Jumat, 27 Desember 2013

Cahaya Terang di Tengah Kegelapan

Cahaya Terang di Tengah Kegelapan
Benny Susetyo  ;   Rohaniwan
MEDIA INDONESIA,  26 Desember 2013
  


BERAGAM keputusasaan dan tiadanya harapan untuk bangkit seringkali disebabkan karena citra Tuhan dalam diri manusia sudah menipis. Begitu pula dengan yang dialami oleh para elite yang dengan gembira menipu rakyat kecil dan merampok harta kekayaan negara. Mereka hampir kehilangan citra Tuhan dalam dirinya.

Mengutip pesan Natal bersama kali ini, kita bisa merefleksikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita juga masih merasakan adanya tindakan-tindakan intoleran yang mengancam kerukunan, dengan dihembuskannya isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah masyarakat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan.

Tindakan itu secara sistematis hadir dalam berbagai bentuknya. Selain itu, di depan mata kita juga tampak perusakan alam melalui caracara hidup keseharian yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan, seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, dan lingkungan hijau, serta dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam melalui proyek yang merusak lingkungan.

Selain itu yang paling mencemaskan adalah kejahatan korupsi yang semakin menggurita. Usaha pemberan tasan sudah dilakukan dengan tegas dan tak pandang bulu, tetapi tindakan korupsi yang meliputi perputaran uang dalam jumlah yang sangat besar masih terus terjadi. Hal lain yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin bangsa.

Refleksi ketidakadilan

Berbagai peristiwa keadilan hukum belakangan ini menjadi bukti nyata bahwa Tuhan tidak lagi dihadirkan dalam perilaku kaum elite. Begitu banyak masalah ketaatan hukum di negeri kita menyangkut permainan rasa keadilan ini.
Hukum hanya diperdebatkan dalam hitam-putihnya pasal-pasal, tapi tidak mampu menjiwai perasaan publik.

Akibatnya hukum sering berat sebelah karena ia hanya mampu menghukum yang miskin dan membebaskan yang kaya.

Hukum tanpa jiwa keadilan seperti begitu mudah diperjualbelikan. Mafia hukum berkeliaran di sudut-sudut ruangan penegakan hukum.

Sungguh benar bahwa sebagai negara demokrasi kita harus bertindak untuk mengedepankan hukum dan peraturan. Namun, dalam kenyataan di lapangan, hukum yang diberlakukan secara terpisah dari moralitas keadilan sosial sering kali menegasikan suara hati dan nilai ketuhanan itu sendiri.

Berbagai macam proyek pembangunan yang dijalankan pemerintah dengan menggusur lahan-lahan rakyat kecil juga berhadapan dengan masalah sensitif seperti ini. Para pedagang kecil digusur dan dikucilkan atas nama keputusan pemerintah yang menyatakan demikian. Akibatnya, keadilan yang tercipta bersifat timpang, ia lebih banyak berguna untuk membela merekamereka yang kuat daripada yang lemah.

Rakyat miskin tiada daya untuk menentang itu semua karena mereka terjebak dalam rasionalisasi penerapan peraturan yang diterapkan tanpa melihat situasi dan konteks moral serta pembelaannya terhadap kaum lemah yang sering ditindas dan dimanipulasi.

Siapa yang diuntungkan dan dirugikan bukan hal penting lagi untuk diperbincangkan. Singkat kata, hal-hal seperti inilah yang membuat kita terus mengkritik mengapa hukum selalu berpihak kepada yang kuat dan bersikap tidak adil kepada yang lemah.

Keputusan menyangkut hajat hidup orang banyak harus melalui banyak pertimbangan. Sejauh mana ia diyakini akan menguntungkan negara dan memberi nilai tambah bagi masyarakat luas. Selain itu, apakah kebijakan tersebut bisa dipertimbangkan secara moral bila diperkirakan yang diuntungkan hanya beberapa orang atau kelompok saja.

Menegakkan keadilan bukan hanya menegakkan hukum, melainkan juga bersangkut paut dengan moralitas. Hukum harus dijalankan seiring dengan moralitas publik. Sinisme publik atas suatu keputusan hukum dan politik me rupakan cermin dari pengabaian moralitas dalam perilaku politik.

Orang-orang kuat juga sering merasa bisa mengelabui moralitas publik. Orang kebanyakan dianggapnya tidak tahu. Akibatnya, hukum tunduk di bawah perintah orang kuat. Menegak kan peraturan memang sakit. Orang kuat tidak mau merasakan sakit tersebut.

Hukum telah sering dilumat oleh taring-taring kekuasaan. Hukum dan moralitas ada, tapi sering dianggap tiada. Berpuluh puluh undang-undang dan ketetapan dilahir kan untuk bisa dicari cari sisi lemahnya, diperdayai. Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat buas, bahwa yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah.

Banyak contoh dan banyak berita. Mulai lokal hingga nasional. Sebagai rakyat kecil, kita bersedih karena apa lagi yang mau kita harapkan dari bangsa ini atas sebuah bangunan peradaban demokratis yang menghargai perasaan rakyatnya?
Kita makin menjauhi demokrasi substansial dengan hanya menyodorkan demokrasi simbolistik. Perasaan rakyat semakin hari semakin dihancurkan berbagai pola perilaku yang menusuk-nusuk kalbu rakyat.

Kehidupan publik tidak lagi tunduk pada moralitas. Realitas inilah yang akhirnya menghancurkan peradaban kita sebagai bangsa. Kita menjadi bangsa yang tidak lagi perlu taat pada norma hukum, dan boleh saja melalui logika kekuasaan dan uang mengkhianati nilai-nilai keadilan.

Keadilan sendiri sudah dibelokkan menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati adalah barang klasik yang amat langka di negeri ini.
Negeri ini hampir kehilangan suara hatinya, sebab politik masyarakat telah dihancurleburkan oleh realitas politik yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat.

Natal kali ini menjadi momentum untuk merasakan karut-marut kehidupan seolah Tuhan tidak lagi ada. Natal kali ini justru menjadi momentum untuk mengingatkan warga sebangsa bahwa citra Tuhan hendaknya menjadi acuan perilaku manusia agar ia bisa saling mengasihi terutama kepada warga tertindas.

Natal dalam kondisi demikian seharusnya membawa kegembiraan dan sukacita umat manusia bangsa ini karena Dia sudah datang membawa cahaya terang di tengah kegelapan wajah masa depan bangsa ini. Makna Natal yang demikian kita harapkan mewujud dalam tindakan para elite bangsa ini. Selamat Natal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar