INDONESIA sebagai salah satu
pemilik hutan dan keanekaan hayati terbesar dunia ternyata belum bisa
mengelolanya secara berkelanjutan dan sekaligus menyejahterakan rakyatnya.
Kenyataannya, penebangan hutan untuk berbagai kepentinganterus berlangsung,
sementara kesejahteraan rakyat justru menurun seiring dengan memburuknya
lingkungan.
Data awal tahun 2013 menyebutkan
bahwa korupsi di bidang kehutanan ini mencapai angka fantastis, Rp 273
triliun.
Hal ini ironis memang karena
anugerah kekayaan sebagai modal pembangunan negeri ini ternyata
diprivatisasi, bahkan dikorupsi.
Salah satu kesalahan terbesar
sebelum reformasi yang masih dirasakan dampaknya hingga sekarang adalah
pada tahun 1990-an.
Pada era tersebut, pemerintah
menerapkan kebijakan bagi para pemilik perusahaan hak pengusahaan hutan
untuk membayar dana reboisasi setelah melakukan eksploitasi.
Untuk perusahaan yang melakukan
eksploitasi berlebihan, pemerintah telah menaikkan dana reboisasi dari 7
dollar AS menjadi 10 dollar AS pada tiap kubik kayu yang ditebang.
Meski demikian, kenyataan yang
terjadi di lapangan adalah kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan
baik.
Kalaupun ada perusahaan yang
membayar dana reboisasi, dananya tidak digunakan untuk kepentingan
lingkungan, tetapi masuk berbagai kantong, termasuk ke departemen lain,
dengan dalih untuk pengembangan teknologi.
Terjadilah ketidakberesan dalam
mengalokasikan anggaran, di mana anggaran lingkungan yang diselewengkan
bukan untuk memperbaiki lingkungan.
Politik kehutanan
Hal yang sama ternyata terjadi
pada masa kini. Semakin hari, masyarakat semakin menyadari bahwa begitu
banyak penguasa yang tidak amanah dalam memegang jabatannya.
Semakin banyak politisi yang
ternyata memiliki andil di balik kerusakan lingkungan. Betapa banyak kasus
pengalihfungsian hutan alam menjadi kebun kelapa sawit atau pabrik kayu
ilegal, kasus korupsi yang berselimut birokrasi, dan sebagainya.
Tidak bisa dimungkiri,
masyarakat Indonesia memang masih mengedepankan masalah ekonomi
dibandingkan dengan kepentingan ekologis mengingat pertumbuhan ekonomi yang
belum stabil.
Maka, di negara berkembang ini,
apa pun akan digadaikan jika bisa diuangkan, termasuk membeli jabatan untuk
mendapatkan uang yang berlimpah.
Permasalahan lingkungan ataupun
korupsi kehutanan hanyalah sebuah prolog dari akar permasalahan bangsa
Indonesia. Sebab, sejatinya akar permasalahan bermula dari krisis karakter,
bukan krisis lingkungan.
Jikalau hanya krisis lingkungan,
dalam waktu beberapa tahun pasti bisa kembali seperti semula.
Akan tetapi, jika permasalahan
bermula dari krisis karakter, tentu masalah ini menjadi krusial.
Kasus kriminalitas dan kejahatan
kehutanan sering kali dicocokkan dengan kuantitas sarjana kehutanan di
Indonesia. Namun, sebenarnya kuantitas tidak menjadi masalah yang besar.
Justru yang perlu dikaji adalah
dapatkah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ”adil dan berdaya” jika modal
negara ini habis hanya untuk berfoya-foya dan memenuhi nafsu para penguasa?
Tidak sungguh-sungguh
Dalam penutup sebuah esai
berjudul ”Masalah Politik dan Birokrasi SDA: Kerusakan Hutan Gorontalo Vs
Perjalanan Pengadilan Rahman Doko”, Hariadi Kartodiharjo menyebutkan bahwa
kini telah banyak kelompok (masyarakat) yang lelah melihat realitas
rusaknya lingkungan (hutan dan sumber daya alam) karena tidak lagi menjadi
agenda politik ataupun birokrasinya yang tidak sungguh-sungguh. Ia menilai,
kepentingan pelestarian hutan dan sumber daya alam (SDA) tidak akan pernah
sinkron dengan kepentingan politik.
Lebih ironis lagi ketika isu
lingkungan menjadi trademark para politisi berkampanye untuk
”membeli” suara masyarakat.
Bisa dipastikan ketika
pejabat-pejabat tersebut duduk di kursi pemerintahan, realitas yang terjadi
sampai saat ini, sekitar 60 persen luas hutan dialokasikan untuk investasi
eksploitatif, seperti pertambangan dan pembukaan area perkebunan.
Politisi di sini memegang andil
yang cukup besar sebagai perusak alam dengan memberikan izin untuk
penebangan ilegal, kasus pengalihfungsian, hingga sengaja melakukan
pengawasan yang lemah.
Jika para politisi tersebut
ternyata bukan dari kalangan rimbawan, di manakah 8.000 rimbawan Indonesia?
Hal ini kembali mengingatkan
akan pentingnya pendidikan karakter atau budi pekerti agar kebenaran bisa
ditegakkan.
Hidup di negara berkembang
terasa seperti sebuah dosa karena masyarakat harus tunduk pada kebijakan
pemerintah, sementara kebijakan-kebijakannya ternyata mengorbankan modal
sumber daya alam yang sangat besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar