Sabtu, 09 November 2013

Tugas Kapolri Baru, Menghapus “Petrus”

Tugas Kapolri Baru, Menghapus “Petrus”
Hendrata Yudha  ;  Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
OKEZONENEWS, 08 November 2013


Komjen Sutarman sudah dilantik menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Timur Pradopo. Ada tiga tugas besar yang berada di depan matanya, yakni menjaga stabilitas keamanan, reformasi birokrasi, dan membangun komunikasi horizontal. 

Menariknya, dalam klausul tugas-tugas besar itu, tidak disebutkan upaya penegakan hukum secara spesifik. Mungkin penegakan hukum, dianggap sudah inblend dalam tugas sehari-hari Polri, sehingga tak perlu lagi dirinci lagi.

Dalam kenyataan sehari-hari, dengan mencermati berita-berita seputar kepolisian, upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri masih cenderung menggunakan kekerasan yang berlebihan atau exessive force.

Simak saja berita di media massa, sering kali kita membaca narasi berita kriminal seperti ini: 

Jakarta - Belum lama menghirup udara bebas, seorang pelaku pencurian kendaraan bermotor di Ciracas, Jakarta Timur terpaksa ditembak mati oleh polisi. Pelaku ditembak ketika berusaha melarikan diri dari pengejaran polisi yang sedang melakukan pengembangan kasus pada dinihari.

"Ketika di Jalan Bungur, Kampung Rambutan, pelaku berusaha melarikan diri. Tembakan peringatan ke udara tak dihiraukan, sehingga anggota melakukan tindakan tegas dengan menembak pelaku," tutur Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur.

Akibat tak menghiraukan tembakan peringatan tersebut polisi terpaksa memberikan timah panas pada punggung kiri Sukamto. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tersangka meninggal.


Atau berita lainnya: 
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bekasi Kabupaten Komisaris Dedy Murti Haryadi menambahkan, WM dan NAR ditembak saat dibawa untuk menunjukkan lokasi anggota komplotan lain pada dinihari.

Dalam perjalanan, WM mematahkan borgol tangan dan kabur ke kompleks Delta Mas. Tim sudah memberi tembakan peringatan, tetapi WM alias Cip mengabaikan. Akhirnya, WM ditembak dan tewas. Melihat WM berusaha kabur, NAR berusaha melarikan diri, tetapi dilumpuhkan dengan ditembak betis kanan.


Pada kedua berita yang muncul di media massa itu, diperoleh frasa residivis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, re•si•di•vis /résidivis/ n orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yg serupa; penjahat kambuhan: terdakwa tergolong -- yg pernah dijatuhi hukuman dua tahun. 

Sebagian besar jurnalis yang pernah ditugaskan meliput bidang kriminal, kebanyakan sudah paham jika ada penembakan penjahat, maka polisi akan menggunakan frasa residivis. Jurnalis kemudian akan diberi pengarahan oleh kepala satuan atau humas mengenai peristiwa itu. 

Perlu dicermati, press release atau informasi yang disampaikan akan menggunakan narasi yang hampir seringkali berulang. Pertama, residivis keluar masuk penjara. Kedua, residivis dibawa untuk pengembangan kasus. Ketiga, peristiwa terjadi malam hari ke dinihari. Keempat, lokasi kejadian biasanya tempat sepi. Kelima, korban berupaya melarikan diri. Keenam, ada prosedur standar tembakan peringatan kemudian terpaksa ditembak mati.

Rangkaian kalimat yang seragam dan tampak logis itu, diduga, menyembunyikan peristiwa sebenarnya.Jika kita perhatikan kalimat yang digunakan itu, seperti copy paste dari berita-berita sebelumnya. Pencarian sederhana dengan mesin pencari google, mengeluarkan rangkaian peristiwa berbeda namun hampir serupa jalan ceritanya.

Dalam kajian jurnalistik, tugas jurnalis bukan hanya menyampaikan berita apa adanya. Pernyataan yang disampaikan polisi bukan kategori “beritaapaadanya”, namun itu bisa digolongkan sebagai berita mentah. Informasi searah dari petugas kehumasan, perlu dicermati agar kita tidak masuk dalam agenda setting mereka. Sebaiknya, ketika mereka menyampaikan informasi itu diuji dengan beberapa pertanyaan.

Jika menemukan release yang bahasanya hampir mirip itu, kita patut curiga dan meneliti lebih lanjut. Apakah benar bahwa residivis yang ditembak mati itu, memang benar-benar terjadi seperti yang diinformasikan oleh polisi? Mengapa kejadiannya selalu dini hari dan ditempat sepi? Kok peristiwa itu, residivis selalu dibawa untuk menunjukkan lokasi persembunyian teman-temannya? apakah polisi tak mengenal wilayah kerjanya, sehingga harus minta diantar penjahat yang ditangkap?Mengapa residivis itu bisa melarikan diri? Apakah tidak diborgol dengan benar? apakah benar menembak benda bergerak cepat pada saat gelap akan tepat di kaki dan punggung? Kenapa tidak ada saksi mata selain petugas kepolisian?

Apabila pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab dan belum terverifikasi, maka informasi itu tak layak naik jadi berita.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku “Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload” menyebutkan, bahwa informasi yang disampaikan hanya mengutip inti pembicaraan seorang narasumber tanpa diuji adalah jurnalisme pernyataan. Informasi itu belum tentu benar dan bisa dipercaya, malah banyak informasi ngawur. Media yang cerdas, tidak gegabah menaikan informasi itu sebagai berita sebelum melakukan verifikasi agar pembacanya tidak tersesat.Jurnalis sebaiknya juga berperan sebagai penuntun akal, agar masyarakat tidak kesulitan menemukan mana yang benar, mana propaganda. Di sinilah peran jurnalis, menerangkan suatu informasi masuk akal atau tidak.

Saya khawatir, narasi penembakan residivis yang seolah-olah legal oleh aparat kepolisian namun minim verifikasi itu, jika dibiarkan akan menjadi peristiwa biasa dan akan memunculkan kembali penembakan misterius atau “Petrus”.  Secara resmi, namanya adalah Operasi Clurit,  yang bersifat rahasia. Operasi keamanan itu berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta dan hampir segera modusnya merebak hampir keseluruh provinsi di Indonesia.

Ketika itu, ratusan orang yang diduga residivis, preman, pria bertato, gali, tewas dengan ciri-ciri yang narasinya juga mirip dengan penembakan penjahat kambuhan versi sekarang. Pola pengambilan para korban kebanyakan dijemput aparat keamanan pada malam hari.

Jika polisi masih “memaksa” informasi penembakan residivis yang diragukan itu, saya menyarankan agar dilakukan moratorium berita. Jurnalis tidak lagi memberitakan informasi yang dipasok polisi sebelum diverifikasi. Cepat atau lambat, jika tak ada media massa yang memberitakan penembakan residivis pada dinihari itu, polisi harus menemukan taktik lain yang lebih beradab untuk menyelesaikan soal penjahat residivis itu, ketimbang “men-Sukabumi-kan” mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar