sejumlah teori badan hukum. Hal itu misalnya perihal
tabir liabilitas terbatas di atas, yang dapat tersingkap kalau pemegang
saham melakukan tindakan tertentu. Juga tentang prinsip bahwa
direktur tidak boleh makan modal perusahaan—yang harus
dipertanggungjawabkannya di RUPS.
Untuk persero juga sama, itu
berarti mekanisme korporasi memiliki sistem agar uang korporasi tidak
dikorup, disertai sanksi, dan kalau ada aspek pidana selalu terbuka bagi
masuknya aparat antikorupsi. Disinggung juga prinsip tata kelola yang baik
(good corporate governance). Intinya: kalau negara ingin berniaga,
ikutilah aturan perniagaan.
Revisi UU BUMN
Sebaliknya, termohon, yang juga
dilengkapi dengan saksi dan ahli berbicara di hulu lebih
mempersoalkan pada aspek uang ”milik negara”, bukan ”badan
usaha”-nya. Jadi, termohon tidak turun ke bawah, praktis tidak
menyinggung masalah korporasi, apalagi UUPT. Menurut termohon,
permohonan uji yudisial ini menyesatkan. Kalau keuangan yang dipisahkan
diatur dalam rezim tersendiri, penggunaan uang itu tak terkontrol
lagi. BPK tidak bisa masuk. Kekayaan yang dipisahkan akan menjadi
sumber korupsi.
Termohon juga menyatakan bahwa BUMN adalah agen pembangunan
(agent of development). Mungkin betul kalau maksudnya perum,
tetapi sebutan klasik itu tak cocok untuk persero. Di luar sidang
ramai pula kekhawatiran BUMN akan jadi ATM parpol.
Kita menunggu putusan MK: dua
kubu yang sukar bertemu. Yang menjadi inti masalah mungkin ini:
menyerahkan persero kepada UUPT. Termohon sepertinya alergi
menyinggung hukum positif yang dirujuk oleh UU BUMN itu. Terkesan ada
ketidakpercayaan, mekanisme korporasi dalam UUPT akan bisa
mengamankan kekayaan yang dipisahkan, apalagi mencegah potensi korupsi.
Kalau memang demikian, ada
beberapa alternatif. Pertama, revisi UU BUMN dengan menghapuskan
penggunaan UU PT. Atur bagaimana status kekayaan yang dipisahkan
itu dalam liabilitas khusus karena kekayaan korporasi yang
mandiri tidak ada lagi. Kekhawatiran termohon dapat dimengerti, tetapi
kalau UU BUMN tidak direvisi, dengan mengabaikan UU PT, kita pun
telah melanggar undang-undang. Kedua, tidak perlu revisi UU BUMN, tetapi
semua BUMN dijadikan perum. Ketiga, apa boleh buat, negara tak usah
berniaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar