|
TULISAN ini melengkapi
tulisan Berto Tukan,[1] yang
mengingatkan kita tentang sejarah sekolah modern dalam hubungannya dengan
masyarakat kapitalis-industri. Berto menunjukkan hubungan intim antara
ketidakadilan akses pendidikan dengan ketidakadilan dalam dunia kerja sistem
ekonomi kapitalisme. Sistem pendidikan modern dan mekanisme proletarisasi
subjek pendidikan adalah dua sisi dari mata uang yang sama; ketika lulus,
seorang sarjana hanya bisa memilih untuk menjual keahlian yang terbatas pada
apa yang telah diajarkan di sekolahnya. Karenanya, ia akan menjadi sebuah
sekrup dari sebuah mesin raksasa, tidak lebih. Pilihannya adalah menjadi setia
atau terbuang dari sistem, mengingat masih banyak sekrup-sekrup lain
menanti.
Tulisan Berto tersebut
hadir bukan tanpa konteks. Maraknya demonstrasi buruh pabrik belakangan ini
membuat kesal banyak kalangan, bukan saja pengusaha atau komandan polisi,
tetapi juga menganggu kenyamanan warga kelas menengah atas di ibukota.
Kabarnya, yang belakangan ini sering marah-marah di media sosial, yang juga
menyebabkan banyak ‘kelas menengah simpatik’ pembela kaum buruh juga
marah-marah terhadap kelompok yang disebut nyinyir atau ngehe ini. Tentu bagi banyak kalangan lain,
membela buruh pabrik dan tambang melalui facebook dan twitter adalah tugas mulia—dan gampang juga: tinggal
pencet tombol ‘post’, ‘tweet’,
‘share’ atau semacamnya.
Jadi persoalannya apa?
Mengapa banyak orang suka sekali memeriahkan konflik diagonal, yang tidak
vertikal tapi juga bukan horisontal? Buruh kerah putih, paling tidak yang saya
tahu di Jabodetabek, walaupun tidak bebas dari ketertindasan sistem
kapitalisme, coraknya berbeda dan mampu menciptakan ruang ketahanan (resilience) yang lebih lebar[2] sehingga
kesengsaraannya bisa terkurangi. Buruh kerah putih harus menghadapi penghisapan
besar-besaran oleh developerperumahan
serta penurunan kualitas hidup akibat pemisahan ruang kerja dan ruang hunian
yang menuntut perjalanan panjang antara kantor dan rumah (dengan kata lain,
antara ranah produksi dan reproduksi). Yang belakangan ini juga punya andil
dalam munculnya banyak sekali spektrum pekerjaan informal (lihat Mingione, 1991
untuk landasan konsep ‘informal’), yang sering luput dari pembahasan inteletual
kiri –Marxis tulen, Marxis baru, Marxis hijau atau abu-abu, atau apalah
namanya) di Indonesia.
Dalam sistem ekonomi
neoliberal[3] saat
ini, sistem pengkotak-kotakkan kelas pekerja kemudian tidak bisa
disederhanakan menjadi persoalan dua dimensi antara besar upah dan tingkat
pendidikan. Banyak sekali faktor yang menentukan upah seseorang (lihat Gambar
1), yang selanjutnya menentukan harapan seorang ayah terharap anak laki-lakinya
atau seorang ibu terhadap calon menantu perempuannya.
Sekeren apapun sekolah
filsafat, sehingga para mahasiswanya dapat menulis dengan indah baik puisi
maupun artikel di IndoPROGRESS, banyak ayah yang
berharap anaknya sekolah teknik mesin atau teknik sipil, menjadi pengacara atau
menjadi dokter—plus masuk UI, ITB atau UGM, karena apalah arti Itenas, UNIKOM,
apalagi IKJ atau STF Driyarkara. Belakangan saya bicara dengan beberapa teman
perempuan yang sedang sekolah tinggi. Bukan bualan jika banyak yang putus cinta
lantaran ibunya pacar tidak suka perempuan yang sekolah lebih tinggi daripada
anak laki-lakinya. Ini bukan karena ibu-ibu ini tidak berpendidikan tinggi, tetapi
karena begitu banyak peran sosial dalam sistem reproduksi yang dibebankan
kepada perempuan dan jika tidak, akan mengurangi nilai upah riil. Yang
belakangan ini adalah isu yang dialami bukan saja buruh kerah biru, tetapi juga
kerah putih.
Jika tidak ada usaha
mencari isu-isu yang dapat meruntuhkan dinding batas kelompok-kelompok pekerja,
maka mengharapkan kelas menengah bersolidaritas terhadap kesengsaraan buruh
pabrik sama saja dengan berharap sebuah rezim militer tiba-tiba meletakkan
senjatanya. Ada kepanitiaan kolektif yang disebut negara, yang dapat dituntut
untuk menaikkan upah riil. Isu kenaikan upah tidak
dapat dipisahkan dari pentingnya kenaikan nilai upah. Bentuk intervensi negara,
selain sistem ketenagakerjaan yang seadil-adilnya, minimal berupa subsidi
pendidikan, subsidi mobilitas (transportasi publik), perumahan murah, pelayanan
kesehatan dan sarana air-sanitasi. Jika upah naik, tetapi harga barang dan jasa
pokok naik juga, tidak ada kata sejahtera di negeri kita.
Kembali ke soal pengkotak-kotakan
masyarakat akibat sistem pendidikan, hal ini ternyata bukan cerita akhir
peradaban kita. Solidaritas kaum sekolahan untuk mengajar anak-anak jalanan
misalnya, walau bentuknya adalah karitatif, perlu ditilik dari sudut pandang
politik. Upaya apapun yang berusaha menggantikan pelayanan yang hilang, yang
seharusnya disediakan negara, adalah bentuk aksi protes terhadap kesenjangan.
Tentu upaya semacam ini harus dilihat secara kritis—apakah langkah ini,
misalnya, mampu mendorong perubahan susunan geometris kekuasaan pada tingkat
yang paling lokal?
Yang saya maksud adalah soal perbaikan daya tahan (resilience) dan kemampuan komunitas untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara swadaya. Sebagai contoh, para insinyur dan arsitek
di Brazil mampu mentransfer pengetahuan teknik mereka kepada kaum miskin
perkotaan untu bekerjasama menyediakan hunian susun delapan lantai yang relatif
murah dan berkualitas sangat baik.[4] Di
atas kertas, hal ini sulit dicapai tanpa keahlian teknis, modal yang besar
serta teknologi yang canggih (dan pada umumnya mahal). Contoh lain, di banyak
negara, para ahli pertanian bekerjasama dengan petani untuk menghasilkan bibit
yang baik serta melestarikan keragaman hayati. Bentuk solidaritas ini tentu
adalah hasil interaksi–saya menyebutnya ‘interaksi diagonal’—yang panjang, dan
sering menyakitkan pula karena disertai oleh pengkhianatan, turunnya
kepercayaan, dan hilangnya dorongan untuk berkolaborasi.
Persoalannya kemudian,
apakah contoh-contoh solidaritas kaum sekolahan ini dapat dibuat ulang atau
dilipat-gandakan melalui institusi negara? Banyak negara yang menyediakan
anggaran bagi pekerja sosial, misalnya. Setahu saya dulu, kerja praktik
mahasiswa arsitektur UGM dapat dilakukan di kampung-kampung kota, bandingkan
dengan, misalnya, ITB yang mengharuskan kerja praktik di konsultan arsitektur
formal. Mengapa institusi negara? Jawaban mudahnya: saya masih percaya perlunya
keterlibatan institusi negara. Institusi negara bisa diubah, watak kapitalis
barangkali tidak, atau belum tentu. Ini bukan soal jahat atau tidaknya
kapitalisme; sebagian dari kita (yang sengsara) tahu apa konsekuensi dari
sistem ini. Namun jangan lupa, sistem ekonomi kapitalis pun hadir lewat perjuangan
kelas (pemodal) melalui institusi negara, si kepanitiaan kolektif yang
bentuknya bisa bermacam-macam itu—dus, bisa diubah. ●
Kepustakaan
Ingleson, J. (1981). Worker
Consciousness and Labour Unions in Colonial Java. Pacific Affairs 54(3), 485-501.
Ingleson, J. (1988). Urban Java during
the Depression. Journal of Southeast Asian Studies, 19,
292-309 doi:210.1017/S0022463400000576
Ingleson, J. (2001). The Legacy of
Colonial Labour Unions in Indonesia. Australian Journal of Politics
and History 47(1), 85-100.
Ingleson, J. (2012). Fear of the
kampung, fear of unrest: urban unemployment and colonial policy in 1930s
Java. Modern Asian Studies, 46(6), 1633-1671.
Mingione, E. (1991). Fragmented Societies: A Sociology of Economic Life beyond the
Market Paradigm. Oxford: Basil Blackwell.
[2] Membaca laporan-laporan sejarah
John Ingleson (1981, 1988, 2001, 2012), kita bisa tahu bahwa ketika sistem
pertanian, dalah hal ini di Jawa, masih relatif baik, ada juga ruang resiliensi
buruh pabrik di kota yang diciptakan oleh kuatnya jejaring urban-rural.
Ingleson menjelaskan kondisi yang bagaimana yang memungkinkan buruh
berorganisasi dengan solid.
[3] Lihat artikel Coen Husain
Pontoh, Dari Kritik Neoliberalisme ke Kritik Kapitalisme-Neoliberal,4/10/2010,
http://indoprogress.com/dari-kritik-neoliberalisme-ke-kritik-kapitalisme-neoliberal/
[4] Mengenai hal ini, lihat tulisan
saya: Prathiwi, Berhimpun Berkarya dan Berhuni
Bersama-Pengalaman Rakyat Brazil, 05/06/2013, LKIP Edisi 06,
http://indoprogress.com/lkip/?p=826
Tidak ada komentar:
Posting Komentar