Saya sering bilang,
“Sukses sendirian itu ngga asyik.” Tapi judul tulisan saya kali ini seperti
ini, apa maksudnya? Kalau dulu ketika saya masih sekolah, kata “setia
kawan” begitu melekat di keseharian pergaulan saya. Rasanya sering sekali
saya mendengar kata ini.
Dan, jelas terlihat kalau ada teman yang mendapat julukan sebagai teman
yang setia kawan, dia pasti merasa bangga. Tapi apa sebenarnya makna setia
kawan? Apa korelasinya dengan kesuksesan dalam hidup? Yang saya tahu, kalau
di pergaulan anak-anak muda, setia kawan artinya macam-macam, tergantung
masingmasing individu. Namun di antaranya adalah ketika seorang teman
sedang dalam kesusahan, ketika temannya membantu dan tidak meninggalkan
yang sedang dalam kesusahan tersebut, maka si yang membantu itu boleh
dibilang setia kawan.
Nah, kalau dalam konteks meraih kesuksesan, menurut saya, setia kawan bisa
memperlambat proses meraih sukses. Saya sering bertemu dengan teman-teman
mahasiswa dan para first jobbers
yang bertanya, “Mas Billy, saya ingin banget nolong teman saya yang masih
malas-malasan, tapi kok susah ya? Karena dia adalah teman baik saya, maka
saya maunya sukses bareng-bareng.” Nah, ini adalah contoh nyata kenapa saya
bilang setia kawan bisa memperlambat proses meraih sukses.
Sejalan dengan prinsip saya, “Sukses sendirian itu ngga asyik”, maka
menolong orang lain untuk bisa meraih sukses itu baik. Tapi kalau kita
sudah berusaha semaksimal mungkin menolong orang itu, baik dengan
memberikan dorongan moral, material, jaringan, dan orang tersebut masih
juga tidak mau berubah, masih malas-malasan, ya masa kita akan terus-terusan
mencoba untuk menolong orang itu? Apakah hidup Anda yang hanya satu kali
ini hanya untuk membuat teman Anda sukses?
Kalau jawabannya “Iya”, ya silakan terus mencurahkan seluruh pikiran,
fokus, tenaga, dan waktu Anda untuk menolong teman Anda hingga sukses.
Kalau saya sih, jawabannya, “Tidak.” Hidup saya bukan untuk memastikan
bahwa orang lain atau teman saya sukses. Ingat, kita tidak bisa menolong
orang yang tidak ingin ditolong. Mungkin dari perkataannya, teman kita
bilang bahwa dia memerlukan pertolongan. Tapi sering kali, dalam
kenyataannya, dia sebenarnya hanya ingin dikasihani, bukan ditolong.
Buktinya apa? Ya itu tadi, ketika kita sudah berusaha menolong teman kita
yang katanya membutuhkan pertolongan, terus dianya sendiri tidak berusaha,
tidak mengubah sifat negatifnya (malas), kan ini sama saja tidak ingin
ditolong. Orang-orang semacam ini, tidak pantas untuk kita tolong. Saya
punya teman yang ketika kami bertemu sesekali, dia bilang ingin memulai
bisnis. Dia ceritakan idenya, dan kemudian bertanya ke saya, “Bill, elu
bisa nolong gua ngga? Elu jadi partner bisnis gua deh” Karena dia adalah
teman saya dan berbisnis itu termasuk ‘hobi’ saya, maka saya mengiyakan ajakannya.
Tapi, setelah sekian minggu saya membuatkan business plan-nya, dia kembali
bilang ke saya bahwa dia belum siap berbisnis, sibuk adalah salah satu dari
sejuta alasan lainnya. Jadi, apakah lantas kalau kita punya teman baik,
lantas kita harus tidak peduli dengan dia? Tentu tidak! Namanya juga teman
baik, ya sudah sepantasnya kita peduli dengan keadaannya. Kalau dia malas,
kita coba berikan dorongan. Kalau dia perlu modal, kalau kita bisa berikan
pinjaman, ya sebaiknya kita bantu. Kalau dia perlu ide, dan kita bisa
berikan itu, berikanlah. Tapi, bukan lantas kita harus terus menerus membantu
dia hingga sukses.
Bagaimana pun juga, kita harus mampu mengeset skala prioritas hidup kita
secara tepat. Apa maksudnya? Menurut saya, dalam skala prioritas, membuat
diri kita sukses itu berada di atas membuat teman kita sukses. Dengan
pemikiran ini, saya berpendapat bahwa daripada setia kawan (menunggu teman,
biar bisa sukses bareng-bareng), mending berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat diri kita sukses dulu. Tentunya, dalam proses mencapai kesuksesan,
jangan lupakan integritas. Pastikan kita juga tidak ‘menikam kiri-kanan’
atau menjatuhkan pihak-pihak lain. Ini bukan cara yang terpuji.
Kenapa membuat diri kita sukses dulu baru menolong teman kita itu lebih baik
daripada menjadi setia kawan dan menunggu teman untuk supaya bisa sukses
bareng-bareng? Karena kita tidak akan pernah tahu kapan teman kita akan
bisa sukses. Kita juga sebenarnya tidak akan pernah tahu kapan diri kita
akan sukses, tapi setidaknya, faktor yang di luar kontrol kitanya lebih
sedikit; pikiran dan karakter kita ya kita sendiri yang tentukan. Sementara
ketika kita ingin membantu teman kita untuk sukses, faktor penentu utamanya
(pikiran dan karakter teman kita itu) tidak ada di dalam kontrol kita.
Kalau saya memilih untuk fokus membuat diri saya sukses, baru saya akan
menolong teman saya. Semakin sukses kita, semakin besar yang kita bisa
lakukan untuk teman kita. Semakin banyak pula orang yang bisa kita tolong.
Daripada kita berusaha untuk supaya bisa dipromosikan menjadi manajer
secara bersamaan, mending kita fokus ke kinerja kita, sehingga kita
dipromosikan menjadi manajer, kemudian menjadi direktur, dan di saat
inilah, kita bisa membantu teman kita yang mungkin masih berada di level
staf.
Membantunya gimana? Misal dengan mengirimkan dia ke kelas-kelas pelatihan,
memperkenalkan dia ke jaringan bisnis Anda, atau bahkan memberikan dia
masukanmasukan terhadap pekerjaan dan tanggung jawab yang sedang dia emban.
Kalau ini yang kita lakukan, kesempatan dia untuk dipromosikan dan menjadi
‘sukses’ akan semakin besar. Mungkin pemikiran setia kawan dengan menunggu
teman agar bisa suksesnya barengan perlu ditinggalkan.
Bagi Anda yang sempat berpikiran demikian, coba deh untuk mulai berpikir,
“Saya harus sukses, supaya saya bisa membantu teman-teman saya (dan banyak
orang di luar sana) yang membutuhkan pertolongan saya. Jangan takut dan
malu untuk bilang, “Saya mau jadi orang yang sukses. Saya mau jadi orang
yang kaya.” Karena, semakin sukses dan kaya kita, semakin banyak orang yang
bisa kita bantu. Mau jadi orang yang dibilang setia kawan? Berusahalah
semaksimal mungkin untuk jadi orang yang sukses, kemudian bantu teman (dan
banyak orang) yang belum sesukses kita. See
you ON TOP! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar