|
SENIN, 4
November 2013, Presiden SBY dengan gaya sersan (serius tapi santai) melemparkan
bola kemacetan Jakarta kepada Gubernur Jokowi.
”Saya dari Istana ke Sahid memenuhi undangan
Agung Laksono perlu 45 menit karena saya tidak pernah minta menutup jalan kalau
lewat. Ipar saya sempat mengecek saya di rumah, tapi diisukan menyetop jalan.
Di East Asia Summit di Bandar Seri Begawan, para pemimpin ASEAN mengeluhkan
kemacetan Jakarta. Saya jawab, itu tanggung jawab gubernur, bukan presiden.”
Hari Selasa,
yang merupakan libur 1 Muharam, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
langsung menyatakan bahwa kemacetan Jakarta tanggung jawab semua pihak,
termasuk pemerintah pusat, karena jalan protokol dan jalan negara adalah urusan
Kementerian Pekerjaan Umum. Kebijakan transportasi juga di tangan pusat dan
Jakarta memang memerlukan otoritas transportasi Jabodetabek yang terintegrasi,
yang tidak mungkin hanya ditangani Gubernur DKI Jakarta.
Sementara itu,
di front buruh, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal
memojokkan Jokowi dengan menyatakan bahwa kebijakan Jokowi menyetujui upah Rp
2,4 juta bertentangan dengan kebijakan pusat yang dicanangkan Presiden SBY,
bahwa sudah bukan zamannya lagi menjual RI sebagai rezim buruh murah.
Saya baru
membaca buku China 3.0 yang disusun Mark Leonard, editor tim European Council on Foreign Relations.
Dengan cermat diuraikan polemik dua kubu, New
Left dan New Right, di China yang
juga berlangsung di Indonesia. Setelah memasuki kelompok negara berpenghasilan
menengah, teori tentang the middle
income trap menjadi menu semua pakar, termasuk Indonesia. Semua orang
bicara soal keharusan kita melampaui jebakan middle income trap agar naik kelas ke status negara maju.
Kegagalan
banyak negara Amerika Latin yang sudah memasuki kelompok pendapatan per kapita
menengah (middle income) kemudian
stagnan adalah karena kegagalan mengatasi jurang menganga yang melebar antara
kelas atas dan bawah. Rezim politik kemudian terjebak pada populisme murahan,
Robin Hood modern yang korup dan penuh nepotisme yang sangat mengabaikan
meritokrasi sehingga kinerja nasional merosot dan terpuruk. Tarikan pada rezim
militer atau teokrasi ortodoks yang menggabungkan ekstrem adonan aneh Salafi,
Wahabi, maoisme, dan marxisme yang justru sudah ditinggalkan Rusia dan China
malah diadopsi oleh Iran dan Venezuela. Semuanya dalam semangat
anti-kapitalisme kolonialisme dan imperialisme AS yang memang menjadi populer
karena NSA melakukan penyadapan bahkan terhadap sekutu dekat seperti Jerman.
Perang propaganda
Populisme
memang bisa jadi senjata ampuh untuk mendekati rakyat. Dalam soal perburuhan
ini, terjadi suatu ironi di mana Jokowi yang dianggap kampiun wong cilik dibenturkan
dengan SBY yang selama ini diserang terus oleh pihak oposisi sebagai kampiun
neolib. Menyaksikan manuver buruh, kita bisa mencium operasi intelijen, perang
propaganda. Memojokkan Jokowi sebagai ”pro-rezim buruh murah” dan memosisikan
SBY sebagai kampiun pembela kenaikan upah buruh. Ditambah lagi paduan suara pro
dan kontra mobil murah dan mobil Esemka.
Polemik tentang
pro dan kontra mobil murah memperoleh momentum dan ada yang menyamakan nasib
Jokowi dengan mobil Esemka yang tidak lulus uji coba ramah lingkungan. Jokowi
dianggap akan gagal jadi calon presiden, sama nasibnya seperti mobil Esemka.
Dalam soal mobil Esemka dan mobil murah ini, memang bangsa Indonesia kehilangan
peluang karena selalu mencampuradukkan kebijakan nasional dengan kepentingan
pribadi penguasa dan penyelenggara negara.
Ketika Soeharto
dengan visi jenderal besar berani terjun memproklamasikan APEC pasar bebas pada
tahun 2020 (termasuk RI)—dan 2010 untuk negara maju APEC—maka Soeharto juga
mencanangkan kebijakan Mobil Nasional (Mobnas).
Pusat Data Bisnis Indonesia yang mengkaji kebijakan
ekonomi politik RI mendukung kebijakan Mobnas karena berdasarkan kajian Anatomy of the Global Automotive Industry,
setiap negara pendatang baru yang ingin berperan di industri otomotif pasti
harus melakukan politik proteksi paling sedikit satu dasawarsa. Jepang
melakukan itu, Korea juga melakukan. Setelah itu, barulah naik kelas ke pasar
global. Jadi, proteksi dan kebijakan Mobnas
tidak salah, yang keliru barangkali kenapa mesti dilakukan oleh ”putra
mahkota”, Tommy Soeharto.
Kebijakan mobil
murah LCGC yang diambil pemerintah pusat barangkali memang sudah agak terlambat
ketika dunia sudah diatur oleh rezim MFN WTO yang tidak boleh mendiskriminasi
mitra dagang serta menjamurnya kesepakatan perdagangan bebas (FTA) untuk
membuka pasar bagi negara tertentu yang sebetulnya bertentangan dengan rezim
tunggal WTO. Indonesia adalah bagian dari ekonomi global dan tidak bisa lepas
dari polemik ekonomi politik global. Kegagalan pasar dan kerapuhan sistem Barat
yang tecermin dari krisis moneter 2008 di Wall Street dan 2010 di zona euro memang
memerlukan itikad dan kearifan untuk kembali ke jalan tengah.
Bangkrutnya
komunisme, bubarnya Uni Soviet, dan kembalinya China ke pasar setelah gagalnya
marxisme membawa China pada kelas menengah menuju kelas negara maju kaya.
Namun, rapuhnya Wall Street 2008 dan zona euro 2010 juga memberikan sinyal agar
tidak terjerumus ke jurang yang sama. Itulah hakikat perdebatan menuju China
3.0.
Analog dengan
China, Indonesia menuju Indonesia 3.0 setelah rezim 1.0 dan 2.0 Bung Karno dan
Soeharto. Indonesia 3.0 ini adalah Indonesia
Inc yang belajar dari kesalahan Timur dan Barat serta melaksanakan jalan
tengah. Kita sudah sering terombang- ambing dalam pendulum ekstrem kiri
etatisme, nasionalisasi, rezim otoriter kiri kemudian ke rezim represif
developmentalis Soeharto yang mengacu kepada Park Chung-hee dan junta militer
Amerika Latin. Kita sekarang menuju jalan tengah
dan tidak boleh kembali pada rezim dwifungsi jilid 2 seperti yang tersirat dari
pidato Pangkostrad yang menghebohkan dan mengundang polemik di harian ini.
Demokrasi yang dipimpin kekuatan voting,
demikian Pangkostrad, diragukan akan membawa bangsa ini ke arah cita-cita
kesejahteraan.
Menuju 2014
Mengikuti
polemik mutakhir SBY-Jokowi, saya melihat sejarah berulang. Pada tahun 1977,
buku saya, Wawancara Imajiner dengan Bung
Karno, diberedel bersama harian Kompas dan tujuh koran serta buku
putih mahasiswa ITB karena menganjurkan pembatasan masa jabatan presiden untuk
dua termin saja. Saat itu juga Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin diberhentikan
karena sudah habis masa jabatan kedua dan tidak bisa dipilih lagi. Dipo Alam,
eks Ketua Dema UI, mengajukan Bang Ali jadi capres. Soeharto ketakutan dan
kasino di Jakarta ditutup, diganti porkas sebagai sumber dana yang bebas dari
kekuasaan Gubernur DKI Jakarta.
Tahun 2013
menjelang 2014, polemik SBY-Jokowi mengawali perebutan jabatan presiden RI
2014-2019. Tidak ada kasino eks Bang Ali untuk Jokowi, tidak ada porkas
Soeharto untuk SBY. Pertarungan tidak akan ditentukan oleh dana, tetapi oleh
popularitas dan populisme. Karena itu, polemik mobil murah vs Esemka dan
kemacetan serta pro dan kontra rezim buruh murah harus dicermati sebagai perang
propaganda di antara dua capres ketujuh RI.
Kita tentu
mengharapkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P yang ”partai wong cilik” bisa
mewarisi kebesaran Bung Karno dalam membaca tanda- tanda zaman. Juga SBY akan
membaca bahwa era Partai Demokrat tidak bisa diselamatkan hanya dengan wacana
dan polemik, tetapi dengan suatu delivery yang
nyata untuk rakyat.
Semua polemik yang ingin benar sendiri,
menang sendiri, tentu harus dikubur dan rivalitas Soeharto-Bang Ali tidak perlu
direinkarnasikan SBY-Jokowi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar